PH-07


Bayu berdiri di sudut jendela kamarnya. Matanya terus tertuju ke arah kamar di seberang rumahnya. "Nadira." Lirih batinnya menyebut namanya. Mendekati hari di mana ia dan Ela akan mengikat janji sebagai pasangan suami istri, semakin membuat Bayu merasa tidak tenang. Fikirannya tertuju akan satu gadis. Gadis yang sudah ia lukai.

Bayu merunduk di lantai kamarnya. Setetes air mata perlahan mengalir di wajahnya. Satu hal yang perlahan ia yakini, ia mencintai Dira. Dalam kebingungan ingatan akan kejadian beberapa waktu yang lalu muncul kembali di hadapannya.

Bayu masih menatap kepergian Dira. Sedih tentu saja karena lagi-lagi ia melukai sahabatnya. Namun bagi Bayu ini adalah yang terbaik. Ia tidak mungkin terus membiarkan Dira larut dalam perasaannya.

Usai lamaran Bayu secara pribadi, dua hari kemudian keluarga besar Abimanyu datang kekediaman Wijaya untuk meminang secara resmi putri tunggal mereka yaitu Elena.

Wijaya dan Alena sangat bahagia, akhirnya putri semata wayang mereka akan segera menikah. Terlebih sang putri menikahi laki-laki yang baik yakni Bayu.

"Nggak nyangka ya mbak akhirnya kita bakal jadi besan," ungkap mama Ela pada ibunda Bayu.

"Iya bu, aku juga gak nyangka loh, mereka berdua akhirnya bakal menikah."

Kedua orang tua itu terlihat sangat bahagia menyaksikan kebahagiaan putra dan putri mereka.

"Loh, Elanya mana... dibawa dong kesini. Aku kan mau lihat bakal mantuku," ucap Mila pada mama Elena.

Alena tersenyum pada calon besannya itu. "Tunggu ya mbak, aku panggil Ela dulu."

Alena lalu berdiri, berjalan menuju kamar sang putri.

Tok... tok...

Alena masuk kedalam kamar Ela. Dilihatnya di sana putrinya sudah siap. Sebuah senyum terukir dibibirnya dengan jelas. Alena pun menghampiri Ela...

"Sayang apa kau sudah siap?"

"Iya Ma." Senyum tidak pernah hilang dari bibirnya. Ini adalah hari bahagianya. Sekalipun masih tahap lamaran ia tetap bahagia. Setidaknya selangkah lagi menuju jenjang yang lebih sakral yaitu pernikahan.

"Kita turun yuk, calon mertua dan calon suamimu sudah nggak sabar mau lihat calon menantu dan calon istrinya."

Ela merona mendengar perkataan mamanya. "Ma... Ela cantik nggak?"

Alena menatap putrinya, sekali lagi ia tersenyum manis pada Ela, "Cantik... bahkan sangat cantik sayang."

Ela lalu ke luar kamar didampingi mamanya. Malam itu Ela terlihat sangat cantik. Dengan menggunakan kebaya berwarna biru muda. Bayu sampai tidak dapat memalingkan mata dari wajahnya.

Ela terus menundukkan wajahnya. Gugup tentu saja. Bahkan sejak ia duduk disamping Bayu tidak sekalipun Ela menoleh padanya.

"Aduh cantiknya calon menantuku, iya kan pi? Ela sangat cantik malam ini, liat saja muka Bayu nggak pernah berpaling dari wajah Ela."

Bayu yang disebut namanya oleh sang mama, pun tersipu-sipu malu karena ketahuan menatap Ela dari tadi. Sementara Ela tidak mampu berkata apa-apa, wajahnya sudah seperti tomat. Sejak tadi dia hanya diam namun jantungnya berdetak cepat.

"Jadi gimana kalau pernikahannya kita laksanakan dua bulan dari sekarang?" antusia Mila mengatakannya. Sudah lama ia memimpikan hal ini. Memiliki seorang putri sekalipun hanya seorang menantu.

