PH-08


Tidak semua cinta harus berakhir happy ending. Kadang kala kau harus banyak terluka sebelum menemukan cintamu yang sebenarnya.

Dira terbangun di dalam apartemen Dimas. Dilihatnya jamnya sudah menunjukkan pukl 07.30 pagi. Sepertinya ia akan terlambat. Dira bahkan masih tidak menyadari di mana ia sekarang.

Dira hendak beranjak dari tempat tidur, namun- "awww," ia meringis kesakitan. Ia merasa kepalanya terasa sangat sakit. Helaan napas ke luar dari bibirnya, ingatan akan kejadian semalam perlahan mulai teringat kembali. Ia ke apartemen kakaknya, bertemu Bayu, menangis di hadapannya lalu tertidur di apartemen sang kakak. Dira menatap dinding kamarnya, sesekali ia menekan pelipisnya yang terasa sakit. "Semuanya sudah berakhir."

Tak ada lagi air mata yang ia keluarkan. Berharap hari ini dan seterusnya akan lebih baik. Tidak ingin larut dalam kesedihan, Dira beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Memutuskan bergegas membersihkan diri. Saat ia melihat dirinya dari balik cermin, Dira meringis. Apa yang ia lihat luar biasa menakutkan. Di sana di dalam cermin terlihat jelas wajah gadis yang berantakan. Mata bengkak, dan rambut acak-acakan. "Aku terlihat seperti setan."

Usai mandi Dira mencari beberapa bajunya dilemari Dimas. Untung saja di kamar kakaknya, ia menaruh beberapa baju. Biasanya saat ia tidak sempat pulang ke rumah, Dira menghabiskan waktu di apartemen kakaknya untuk beristirahat karena kesibukan di rumah sakit. Mengingat jarak rumah sakit dan apartemen sang kakak tidak begitu jauh. Usai berpakaian ia memoleskan sedikit make up, untuk mengurangi wajahnya yang bengkak karena menangis.

"Aku pasti bisa," ujarnya menyemangati dirinya sendiri.

Dira berjalan ke luar dari apartemen sang kakak. Sejenak ia menoleh ke kamar sebelah. Tepat di samping kamar sang kakak. Sorot matanya perlahan berubah sedih, namun hanya sebentar. Selanjutnya ia memilih pergi, meninggalkan tempat tersebut. Sejak ia melangkah ke luar dari sana, Dira sudah memutuskan melupakan semuanya. Memulai hari yang baru. Sekalipun ia tidak yakin bisa melupakannya dengan mudah, mengingat rasa cintanya yang sudah lama.

@@

Tidak butuh waktu lama Dira tiba di rumah sakit. Mengingat jarak apartemen sang kakak tidak begitu jauh dari rumah sakit tempat di mana ia bekerja. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Cukup siang untuk seorang dokter. Ini pertama kalinya ia terlambat.

"Selamat pagi dokter Dira," sapa seorang suster yang bernama Anti.

Dira menoleh, seraya tersenyum padanya. "Pagi juga Anti, maaf ya pagi ini aku sedikit terlambat."

Anti tersenyum tipis sebelum menjawabnya. "Tak apa dok, sekali-kali. Lagi pula pasien belum ada."

Dira kembali tersenyum pada sang suster. Kemudian berjalan ke arah kursinya. "Hari ini, aku ada jadwal apa saja?"

Anti memeriksa catatan yang berisi jadwal sang dokter, yang selalu ia bawa. "Dokter ada kunjungan pasien di bangsal dan di VIP. Dan juga Dokter Hendra mencari dokter sejak tadi. Dokter Hendra berkata agar dokter menemuinya diruangannya saat dokter tiba."

Dira mengangguk mengerti. "Baiklah, terima kasih Anti."

"Sama-sama dokter."

