PILIHAN HATI

Gadis manis itu masih meneteskan air mata. Sejam yang lalu,  tepatnya ketika Ela dan Bayu mengumumkan jika mereka resmi menjalin hubungan. Nadira seperti tertusuk bilah pisau. Jantungnya terasa sakit dan menyesakkan dadanya.

Dira menepuk dadanya yang terasa sesak. "Mengapa kau memilih Ela... bukan aku?" Air mata terus mengalir membasahi wajahnya.
Sudah dua hari ini, ia tidak bertemu dengan Bayu dan Ela. Lagipula ia juga tidak berniat bertemu mereka. Sedangkan Bayu dan Ela, sepertinya tidak menghiraukan Dira saat ini. Keduanya terlihat menikmati hari-hari mereka berdua saja.
Dira diam di balik jendela kamar, sesekali ia mengusap pelupuk matanya yang basah. Perlahan ingatan akan hari itu kembali, terbayang dikepalanya.

"Nadi." Teriak seorang pria dari jauh, membuat Dira mengalihkan pandangan ke asal suara itu terdengar. Dari tempatnya saat ini, ia melihatnya. Seorang pria tengah berlari ke arahnya sambil melambaikan tangan ke atas. Sesekali pria itu kembali meneriakkan namanya. Pria yang sudah membuat hidupnya jungkir balik selama ini. Pria yang hanya bisa ia pandangi. Namun, tidak mampu ia dekati lebih jauh selain sebagai sahabat.

Peluh membasahi wajah sang pria. Terlihat berulang kali ia mengusap wajahnya, sambil mengatur napas yang terlihat ngos-ngosan, begitu tiba tepat di hadapan sang gadis yang sejak tadi ia panggil. Membuat sang gadis mengerutkan dahinya, seakan bingung dengan kondisi sang pria saat ini.

"Kamu kenapa sampai ngos-ngosan begitu? Kamu habis marathon?" tanya sang gadis, sambil menatapnya heran. Sementara sang pria hanya tersenyum ke arahnya.

"Ini semua karena kamu." Balasnya cepat, begitu ia telah menemukan ritme napasnya.

"Karena aku?" Tunjuk Dira pada dirinya. Menatap bingung pada sang pria. "Kenapa aku? Aku bahkan baru melihatmu sekarang?" Tidak mengerti akan maksudnya.

Pria itu mengangguk. "Sejak tadi aku berlari keliling kampus mencarimu."

Nadira mengerutkan keningnya. "Kau mencariku? Kenapa?"  merasa heran, tidak biasanya pria itu mencarinya.

Sang pria diam sejenak. Lalu tersenyum tipis kepada sang gadis. Membuat sang gadis menatapnya penuh tanya. "Nadi." Panggilnya lembut pada sang gadis. "Aku punya berita bahagia untukmu?"

"Apa itu?" Tanya Nadi tidak sabaran.

"Aku dan Elena resmi pacaran."

Duarrrrr....

Bak disambar petir disiang hari. Nadi terkejut. Seketika wajahnya memucat, dan keringat dingin perlahan membasahi wajahnya.

"Ka... ka... kamu dan Elena pacaran?" Terbata-bata Nadi menanyakannya. Seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

Sang pria tersenyum ke arah Nadi. "Iya Nad... akhirnya setelah memendam sekian lama, Elena dan aku resmi pacaran."

Nadi terdiam, binar dimatanya seketika meredup. Senyumnya pun memudar bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Sementara itu, sang pria masih tidak memperhatikan kondisi sahabat disampingnya. Tidak henti menyungginkan senyum bahagia mengingat moment dimana Elena menerima cintanya.

Nadira berusaha menahan rasa pedih yang ia rasa. Sebisa mungkin menyembunyikan kesedihan dengan senyuman.

Sang pria menoleh ke arah Nadi, dahinya mengerut melihat wajah sang gadis yang tampak pucat dengan tatapan mata yang kosong. Seakan tidak ada nyawa di sana.

"Kamu kenapa Nad? kamu sakit?" Nada khawatir terdengar jelas dari mulut pria itu.