"Kami setuju, dua bulan dari sekarang pernikahan anak-anak dilaksanakan." Wijaya tersenyum bahagia menatap sang putri saat memutuskannya,

Bayu terbangun dari lamunannya. Hatinya seketika mencolos. Dua bulan nyatanya terlalu singkat buatnya. Ia mulai meragu. Ia mulai merasa tidak yakin. Hatinya masih mencintai Ela, tapi ada bagian terkecil dalam dirinya yang menginginkan Dira.

Bayu dengan lamunannya bahkan tidak menyadari kehadiran mamanya yang entah sejak kapan masuk ke kamarnya.

"Kamu kenapa nak?" ada nada khawatir dibalik pertanyaannya. Mila bukannya buta. Ia bisa melihat perubahan putranya dua bulan belakangan ini. Tidak seperti pengantin lainnya yang terlihat bahagia. Bayu malah sebaliknya, terlihat lelah dan uring-uringan. Bahkan tidak jarang sang putra menghabiskan berjam-jam berdiam diri di balkon kamarnya. Entah apa yang putranya lakukan? Mila pun tak tahu. Namun, suatu malam di bawah alam sadar Bayu, ketika ia terlelap dalam tidurnya tidak sengaja Mila mendengar putranya menyebut nama Dira. Sejak saat itu, ia yakin anaknya sedang tidak baik-baik saja. Terlebih ia pun sudah begitu lama tidak melihat Dira. Bahkan saat acara lamaran Dira bahkan tidak ikut berpartisipasi padahal semua orang tahu mereka bersahabat.

"Kamu kenapa? Mama perhatikan belakangan ini kamu seakan ada masalah. Kalau kamu mau, kamu bisa cerita sama mama." Penuh kelembutan Mila berkata, sesekali tangannya mengusap kepala sang putra.

Bayu menatap sendu sang mama, kemudian memeluknya erat. Seketika tangisnya pecah. Mila terkejut, ini pertama kalinya ia melihat putranya menangis seperti ini. "Sayang, kamu kenapa? Bilang sama mama?" Mila tidak kuasa menyembunyikan kecemasannya.

"Bayu takut ma." Lirih Bayu mengatakannya.

"Takut kenapa sayang." Mila kembali bertanya, tatapannya lembut terus diarahkan ke sang putra saat ia melepas pelukannya.

"Bayu takut nggak bisa melanjutkan pernikahan ini."

Mila terdiam,cukup terkejut akan perkataan sang putra. "Memangnya kenapa? Kamu ada masalah sama Ela?"
Berusaha bersikap tenang dan bijak, Mila dengan lembut menanyakan kembali pada putranya.

Bayu menggeleng. "Ela nggak salah ma. Ini salah aku. Aku bingung dan merasa tidak yakin akan diriku sendiri."

Mila meraih jemari tangan Bayu, menepuknya pelan. "Dengar sayang! Menjelang hari pernikahan para pasangan pengantin biasanya akan terlihat stress dan dihantui fikirian macam-macam. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Satu hal yang harus kamu ingat, pernikahan ini terjadi karena kamu yang menginginkannya. Karena kamu mencintai Ela. Mama percaya padamu nak. Kamu pasti bisa membahagiakan Ela."

Bayu diam, menyimak tiap perkataan sang mama. Ia tahu, hal ini terjadi karena keinginannya. Dan tidak mungkin ia mundur. Andai saja bisa, Bayu ingin sekali memikirkan ulang. Menata hatinya, mencari tahu apa yang ia inginkan. Tapi, jika ia melakukan itu, dirinya tidak lebih dari seorang pengecut bahkan bajingan. Ela terlalu baik untuk disakiti. Sudah cukup ia menyakiti Dira. Bayu merasakan dadanya sesak saat mengingat gadis itu. Gadis yang diam-diam menyimpan rasa yang mendalam di dadanya.

"Mama tahu kamu mencintai Dira. Cinta yang terlambat kamu sadari."