Dira bersama Anti melakukan kegiatan pertamanya di pagi ini. Mengunjungi pasien di bangsal dan VIP. Wajah ramah, serta senyuman terus ia sematkan pada sang pasien. Dira larut dalam kegiatannya. Seakan tak ada kejadian kemarin yang menyesakkan hatinya.

Usai melakukan visit, Dira memutuskan menemui Dokter Hendra.

Tok... tok...

"Masuk," ucap Dokter Hendra dari dalam ruangannya.

"Selamat pagi Dokter." Sapa Dira sopan pada sang pemilik rumah sakit sekaligus professor pembimbingnya kemarin saat ia bekerja sebagai residen.

Dokter Hendra menoleh ke arah Dira, sekilas ia mengangguk. Kemudian memintanya untuk duduk.

Dira lalu duduk tepat di depan meja kerja Dokter Hendra "Maaf Dok, Suster anti tadi berkata anda mencariku. Jika boleh tahu ada apa dokter mencariku sepagi ini."

Hendra mengangguk. Ia lalu mengambil sebuh dokumen dari balik laci mejanya kemudian menyerahkannya pada Dira.

Dira meraih dokumen yang dokter Hendra berikan. Bertanya dalam hati, "apa ini?"

"Bukalah." Pinta Hendra, pandangannya tidak lepas dari Dira yang terlihat gugup.

Dira membaca apa yang tertulis di sana. Tawaran menjadi sepesialis di rumah sakit di kota Makassar.

"Aku merekomendasikanmu. Melihat kinerjamu yang bagus, aku mengajukanmu sebagai Dokter spesialis anak untuk bekerja disalah satu cabang rumah sakit yang ada di Makassar."

Dira menatap Hendra penuh tanya. Ada ragu yang tersirat dari balik matanya. Merasa tidak percaya diri, mengingat ia belum cukup setahun resmi menjadi spesialis anak. Meskipun selama ia residen ia sudah banyak menghadapi berbagai macam penyakit anak. "Apa dokter yakin aku mampu bekerja dengan baik disana?"

"Tentu saja, karena aku yang mendidikmu. Aku pasti tahu dan mengenal dengan baik anak didikku."

Dira sejenak terdiam. Mulai memikirkan tawaran dari Dokter Hendra. Naluri dan otaknya berkata untuk menerima tawaran tersebut. Ini kesempatan baik baginya. Ia butuh suasana baru. Mungkin dengan pergi, ia bisa melupakannya. "Aku menerimanya dokter."

"Bagus. Ini tiket pesawatmu. Besok pagi kamu berangkat."

"Apa?" pekik Dira terkejut. Ia nyaris berteriak. Tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Berangkat sekarang?"

"Apa tidak terlalu cepat Dok. Aku belum menyiapkan pakaian dan keperluan lainnya."

"Kalau untuk hal itu kamu boleh pulang sekarang untuk berbenah."

Dira mengangguk. Menerima perintah dari dokter Hendra. "Baiklah Dok. Kalau begitu saya permisi."

Dira pamit dan keluar dari ruangan Dokter Hendra. Antara senang dan bingung itu yang ia rasakan. Ia bahkan tidak sempat berpamitan dengan pasiennya. Tapi, satu-satunya alasan Dira menerima tawaran dokter Hendra, ia hanya berharap di sana nanti, ia bisa melupakan Bayu.

Dira tiba di rumahnya pukul satu siang. Diana yang melihat putrinya langsung memeluknya. "Kamu kok sudah pulang?" tanyanya heran karena setahunya, Dira biasa tiba di rumah jam enam.

"Dira mau berbenah ma. Soalnya besok Dira mau ke Makassar."

"Makassar? Ngapain?" tanya Diana lagi.

"Dira menerima tawaran bekerja di rumah sakit cabang yang di Makassar."

"Kamu mau ke Makassar?" tanya Narendra diikuti oleh Dimas di belakangnya.

Dira mengangguk, "Iya pa." Lalu berjalan memeluk sang kakak.