Nadi tersenyum tipis. "Aku baik. Sepertinya hanya kelelahan." Nadi berusaha menyembunyikan sesaknya. Sebisa mungkin berusaha bersikap tenang dan baik-baik saja.

"Kamu kenapa nggak pernah bilang ke aku kalau kamu selama ini suka sama Ela?"

"Bukannya aku nggak mau bilang, hanya saja aku nggak mau perasaanku ini jadi masalah buat kita bertiga?" Dahi Nadi mengkerut usai mendengar ucapan pria itu.

"Maksud kamu? Aku gak ngerti?"

"Kamu tahukan Nad... kita bertiga itu sudah dekat sejak dulu. Hal itu, buat aku takut jika perasaan ini malah mengacaukan persahabatan kita. Awalnya aku takut Ela menolak dan jika itu terjadi otomatis akan ada banyak hal yang berubah. Tapi, aku sama sekali nggak nyangka juga, ternyata selama ini Ela juga cinta sama aku. Sumpah Nad, saat Ela berkata ya... rasanya lapangan dipenuhi bunga... ahhhh... Ela my first love dan aku berharap kelak ia juga akan menjadi istriku." Menggebu-gebu pria itu mengatakannya. Dari nada suaranya, Nadira bisa menangkap dengan jelas betapa bahagianya pria itu.

Nadira hanya mampu diam. Sekalipun tatapannya terlihat sendu ke arah Bayu yang sama sekali tidak disadarinya. Karena sejak tadi tiada henti menceritakan kisahnya dan Ela.

Batin Dira berbisik, "Matamu sangat berbinar saat kau menyebut namanya. Begitu cintakah kau padanya? Apa aku hanya bisa menatapmu dan mencintaimu dalam diam?"

Tersadar dari lamunan, seketika Dira mengusap wajahnya yang basah. "Bodoh." Rutuknya pada dirinya. Mengapa ia masih memikirkannya. Nyatanya pria itu bahkan tidak menghiraukan hatinya yang tengah patah. Dira meringis dalam hati, bagaimana ia terus meratapi cintanya yang tidak sampai pada pria itu. Pria yang selama hidupnya, terus berada disisinya sebagai seorang sahabat. Bayu, begitulah ia memanggilnya. Tidak ingin larut dalam kesedihan ia akhirnya memilih ke luar dari kamar.

"Ma.... panggil Dira pada Diana, mamanya. Diana menoleh, senyum tipis terbentuk dibibirnya.

Dira menghampiri sang mama, memeluknya erat dari balik punggungnya.

Diana tersenyum. "Datang-datang langsung meluk, manja ih."

"Kangen ma."

"Kamu ini, gimana bisa kangen sih? Mama kan nggak ke mana-mana?"

Tidak menjawab, Dira semakin mengeratkan pelukannya. "Mama sedang apa?"

Diana mengangkat kedua tangannya yang dipenuhi tanah. "Kamu mau coba?"

Dira mengangguk, kemudian melepas pelukannya, lalu berjalan ke hadapan sang mama. "Ini gimana caranya ma?"

"Kamu nggak mau makai sarung tangan. Nanti tangan kamu lecet loh."

Tidak menjawab Dira hanya tersenyum. Seakan mengerti Diana pun mengarahkan putrinya ke arah bunga yang sejak tadi ia benahi. "Yang semangat ya sayang, jarang-jarang loh kamu mau bantuin mama ngotak ngatik taman."

Dira mengerucutkan bibirnya, mendengar sindiran sang mama. Nyatanya memang begitu. Dari kecil hingga dewasa bisa dihitung jari berapa kali ia membantu mamanya mengurus taman mereka. Bukan karena tidak suka, hanya saja waktunya saat itu lebih banyak bersama Bayu atau Elena. "Tenang saja ma, ke depannya Dira bakal sering bantuin mama mengurus bunga-bunga ini."

Diana mengerutkan kening, sedikit tidak percaya apa yang ia dengar. Namun, tidak ingin bertanya lebih ia pun tersenyum ke arah sang putri, "mama tunggu loh. Kamu yang janji bukan mama yang minta."