Bayu tercekat, lidahnya terasa kelu. "Ba... bagaimana bisa mama mengetahuinya?"

Mila tersenyum ke arah Bayu. "Aku mamamu, tiap perubahan dalam dirimu mama bisa membacanya."

"Bayu memang mencintainya ma. Tapi, cinta Bayu sudah terlambat." Wajah Bayu terlihat pias saat mengatakannya. Setetes air mata perlahan jatuh membasahi pipinya.

Mila menggeleng, "Semua keputusan ada sama kamu. Kamu sudah bisa memutuskan mana yang terbaik buat dirimu. Kamu sudah bisa memutuskan siapa yang akan membuatmu bahagia atau tidak. Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu nak, akan selalu ada yang terluka dalam tiap keputusan yang menyangkut hati. Tapi, percayalah itu hanya diawal saja. Karena Tuhan tidak mungkin salah dalam menyatukan dua pasangan. Mama percaya sama kamu nak. Apapun keputusan kamu, mama akan mendukungmu. Bagi mama, kebahagiaan anak mama yang terpenting."

Mila lalu berdiri berjalan ke luar kamar meninggalkan putranya yang termenung.

Bayu diam, memikirkan kembali tiap perkataan sang mama. Ya, keputusan memang ada ditangannya. Satu-satunya yang Bayu sadari, ia sudah bermain hati.

@@

Hari berganti tiap harinya, hingga tidak terasa dua bulan berlalu begitu cepat. Hari pernikahan Bayu dan Ela pun semakin dekat. Seminggu menjelang acara pernikahan, suasana kediaman keluarga Wijaya Herawan sudah mulai ramai. Begitupun di rumah keluarga Abimanyu. Terlihat kerabat mulai berdatangan baik yang ada di Indonesia maupun di luar negeri.

Hiruk pikuk mulai terlihat di rumah mereka masing-masing. Tidak hanya kerabat bahkan para tetangga ikut membantu. Karena jarak rumah mereka yang berdekatan, akhirnya para tetangga mereka memutuskan membagi diri. Separuh di rumah pihak wanita dan separuhnya di rumah pihak laki-laki.

Sejak dimulainya persiapan pernikahan Elena, Dira memang tiak mau ambil bagian terlalu banyak. Sebisa mungkin ia menghindar dari segala kesibukan yang berhubungan dengan pernikahan Bayu dan Ela. Cukup mama dan papanya saja yang sibuk. Dira tidak memiliki hati dan jantung yang kuat untuk mengikuti persiapan pernikahan Bayu dan Ela. Namun, sepertinya keberuntungan tidak berpihak padanya. Ia ingat betul seminggu yang lalu Ela tiba-tiba saja muncul di rumah sakit. Awalnya ia heran, tapi saat Ela memintanya menemani ke butik untuk fitting gaun pengantin, Dira sadar seberapa jauh ia berlari, pada akhirnya akan ada hari di mana ia tidak bisa menghindarinya.

Ela datang ke rumah sakit untuk menemui Dira. Hari ini ia akan meminta sahabatnya itu menemaninya fitting.

"Permisi suster, ruangan Dokter Dira di mana ya?" tanyanya pada suster yang kebetulan lewat.

"Terus saja ke depan Mbak, nah pas sampai di sana belok kanan, ruangan ke dua, itu tempat dokter Dira."

"Makasih ya suster."

"Sama-sama mbak."

Ela pun berjalan sesuai petunjuk yang diberikan oleh Suster tadi. Tidak terlalu sulit untuk mencarinya. Ela kini berdiri tepat di depan pintu, ia melihat dengan jelas tulisan didepan pintu Dr. Nadira Utami Narendra,Sp.A.

Tok...tok...

"Masuk!" ucap seseorang dari dalam ruangan.

Ela masuk keruangan Dira. Hal pertama kali yang ia lihat adalah keadaan ruangan yang sangat rapi, warna putih lebih mendominasi. Satu kelebihannya ruangan Dira sama sekali tidak berbau obat-obatan melainkan wangi buah strawbery. Ciri khas Dira sekali.