Dimas tersenyum melihat adiknya. Tadinya ia merasa khawatir. Sejak semalam tak ada kabar darinya. Namun, melihat Dira di hari ini, ia pun merasa tenang. Setidaknya adiknya baik-baik saja sekarang.

"Kamu yakin mau ke Makassar de?"

Dira melepaskan pelukannya, tersenyum tipis pada sang kakak. "Kapan?" tanya mamanya. Tidak percaya denga apa yang ia dengar saat ini.

"Besok?"

"Apa?" teriak Mama, Papa serta Dimas serempak. Mereka terkejut dengan jadwal keberangkatan Dira yang kesannya terburu.

"Kamu yakin? Kenapa harus buru-buru begitu?"

Dira mengangkat bahunya, ia sendiri cukup bingung. Namun, tidak ia hiraukan lagi, apa lagi sekedar bertanya pada dokter Hendra. Untuk kali ini, baginya ini adalah jalan terbaik.

"Tapi, kok buru-buru amat sayang. Apa kamu harus ke sana? Kamu mau ninggalin mama?" Diana menangis dipelukan suaminya. Ia masih syok denga apa yang ia dengar. Anak gadis satu-satunya akan pergi jauh.

"Kamu nggak lagi, melarikan diri kan ?" Ada ragu yang Dimas rasakan. Mengingat kondisi hati adiknya yang sedang tidak stabil.

Dira tersenyum miris pada sang kakak. "Ini yang terbaik kak. Hanya dua tahun, ah tidak mungkin hanya setahun. Percaya sama aku, ma... pa... kak. Aku akan baik-baik saja."

Narendra memeluk sang putri. "Papa mendukung semua keputusanmu nak. Tapi, kamu janji jangan menangis lagi. Di sana harus bisa jaga diri dengan baik. Dan jangan tinggalkan Tuhanmu."

Dira mempererat pelukannya. "Dira sayang papa, sayang mama dan sayang sama kak Dimas. Dira janji, akan melakukan semua pesan papa dan mama juga kak Dimas."

Malam harinya sebelum berangkat Dira datang menemui Ela. Suasana rumah Ela terlihat sangat ramai saat ini. Maklum saja, malam ini akan digelar pengajian. Dira tersenyum dan menyapa beberapa tetangganya saat ia masuk di rumah Ela.

"Loh Dira." Sapa Alena begitu melihat Dira.

Dira tersenyum pada mama Ela. Meraih tangan wanita itu dan mengecupnya.

"Elanya mana tan?"

Alena tersenyum pada sahabat putrinya itu. Sudah lama ia tidak melihat Dira. Tadinya ia berfikir mereka ada masalah. Tapi, usai mendengar dari Mila jika Ela didampingi Dira datang untuk Fitting, ditambah tentang kedekatan gadis itu dengan Azka, ditepisnya segala fikiran buruknya.

"Ela di kamarnya sayang. Kamu ke sana saja."

Dira mengangguk, kemudian pamit pada mama Ela lalu berjalan ke arah kamar sahabatnya itu.

Tok... tok..., ceklek

Suara ketukan pintu, disusul bunyi pintu terbuka membuat Ela menoleh. Dilihatnya di sana di depan pintu, Dira berdiri, lalu berjalan ke arahnya.

Dira terssenyum menatap Ela. Gadis itu terlihat canyik dengan gamis berwarna biru mudanya.

"Kamu cantik sekali la," jujur Dira mengatakannya.

"Terima kasih," jawab Ela dengan senyuman tulusnya.

"Apa kamu sibuk El?"

"Nggak kok. Hanya menunggu acara pengajian di mulai."

Dira sekilas mengangguk. Sesekali ia melirik kamar Ela yang terlihat sangat indah. "Dekorasinya sangat cantik El. Kamu pandai memilih warna."

"Itu bukan pilihanku tapi pilihan mama."