Dira tertawa namun tak urung ia mengangguk. "Siip ma," ujarnya sambil mengangkat jempolnya tanda persetujuan.

Dira menikmati kegiatannya. Menanam bunga ternyata tidaklah semembosankan seperti yang ia bayangkan. Selama ini ia selalu berfikir buat apa bersusah payah mengerjakannya toh ada tukang kebun yang bisa ia suruh. Hanya saja sekarang, setelah ia terjun langsung, Dira bisa merasakan ketenangan dan kenyamanan. Satu hal yang ia pahami, bunga itu selain indah tapi juga mampu memberikanmu rasa nyaman hingga kau betah berlama-lama memandanginya. Tanpa terasa Dira mulai larut di dalamnya. Tangannya begitu lincah mengatur bunga-bunga bahkan menggali tanah kemudian memasukkannya ke dalam pot. Tanpa perduli tangannya akan kotor dan kukunya bisa rusak. Terlebih lagi ia tidak menggunakan sarung tangan.

Sesekali Diana menoleh ke arah sang putri. Diam-diam ia menatap wajah sang putri yang terlihat sembab. Hatinya tergelitik ingin bertanya. Namun, Diana mengabaikannya. Tidak ingin memaksa sang putri menceritakannya. Satu hal yang Diana pahami, setidaknya Dira mengalihkan fikirannya ke arah positif seperti sekarang. Diana lalu berdiri, berjalan ke arah keran air hendak mencuci kedua tangan. Yang letaknya tidak jauh dari taman bunga yang ia kerjakan. Usai mencuci kedua tangan, ia pun memilih duduk di gazebo rumah mereka yang letaknya juga di taman tersebut.

Diana kembali memperhatikan sang putri yang terlihat larut dalam pekerjaannya. "Dira sayang... mama lihat dua hari ini kamu lebih banyak diam?"

Nadira tersenyum ke arah Diana. Kemudian berjalan ke arah keran air mencuci kedua tangannya yang kotor. Lalu menghampiri sang mama yang tengah duduk di gazebo rumah mereka. Duduk di samping mamanya sambil menyandarkan kepala di bahunya.

"Dira baik Ma. Mama nggak perlu khawatir."

Dari nada suara Dira, Diana tahu ada hal yang membuat anaknya risau sekalipun Dira berkata demikian. Sebagai seorang ibu, ia pasti tahu jika anaknya tidak baik-baik saja. Namun, ia tidak akan memaksa Dira untuk bercerita. Biarlah ia menunggu sampai Dira mau bercerita.

"Kamu nggak ke kampus?"

Dira menggeleng. "Nggak ada jadwal kuliah ma,"  jawabnya singkat.

Diana mengangguk. "Kamu nggak ke luar jalan sama Bayu dan Ela?" Dira menggeleng sekali lagi.

Diana menatap Dira heran. "Biasanya kalau kamu tidak ada jadwal kuliah, pasti kamu keluar jalan sama Ela dan Bayu?"

"Mereka lagi sibuk Ma."

Diana mengangguk. Tidak lagi bertanya. Ia tahu, sepertinya Dira tidak ingin ditanyai lebih. Terlihat bagaimana sang putri menjawab sangat singkat setiap pertanyaan yang ia ajukan. Padahal setahunya selama ini. Semua hal yang berhubungan dengan Bayu selalu membuat Dira bersemangat. Sebagai wanita yang sudah melahirkannya, Diana tahu dengan jelas apa yang Dira rasakan pada Bayu. Hanya saja, ia memilih diam. Berharap Bayu merasakan maksud hati sang putri. Sekalipun dalam hati, ia begitu ingin mengatakan pada Dira, jika diam bukanlah solusi. Katakan saja padanya. Namun, urung Diana katakan. "Ya sudah kalau begitu, karena kamu tidak ada kegiatan, mau kan temani mama ke rumah Bayu?"

Dira menoleh, menatap mamanya penuh tanya seakan telinganya salah dengar. "Ke rumah Bayu? Buat apa ma?"