"Silahkan duduk," ujar Dira. Ia masih belum menyadari jika di hadapannya kali ini adalah Ela sahabatnya. Sejak tadi ia masih sibuk menulis dan mencatat laporan pemeriksaan hari ini.

Dira meletakkan bolpoinnya, seraya berucap, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Sangat banyak bu dokter."

Deggg

Seketika Dira menoleh, ia mengenal betul suara ini. "Ela...." sebutnya, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Kau di sini?"

Ela tersenyum, sembari mengangguk. Sementara Dira masih bingung dengan apa yang ia lihat. Ia benar-benar tidak percaya jika saat ini gadis yang ia hindari mati-matian tengah duduk dengan manis di hadapannya.

Dia bertanya dalam hati, "Apa Bayu juga disini? Apa yang dilakukan Ela disini? Apa dia hamil?" Tangannya mulai gemeter seiring dugaan buruknya yang tengah bermain di kepalanya yang cantik. "Ah, itu tidak mungkin Bayu adalah pria yang sopan dan menghargai wanita." Berusaha ditepisnya segala fikiran buruknya yang tengah bermunculan di kepalanya.

Berusaha mengkontrol perasaannya. Sebisa mungkin menghilangkan rasa canggung yang menderanya. Dira tersenyum ke arah Ela. "Ada apa ke sini? Apa kau sakit?"

"Apa aku menganggumu?" Alih-alih menjawab, Ela malah balik bertanya.

"Tidak juga, ada apa?" tanya balik Dira kepada Ela.

"Apa kau sibuk?"

"Tidak juga."

"Baguslah kalau begitu sekarang ikut denganku." Pekik girang Ela mendengarnya membuat Dira mengernyit bingung.

"Kemana?"

"Ikut saja, nanti akan kuberitahu."

"Tapi bagaimana jika ada pasien yang membutuhkan bantuanku?" Sebisa mungkin Dira mencari alasan. Ia benar-benar tidak ingin ikut dengan Ela.

"Kau sendiri yang berkata tidak sibuk, itu artinya saat ini kau tidak memiliki pasien. Pokoknya aku nggak mau tahu Dira, kamu harus ikut denganku." Tak ingin di bantah, Ela tetap bersikeras.

Dira tidak bergerak dari kursinya. Sejak tadi ia hanya diam seakan-akan tengah menimbang-nimbang permintaan Ela. Sementara itu Ela yang sudah tidak sabar sejak tadi, pun berdiri. Diambilnya tangan Dira kemudian menariknya paksa sehingga membuatnya terkejut.

"El... El... Ela.... jangan main tarik begini. Tanganku sakit." Protes Dira, keberatan akan tindakan Ela.

"Habisnya, kamu dari tadi diam saja. Pokoknya aku nggak mau tahu. Hari ini kamu harus menemaniku. Aku kan mau nikah, jadi banyak yang harus kuurus. Aku butuh sahabatku untuk menemaniku."

Dira menghela napas sesaat, lalu mengangguk setuju membuat Ela tersenyum sumringah. "Baiklah, tapi katakan dulu kita mau kemana?"

"Fitting gaun pengantin." Spontan Ela menjawabnya. Ia bahkan tidak menyadari perubahan wajah Dira.

Degg....

Tubuh Dira seketika melemas. Jantungnya bergemuruh. Pelupuk matanya mulai berkaca-kaca.

"Fi... fi... fitting?" terbata - bata Dira mengatakannya. Ia berharap telinganya salah dengar.

Namun nihil. Saat ia lihat Ela mengangguk mengiyakan jawaban Dira. Saat itu juga Dira merasa tubuhnya seakan tidak berdaya. Andai saja ia tidak memegang sudut meja mungkin ia akan terjatuh.

"Kamu mau ya temani aku?" Pinta Ela merajut pada Dira.