"Owh," Hanya itu yang Dira ucapkan. Sesaat keduanya terdiam, sebelum akhirnya Dira mulai angkat bicara.

"El...." panggil Dira kepada sahabatnya. "Aku mau pamit, sekaligus mau minta maaf jika besok aku nggak bisa hadir dipesta pernikahanmu."

Ela terkejut akan ucapan Dira. "Kok gitu sih, kamu mau kemana?" Wajah Ela terlihat sedih mendengar perkataan Dira, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Ia memang cemburu pada Dira, tapi sebagai sahabat ia sangat menyanyanginya,

"Aku akan pindah ke Makassar. Pihak rumah sakit memintaku kesana."

"Apa nggak bisa ditunda, paling tidak setelah akad nikahku besok."

Dira menggeleng lemah. "Maaf El. Aku nggak bisa datang. Bahkan aku akan berangkat malam ini juga."

Mulut Ela terbuka, tidak percaya apa yang ia dengar. "Secepat itu Dir? Sayang sekali kamu nggak bisa datang. Padahal aku berharap kamu bisa mendampingiku saat acara akad hingga resepsi nanti." Wajah Ela seketika murung, matanya mulai basah.

Dira memeluk sahabatnya erat. "Aku harap kamu bahagia El, jadi istri yang salehah ya. Jangan manja lagi."

Ela tak kuasa menahan tangisnya. "Aku pasti bakal kangen sama kamu."

Tidak ada lagi yang Dira ucapkan selain ungkapan penyesalan dan maaf yang hanya ia ucapkan dalam hati. Mengingat alasan sebenarnya menerima tawaran tersebut.

@@@

Usai dari rumah Ela, Dira kembali merapikan barangnya yang akan ia bawa memasukkan ke dalam koper. Mengingat malam ini juga Dira akan ke Makassar. Dira melirik jam yang bergantung di dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sementara pesawatnya berangkat sekitar pukul sebelas malam. Itu artinya ia harus ke bandara sekitar jam sepuluh malam.

Dira sekali lagi memastikan kembali beberapa barang yang akan dia bawa kembali, sebelum benar-benar menutupnya. Setelah itu, ia pun berbenah diri.

Diana menatap sang putri yang tengah berjalan ke arahnya sambil menenteng kopernya. Ada rasa tidak rela melepaskan putri kesayangannya.

Dira memeluk mamanya begitu tiba di hadapannya. Sejujurnya ia pun merasa berat untuk pergi. Tapi, buatnya untuk saat ini, hanya ini jalan terbaik. Satu-satunya cara melupakan Bayu mungkin dengan pergi. Hidup di tempat lain. Sekalipun terkesan melarikan diri dan pengecut. Namun, jika itu bisa membuat bahagia kenapa tidak.

Diana menangis disamping putrinya. Dia bahkan tidak tahu alasan Dira pergi. Yang dia tahu Dira memutuskan menerima tawaran menjadi dokter anak di kota Makassar. Melihat Diana yang terus menangis, Narendra suaminya menghampirinya. Mengusap bahu sang istri memberikan kekuatan dan keyakinan jika Dira akan baik-baik saja.

"Apa kamu yakin akan pergi?" tanya Dimas ragu.

"Iya kak." Mantap Dira mengatakannya. Tidak ada keraguan sama sekali saat ia mengucapkannya. "Ini yang terbaik."

Dimas mengangguk, mengerti akan keinginan sang adik. Lalu mendekat memeluknya. "Jika itu bisa buat kamu bahagia, Kakak akan mendukungmu. Kamu hati-hati di sana dan jaga dirimu dengan baik. Jangan lupa shalat dan makan ya."

"Iya. Dira akan dengarkan semua nasihat kakak."

Dira melepaskan pelukannya pada Dimas, ia melangkah kemamanya yang tengah duduk di sofa sambil menangis.