"Itu loh sayang, nanti malam kan mau pengajian di rumah Bayu, jadi rencananya mama mau ke sana bantu-bantu mereka. Kamu mau kan ikut? Mila pasti senang melihat kamu."

Nadira sebenarnya enggan kesana. Ia belum siap bertemu Bayu maupun Ela. Jujur saja, sejak pengakuan Bayu tempo hari, Dira seakan tidak memiliki semangat hidup. Sebisa mungkin ia berusaha menghindari Bayu dan Elena. Dan untung saja kedua orang tersebut tidak menyadari akan perubahan sikapnya.

Awalnya ia ingin menolak. Tapi, mengingat tante Mila ibu Bayu sangat baik dan menyanyanginya, membuat ia tidak kuasa menolak tawaran sang mama.

@@@

Suasana rumah Bayu cukup ramai dengan para tetangga disekitar kompleks tempat tinggal mereka. Sejak habis Magrib Nadira sudah ada di rumah Bayu. Sudut matanya diam-diam mengitari rumah dari pria yang ia cintai. Namun sejak ia datang, sampai sekarang tidak sekalipun Dira melihat Bayu. Ia juga enggan bertanya pada ibu Bayu ke mana anaknya. Nadira memilih diam. Dan sesekali menjawab ketika Ibu Bayu bertanya padanya.

"Untung ada kamu Dira, tante jadi tidak kewalahan. Mana Bayu belum pulang juga, maafin tante ya! membuatmu jadi repot begini." Seakan terjawab apa yang mengganjal di hati Dira. Wajar saja sejak ia tiba, tidak sekalipun ia melihat Bayu, ternyata pria itu tidak di rumah.

Nadira tersenyum ke arah Mila. "Nggak masalah kok tante, Dira senang bisa membantu."

Tanpa Dira lihat, pria yang sejak tadi ia cari tengah berdiri di depan pintu. Kelihatannya baru tiba terlihat dari ucapan salamnya.

"Assalamualaikum," ujar Bayu ramah. Senyum hangat ia sematkan di bibirnya.

"Waalaikumsalam." Jawab serentak tamu yang ada di kediamannya.

Mila dan Dira yang tengah bercakap pun menoleh. Dari dalam rumah ia melihat Bayu berdiri di depan pintu. Seketika senyum Mila terbentuk dibibirnya. Sementara Dira hanya diam. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan. Sekalipun demikian sudut hatinya menghangat. Setidaknya rasa rindu yang ia rasakan berhari-hari terobati dalam sekejab.

"Baru pulang nak Bayu?" Sapa salah satu ibu di ruangan itu.

Bayu tersenyum ke arah ibu itu. "Iya bu!" jawabnya singkat. Matanya berkeliling mencari keberadaan ibunya. Seulas senyum seketika itu juga ia tampakkan dari bibirnya begitu melihat Mila. Terlebih, saat ia lihat tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada Dira di sana berdiri di sisi ibunya. Dan dari penglihatannya, Bayu bisa menangkap jika gadis itu pun menatapnya dari jauh. Tiba-tiba saja rasa rindu menderanya. Beberapa hari tidak melihat Dira membuat Bayu merindukan gadis itu. Ia bahkan ingin berlari ke arah Dira, dan memeluknya.

Dira tahu Bayu melihatnya. Tanpa sadar ia pun tersenyum tipis ke arah Bayu. Saat kakinya hendak melangkah ingin mendekat ke arah Bayu, menyapa Bayu seperti biasanya namun urung ia lakukan. Dira memutar tubuhnya berjalan menjauhi Bayu, begitu ia lihat ada sosok lain yang berdiri dibelakang Bayu.

Bayu melihat itu, tiba-tiba saja ia merasa cemas. Melihat sikap Dira yang berbeda. Tidak biasanya Dira seperti itu. Dira akan selalu menyambutnya dengan senyuman lebar saat mereka bertemu. Namun, kali ini berbeda. Dan Bayu merasakan itu. Bayu hendak menyusul Dira, namun terhenti karena perkataan seorang ibu. Ia bahkan nyaris melupakan Ela. Padahal ia datang bersama gadis itu.