Sekuat tenaga dira menahan diri untuk tidak menangis. Berusaha menguatkan hatinya yang terasa sakit. "Memangnya tante Alena dan tante Mila ke mana? Harusnya kan mereka yang menemani kamu. Atau kau bisa meminta Bayu menemanimu."

Ela mengerucutkan bibirnya, lalu kembali duduk di kursi di ruangan Dira. "Mama sibuk urus catering, sedangkan tante Mila nggak sempat, ia kerumah kerabatnya antar undangan. Kalau Bayu sih katanya nggak bisa fitting hari ini, soalnya ada meeting penting jadi aku disuruh duluan. Kamu mau ya... please." Ela mengedip-ngedipkan matanya, berusaha membujuk Dira agar mau menemaninya.

Tak tega melihat temannya memohon. Dira berfikir sejenak, tidak ada salahnya membantu Ela. Setidaknya hanya ini yang mampu ia berikan. Toh Bayu tidak ada di sana. Dira pun tersenyum ke arah Ela sambil mengangguk.

Elena yang melihat itu, sontak berdiri lalu langsung memeluk sahabatnya, "Makasih Dira... kamu memang sahabat terbaikku."

Dira dan Elena berangkat kelokasi fitting gaun pengantin tersebut. Tiba disana Ela disambut oleh Tante Mira ibu dari sepupunya Azka.

"Aduh calon pengantin senyumnya sumringah sekali."

"Iya dong Tante, namanya juga mau nikah bawaannya mau senyum terus" ujar Ela manja pada Mira. Tak hentinya bibirnya mengeluarkan senyuman.

Mira tersenyum pada keponakannya. Secercah kenangan masa lalu saat ia menikah teringat kembali. "Tante harap kamu bahagia, nggak seperti tante." Lirih batinnya mengatakannya.

"Kamu mau lihat-lihat dulu atau mau langsung coba kebayanya?"

" Ela mau langsung mencobanya tan. Takutnya masih ada yang perlu diperbaiki."

"Ya udah, kamu tunggu di sini. Tante ambilin kebaya kamu dulu."

Ela mengangguk. "Makasih tante, sudah mau repot buatin kebaya buat Ela."

"Apa sih yang nggak buat keponakan tante, pasti akan aku buatkan."

Mira lalu masuk ke sebuah ruangan mengambil kebaya yang ia buat untuk Ela.

"Nah ini kebayanya, kamu coba dulu. Tapi, tante rasa kali ini sudah pas kok. Tante lihat badan kamu nggak berubah."

Ela mengangguk, lalu menoleh ke arah Dira. Tersenyum tipis padanya. "Owh iya tan, sampai lupa, kenalin sahabatnya Ela tan."

Dira tersenyum pada tante Mira begitupun dengan Mira. Diulurkan tangannya pada tante Mira yang di sambut balik oleh Mira.

"Nadira."

"Miranda, tantenya Elena."

"Dira... tante Mira ini adiknya papa aku. Ia juga pemilik butik ini dan ibu dari Azka."

"Azka?" tanya Dira balik,

"Iya Azka," jawab Ela sambil tersenyum. "Nah tante... Dira ini cewek yang ditaksir Azka, siapa tahu bisa jadi mantu tante juga."

Spontan Dira mencubit Ela membuat gadis itu meringis. "Ih apaan sih El, nggak lucu tahu?" Gerutunya, tak suka akan ulah Ela yang hanya di balas tawa cekikan dari Ela.

Dira menoleh ke arah Mira, "Jangan percaya tante, Ela hanya bercanda." Yang hanya dibalas senyuman oleh wanita itu.

Dira dan Ela masuk ke sebuah ruangan. Di sana ada beberapa gaun pengantin modern dan traditional. Dira mengamati beberapa gaun pengantin yang dipajang. Sedangkan Ela sudah masuk ke dalam kamar ganti.

Dira menatap satu demi satu gaun tersebut, namun matanya jatuh pada sebuah gaun modern sederhana berwarna putih dengan pita kecil ditengahnya.