Dira memeluk mamanya erat. Kemudian melepaskannya, lalu mersih jemari tangan sang mama, seraya berkata, "Ma, jangan menangis. Dira kan hanya pergi kerja. Dan Makassar dekat kok ma. Naik pesawat sebentar juga sudah tiba. Mama bisa ke sana kapan saja mama mau."

"Tapi kan beda sayang! Kamu nggak bisa ada di dekat mama tiap hari. Apa kamu nggak bisa menolak tawaran itu? Kamu nggak kasihan sama mama, saat kakak dan papamu sibuk siapa yang akan menemani mama?"

"Mama tenang saja, Dira akan hubungi mama 3x sehari biar mama gak kesepian."

"Sudah ma... jangan menangis lagi. Kasihan Diranya kalau mama menangis terus. Lebih baik mama doakan Dira supaya segala urusannya dimudahkan dan diberi kebahagiaan." Bujuk Narendra pada istrinya.

Sekalipun tidak rela, pada akhirnya ia merelakan sang putri pergi ke Makassar. "Ini pertama kalinya kamu pergi jauh dari rumah. Ingat janjimu, akan selalu menghubungi mama. Satu hal lagi kamu harus hati-hati di sana dan jaga dirimu dengan baik. Hati-hati bergaul dengan orang lain. Apa lagi kamu sendirian di sana. Dan ingat semua pesan kakakmu tadi khususnya jangan lupa shalat."

Dira tersenyum kepada mamanya. "Iya mamaku sayang. Dira akan ingat semua pesan mama, papa dan kak Dimas."

"Ya, sudah, tangis-tangisannya bjsa dihentikan sekarang. Soalnya sekarang kita harus ke bandara. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan tiga puluh," sela Dimas pada sang mama.

Diana mengangguk. Lalu memeluk kembali sang putri. Senyum ia perlihatkan pada sang putri begitu ia melepaskan pelukannya.

"Ayo, Ma... Dir. Kakak takut kita terjebak macet."

Dira dan Diana berdiri, berjalan ke luar rumahnya masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke Bandara. Saat mobil yang ia gunakan ke luar dari rumahnya, sesaat Dira menoleh ke belakang lalu berbalik. "Bayu, aku pergi. Semoga kamu bahagia. Dan semoga aku bisa melupakanmu."

Dugaan Dimas ternyata benar. Jalanan ternyata cukup macet malam ini. Dira tiba di bandara sekitar sepuluh lewat tiga puluh menit. Untung saja ia tidak terlambat. Masih ada tiga puluh menit untuk chek in. Ia lalu turun dari mobil, lalu masuk ke dalam Bandara di susul oleh Mama, papa dan juga Dimas.

"Ma, pa, kak, Dira pamit," ujarnya sambil memeluk mereka bergantian.

Narendra yang sejak tadi tak banyak bicara, mengecup kening sang putri, sambil berkata, "Saat kamu merasa kesulitan di sana ingatlah ada Allah SWT yang menjagamu, dan keluargamu yang selalu mendukungmu."

Dira mengangguk. "Aku pergi," sekali lagi ia berkata. Lalu berbalik, masuk ke dalam pintu keberangkatan.

Diana menangis di pelukan suaminya. Sementara Dimas hanya diam menatap sang adik yang perlahan hilang dalam pandangannya. "Kakak harap saat kamu kembali nanti, hatimu sudah sembuh."

@@

Matahari terlihat mulai tampak dari peraduannya. Suara burung berkicau terdengar indah. Bayu bangun dari tidurnya, sekilas ia melirik jendela kamarnya yang terbuka. Lalu turun dari tempat tidur berjalan ke arah balkonnya menghirup udara pagi.