"Eh ada nak Ela juga ya," ucap salah seorang tamu yang Bayu tidak begitu tahu siapa. Namun, melihat wanita paruh baya itu di rumahnya ia yakin itu salah satu tetangga atau rekan ibunya.

Sementara Dira yang tadinya berbalik, kembali memutar tubuhnya dan pada akhirnya ia merutuki dirinya. Harusnya ia tidak usah berbalik. Karena di sana tepat di balik punggung Bayu ia bisa melihat dengan jelas Ela berdiri. Ia bahkan bisa melihat jika saat ini Ela tengah tersenyum. Terlihat beberapa ibu tengah menyapa mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, karena Dira bisa melihat jelas, Ela tersenyum manis ke arah salah satu tamu itu.

"Wah sepertinya ada yang pacaran nih, datangnya berdua?"   ucapan ibu itu membuat dada Dira bergumuruh. Lagi-lagi ia merasakan sakit disekujur tubuhnya, Dira menatap Bayu dan Elena yang tersenyum ke arah ibu tadi. Ada rasa iri menggerogotinya. "Harusnya aku yang di sana Bay, bersamamu. Bukan Elena."

"Kok tante tahu?" Alih-alih menjawab Bayu malahan balik bertanya. Wajahnya yang sumringah seakan menjawab pertanyaan ibu-ibu tersebut.

Dira kecewa usai mendengarnya. Lagi-lagi pengakuan Bayu menyakitinya. Sedangkan Ela wajahnya merona mendengar pengakuan terang-terangan Bayu pada ibu - ibu tersebut.

"Wah jeng Lena dan jeng Mila bakal jadi besan nih, disegerakan saja jeng?" ucap ibu Rijal salah satu tamu di sana.

Lagi-lagi Dira merasa sesak. Ia Bahkan merasa sangat kesal pada ibu tersebut. Rasanya ia ingin berteriak. Tidak tahukah wanita itu, keingintahuan mereka membuatnya merasakan perih yang mendalam. Sekujur tubuhnya nyaris menggigil menahan rasa sakit yang ia rasakan.

"Aku terserah anak-anak saja jeng, bagaimana baiknya. Kami sebagai orang tua hanya mendukung dan memberi nasihat. Semuanya tergantung Bayu dan Ela." Mila terlihat bahagia saat mengatakannya.

Setetes air mata jatuh begitu saja dari kedua mata Dira. Diana yang berdiri tidak jauh darinya bisa melihat wajah Dira yang tampak pias. Diam-diam Diana berjalan menghampiri sang putri, menggenggam jemarinya kuat begitu tiba di sisinya, sembari berbisik, "Jangan menangis, ada mama di sini," berusaha memberi kekukatan pada sang putri.

"Nah nak Bayu, mamamu sudah merestui. Jadi sepertinya tidak lama lagi akan ada pernikahan di rumah ini?" Kembali ibu Rijal berkata.

"Didoakan saja Bu, semoga dimudahkan jalannya. Lagi pula aku serius sama Ela. Insya Allah setelah lulus kuliah aku berencana ingin melamarnya."

Tubuh Dira semakin menegang, diremasnya kuat jemari sang mama. Merasa terombang ambing di tengah keramaian. Lututnya perlahan melemas membuatnya nyaris terjatuh untung saja Diana segera berdiri tepat dibelakangnya. Berhasil melindungi sang putri.

Ucapan Bayu benar-benar melukainya. Dira menatap nanar pada Bayu, yang bahkan pria itu tidak sadari. Dira tersenyum kecut. "Secepat itukah Bayu memutuskan menikah dengan Ela."

"Nah jeng Diana... Bayu dan Elena kan sudah pacaran artinya tidak lama lagi nih jeng Mila dan Lena bakal punya mantu. Kalau Jeng Diana kapan?"

Diana menoleh ke arah ibu itu. Senyum tipis terbentuk jelas dibibirnya. "Insya Allah kalau sudah waktunya jeng. Mohon doanya semoga dimudahkan."