Saat ia hendak berjalan masuk ke dalam kamarnya kembali, sudut matanya menangkap jendela kamar Dira yang terbuka. Ia pun terhenti, pandangannya lurus ke arah sebelah rumahnya. Namun, saat yang ia lihat yang ke luar adalah Dimas, seketika kecewa yang ia rasa. "Apa yang kau harapkan Bayu? Berharap Dira menyambutmu dengan senyumannya seperti dulu? Kau gila. Kau sudah menyakitinya. Kau pantas dibenci." Lirih batinnya mengatakannya.

Sementara itu dari kamar Dira, Dimas bisa melihat Bayu yang melihat ke arahnya. Tak ada teriakan pagi seperti biasanya. Hanya tatapan dingin yang ia berikan. Bagaimana pun, ia seorang kakak. Dan sudah tugasnya menjaga sang adik. Melihat orang yang sudah melukai adiknya, sebagai kakak nalurinya seakan ingin memaki bahkan memukul orang tersebut. Tapi, disatu sisi ia mengerti, jika perasaan orang tidak bisa dipaksakan. Tak ingin berlama-lama, Dimas memutuskan masuk ke dalam kamar adiknya. Menutup rapat-rapat pintu dan jendela kamarnya.

@@

Akhirnya hari pernikahan pun tiba. Akad nikah akan berlangsung di rumah Ela, sedangkan resepsi akan berlangsung di hotel nanti malam. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, itu artinya masih ada dua jam sebelum akad nikah dimulai. Bayu menatap baju pengantin dihadapannya. Ditariknya nafas panjang seraya berkata, "Bismillah, insya Allah ini yang terbaik."

Sementara itu di rumah Ela, keluarga besarnya terlihat sibuk. Bersiap-siap menyambut iringan sang mempelai pria. Beberapa sepupu Ela terlihat bolak-balik. Ada yang mencari di mana sepatunya, ada yang protes karena tak kunjung tiba gilirannya berdandan. Maklum saja, beberapa dari mereka menggunakan ahli rias yang Ela juga gunakan. Selebihnya memilih ke salon dengan alasan tak ingin antri berlama-lama.

Alena masuk ke kamar sang putri. Terlihat di sana Ela telah selesai di rias. Senyum bahagia terlihat jelas dibibir Alena.
Berjalan ke arah sang putri dan duduk di sampingnya. Alena meraih jemari Ela. Menepuknya pelan, sambil tersenyum ia berucap, "Hari ini, kamu bukan lagi tanggung jawab mama. Akan ada suamimu yang memiliki hak penuh atas dirimu. Sekalipun demikian, mama dan papa akan selalu jadi orang nomor satu yang akan mendukungmu. Kami akan selalu ada buatmu sayang. Mama harap kamu hidup bahagia. Jadilah istri yang salehah buat suamimu. Patuhi dan taatlah akan segala perkataannya selama itu untuk kebaikan."

Ela mengangguk, matanya yang terlihat berkaca-kaca pada akhirnya mengalir ke luar. Untung saja make up yang ia gunakan adalah yang bagus. Tak mudah luntur.

"Mbak Ale, pengantin prianya sudah datang," ujar Mira ibunda Azka yang juga hadir di sana. Alena mengangguk, mengecup kening sang putri. Sebelum ia berjalan ke luar dari kamar Ela untuk menyambut sang pangeran yang akan membawa putrinya.

Bayu didampingi orang tuanya menuju kediaman keluarga Wijaya. Karena rumah mereka sangat Dekat jadi tidak butuh waktu lama untuk tiba disana.

Bayu disambut papa Ela dan kerabat lainnya. Termasuk Azka, sepupu Ela. Masuk ke dalam rumah Ela dan duduk di depan penghulu.

"Apa akad nikah sudah bisa dilaksanakan?" tanya penghulu tersebut kepada Bayu

"Iya silahkan pak memulainya," jawab Bayu singkat.

"Karena sang mempelai pria sudah siap, begitupun sang mempelai wanita, akad nikah sudaha bisa kita laksanakan. Kalau boleh saya tahu, apa akad nikah ini akan langsung di lakukan oleh bapak Wijaya selaku ayahnya, atau akan di serahkan kepada kami," tutur penghulu tersebut kepada Wijaya, ayah dari Ela.