"Ih... jangan ditunda-tunda atuh jeng, tidak baik anak gadis dibiarkan sendiri terlalu lama nanti jadi perawan tua loh?"

Lagi-lagi Diana hanya tersenyum tidak menghiraukan perkataan ibu itu.

Sementara Dira merasa sangat kesal pada ibu tersebut. Andai saja wanita itu, bukanlah istri pak RT sudah sejak tadi ia ingin memakinya. Wanita itu berhasil membuat tubuhnya memanas dan emosinya semakin meningkat hingga keubun-ubun. Andai saja Dira tidak peduli etika dipastikan ibu-ibu tersebut akan dibuatnya malu.

"Insya Allah semuanya sudah ada yang atur jeng, kalau sudah waktunya tiba Nadira pasti akan bertemu jodohnya biarlah semua mengalir apa adanya lagi pula Dira masih muda baru dua puluh satu tahun. Tunggu kuliahnya selesai dulu baru mikirin jodoh," ucap mama Dira bijak.

Dira tersenyum ke arah mamanya. Hatinya menghangat, perlahan emosinya mulai mencair. Dalam diamnya Dira berucap terima kasih. Dira tersenyum manis kepada sang mama yang dibalas kembali dengan senyuman sama manisnya.

"Dira bisa kamu ke dapur? tolong ambilkan tante kue lapis surabaya yang tadi kamu buat ya sayang." Dira merasa sangat lega karena ucapan tante Mila berhasil mengalihkan pembicaraan ibu-ibu tersebut.

"Baik tante," Dira melepaskan tautan jemari tangannya dari tangan mamanya. Menatap sang mama lembut, seakan membisikkan semua baik-baik saja. Ia lalu berjalan ke arah dapur hendak mengambil apa yang Mila minta tadi.

"Biar aku saja Dir yang bawa ke depan." Sekonyong-konyong Ela muncul. Dira bahkan tidak tahu, bagaimana piring berisi kue ditangannya sudah berpindah ketangan Ela. "Aku yang bawa ya!" Pinta Ela lagi. Dira hanya mampu menganggukkan kepalanya. Tidak kuasa menjawabnya. Tanpa sadar, ia mulai mengikuti arah Ela melangkah.

Nadira hendak masuk ke ruangan, tempat di mana acara pengajian akan dilakukan. Saat ia berjalan semakin mendekat, langkahnya terhenti. Di sana ia melihat dan mendengar bagaimana semua orang memuji Ela, bahkan tante Mila pun terlihat sangat menyukai Ela.

"Ada baiknya hubungan anak-anak kita segera diresmikan." Mila menghampiri Alena, kedua mata ibu itu tidak pernah lepas dari Bayu dan Ela.

"Aku setuju-setuju saja. Kapan pun mereka siap, aku dan papanya Ela pasti lansung merestui. Aku juga merasa tidak usah menunggu selesai kuliah. Bukankah sesuatu yang baik harus disegerakan."

"Kamu benar, aku akan membicarakan hal ini dengan Bayu dan papanya."

Dira tersenyum getir. Ucapan Mila semakin membuatnya terluka. Pupus sudah harapannya. "Bayu aku benar-benar akan kehilanganmu."

Tidak ia hiraukan lagi acara tersebut. Ia putuskan pergi dari rumah Bayu. Tidak tahan lagi berada di sana. Tidak ingin lagi mendengar rencana-rencana mereka. "Aku tidak ingin disini, tidak ingin melihat mereka dan tidak mau mereka melihatku menangis."

Nadira berlari meninggalkan kediaman Bayu. Untung saja rumah mereka berhadapan jadi ia tidak perlu bersusah payah berjalan. Air mata tidak mampu dibendungnya. Bahkan panggilan Bayu yang melihatnya berlari pun tidak dihiraukannya.

Tiba di rumah, Dira masuk ke kamarnya lalu membenamkan wajahnya ke bantal. Di sanalah ia bersembunyi menangisi Bayu, menangisi hatinya yang patah. Cinta pertamanya yang tidak terwujud.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10