"Saya sendiri yang akan menikahkan putriku," ujarnya pada sang penghulu.

"Baiklah, jika begitu akad nikah sudah bisa kita laksanakan. Bapak Wijaya silahkan memulainya," ujar penghulu tersebut, sambil mengarahkan Wijaya.

Sementara itu di kamar pengantin Ela tampak gugup. Ia sangat takut jika Bayu melakukan kesalahan saat ijab qabul nanti.

Bayu memejamkan matanya sesaat. Lalu membukanya perlahan kemudian menerima uluran tangan papa Ela.

"Bismillahi rahmanirahim...."

"Saudara Bayu Aditya bin Erlangga Abimanyu, aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandungku Elena binti Wijaya Herawan dengan seperangkat alat shalat dan ayat suci Alquran dan mahar berupa cincin berlian dan uang tunai sebesar 4.020.000,16 rupiah dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Elena binti Wijaya Herawan dengan seperangkat alat shalat dan ayat suci alquran dan mahar berupa cincin berlian dan uang tunai sebesr 4.020.000, 16 rupiah dibayar tunai."

"Bagaimana saksi?"tanya penghulu tersebut.

"Sah... sah..." ujar para saksi pernikahan mereka dan tamu yang turut mengikuti prosesi akad nikah.

"Alhamdulillah," jawab penghulu tersebut dan ayah Ela bersamaan. Selanjutnya sang penghulu membacakan doa untuk sang mempelai.

"Silahkan membawa mempelai wanitanya kemari," ucap penghulu tersebut.

Ela keluar dari kamar didampingi oleh mamanya. Terlihat sangat cantik menggunakan kebaya putih yang senada dengan baju Bayu. Bayu yang melihatnya, tak menampik jika Ela sangat cantik dengan balutan kebaya putih yang ia gunakan.

Ela pun duduk di samping Bayu. "Nah Bayu pakaikan cincin ini dijari istrimu," pinta Mila ibunya.

Bayu memakaikan cincin dijari Ela begitu juga Ela sebaliknya. Selanjutnya Ela mencium tangan Bayu. Dan Bayu mencium kening Ela lembut membacakan doa pada sang istri.

Diana, Narendra, dan Dimas yang turut hadir, ikut berbahagia dan mendoakan mereka.

Usai akad nikah malam harinya dilaksanakan sebuah resepsi mewah disalah satu hotel ternama di Jakarta. Suasana meriah dan mewah tergambar dari pesta tersebut. Bayu menatap semua tamu yang datang, matanya mencari satu orang yaitu Dira, namun ia tak kunjung melihatnya.

Dimas naik ke atas pelaminan untuk memberikan ucapan selamat pada kedua sahabat adiknya ini.

"Selamat ya El, semoga jadi keluarga SAMAWA dan mendapat keturunan yang sholeh dan soleha."

"Amin, makasih banyak kak untuk doanya dan kehadiran kakak disini."

Dimas pun beralih ke Bayu. Dengan ucapan yang sama ia berikan kepada Bayu. Bayu tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Dimas. Namun, sebelum Dimas turun ia pun membisikkan sesuatu pada Bayu, "Aku tahu kamu mencari Dira, tapi Dira tidak akan datang. Dira sudah pergi Bayu." Bayu terkejut mendengar ucapan Dimas, dan hal itu tidak luput dari pandangan Ela. Ela bisa melihat jelas wajah suaminya yang tampak pucat usai Dimas membisikkan sesuatu padanya.

"Bayu... Bayu," panggil Ela, wajahnya terlihat khawatir. Matanya terus menatap sang suami.

"Kamu kenapa, wajahmu kok pucat mas?"

Bayu tersadar, ia lalu menoleh ke arah Ela. Tersenyum tipis pada sang istri. "Aku nggak papa."

Usai resepsi Bayu dan Ela masuk ke dalam kamar hotel yang telah disiapkan untuk mereka. Malam ini mereka akan tinggal di sana. Sementara keluarga lainnya kembali ke rumah.

"Kamu terlihat lelah."

"Iya. Seluruh tubuhku terasa kaku. Rasanya ingin segera tidur, tapi aku harus melepaskan yang kukenakan ini," keluh Ela pada sang suami.

Bayu tersenyum pada Ela. Memahami keluhan sang istri. "Sini aku bantu bukain kebaya kamu."

Wajah Ela merona. Gugup, cemas, dan takut. Mengingat ini adalah malam pertama mereka. Ragu-ragu Ela mengangguk. Ia pun membiarkan Bayu membantunya.

"Mas, aku mandi dulu ya," ucap Ela. Tergesa-gesa ia masuk ke kamar mandi. Sejujurnya ia merasa sangat gugup. Terlebih Bayu yang terus menatapnya.

Bayu pun tersenyum melihat kegugupan istrinya. Tidak ingin menunggu hingga Ela selesai di karenakan gerah yang ia rasakan, Bayu memutuskan mandi di kamar hotel lainnya. Tentu saja ia bebas melakukan apa saja karena ialah sang pemilik hotel ini.

Bayu kembali ke kamarnya, namun ia tidak melihat istrinya. Pandangannya beralih ke arah kamar mandi yang masih tertutup "Sepertinya Ela masih mandi."

Bayu melangkah ke balkon kamarnya. Memejamkan kedua matanya. Menikmati keheningan malam. Angin bertiup sepoi-sepoi, membuat dingin menghampirinya. Sebuah kerinduan ia rasakan. "Dira."

Ela yang melihat suaminya berdiri di balkon kamar hotel, segera menghampirinya. Dan memeluk Bayu dari belakang. Bayu yang tengah larut dalam fikirannya, terkejut saat ia rasakan pelukan dari seseorang yang tak lain adalah Ela istrinya. "Istri? Iya, Ela adalah istriku. "Tidak sepantasnya aku memikirkan wanita lain dimalam pengantin kami."

Bayu berbalik dan melihat istrinya yang tampak segar. "Cantik," tanpa sadar ia mengatakannya. Ela yang mendengarnya seketika merona. Senyumnya merekah bak bunga yang sedang mekar."Mas mandi dimana?" tanyanya mengalihkan. Berusaha menghilangkan rasa gugupnya.

"Di kamar sebelah?" jawab Bayu tanpa mengalihkan pandangannya. Lalu memeluk sang istri.

Jantung Ela berdetak kencang, gugup menerpanya. Ditambah Bayu yang semakin mengeratkan pelukannya. "Aku mencintaimu Ela." Lembut Bayu mengatakannya, membuat wajah Ela merona.

"Aku juga mencintaimu Mas Bayu." Ya, ia akan mengubah panggilannya mulai saat ini. Bagaimanapun tidaklah sopan menyebut Bayu dengan namanya saja. Mengingat pria itu adalah suaminya.

Bayu menatap istrinya lembut. "Kamu tahu menikah bukan awal kebahagiaan. Tapi, bagaimana cara kita agar selalu bisa membuat pernikahan ini dipenuhi kebahagiaan. Mulai hari ini, hidup baru kita dimulai. Aku berharap kamu akan membantuku membuat rumah tangga kita ini dipenuhi kebahagiaan bersama anak kita kelak. Karena tanpamu, aku tidak bisa mewujudkan ini semuanya. Rumah tangga yang baik tidak akan berhasil jika hanya satu orang yang berperan."

Ela tersentuh dengan ucapan Bayu. "Insya Allah mas, aku akan berusaha. Bersamamu mewujudkan rumah tangga yang dipenuhi kebahagiaan."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10