"Kamu suka?" ucap tante Mira tiba-tiba.

Dira terkejut saat mendengar tante Mira bicara. "Gaun yang cantik tante."

"Kamu boleh mencobanya kalau kamu mau."

"Nggak usah tante, toh aku kan belum mau nikah." Tolak Dira merasa tak enak.

Mira tersenyum ke arah Dira, lalu berjalan mengambil gaun yang Dira lihat. "Kamu coba saja," pintanya seraya menyerahkan gaun tersebut ke pada Dira. "Tante juga mau lihat. Siapa tahu nanti tante bisa minta bantuanmu saat butuh model."

"Iya Dir.... kamu coba saja...." Dari balik kamar ganti Ela ikut bicara.

Dira terlihat ragu, namun nalurinya begitu ingin mencoba gaun tersebut. Ia menggigit bibirnya, ragu-ragu mengiyakan permintaan Ela dan tante Mira.

Mira tersenyum melihat Dira akhirnya setuju. Ia pun meminta pada asistennya untuk membantu Dira mencoba gaun tersebut.
Sementara Dira tampak gugup saat gaun itu melekat ditubuhnya. Gaun ini sangat cantik saat dikenakan olehnya.

"Wah... mbak cantik sekali, gaunnya pas banget ditubuh mbak. Nggak kalah sama yang mau jadi pengantin." Spontan asisten Mira mengatakannya. Wanita itu menatap Dira penuh kekaguman.

Dira hanya tersenyum pada asisten Mira. Dilihatnya dirinya dicermin. Sungguh ia merasa berbeda menggunakan gaun ini. Otaknya pun mulai berfikir, "Andai Bayu melihatnya, apa dia akan menyukaiku?" Dira yang masih berada di dalam Fitting room tidak menyadari jika Bayu ada di luar sana.

Elena terkejut dengan kedatangan Bayu. Namun senyumannya seketika terbit melihat Bayu di sini.

"Kamu sangat cantik sayang, kebaya ini cocok untukmu." Bayu tak menampik, Ela memang terlihat sangat cantik,

Ela tersenyum dan lagi-lagi pipinya merona saat didengarnya Bayu mengatakannya cantik.

"Aku fikir kamu nggak bakal datang. Kamu kan bilang ada meeting penting."

"Tadinya ada meeting. Tapi selesai lebih cepat. Jadi aku memutuskan menyusulmu kemari. Lalu kau kesini dengan siapa?".

"Sama Dir..."

Belum sempat Ela menyelesaikan jawabannya, Dira muncul mengenakan gaun yang ia coba tadi.

Bayu terkejut saat dilihatnya Dira berdiri tepat di hadapannya. Dengan gaun yang ia kenakan, Dira sungguh terlihat sangat cantik. Siapa pun yang melihatnya pasti akan mengatakan gadis dihadapannya ini tampak seperti Dewi. Sama seperti Bayu, Ela pun terpana saat melihat Dira. Dira benar-benar terlihat sangat berbeda dari biasanya, ia sungguh sangat cantik.

Sedangkan Dira, sungguh merasa malu. Ia memang berharap tadi, Bayu disini dan melihatnya. Namun, setelah harapannya terkabul yang ada malah menyisakan malu dan luka yang kembali dirasakannya.

Dira merutuki Dirinya yang mau saja menuruti kemauan Ela.

"Kamu cantik sekali Dira." Ela mendekap sahabatnya itu. Menatapnya penuh kekaguman. Lalu menoleh ke arah Bayu, "Iyakan Bayu? Dira sangat cantik dengan gaun ini?"

Dira mengigit bibirnya menutupi rasa gugup yang menderanya. Ia terdiam, tidak ingin mendengar tanggapan Bayu. Ia terlalu takut jika Bayu akan berfikiran macam-macam kepadanya.

Bayu memandangi Dira dengan lekat. Entah apa yang difikirkan pria itu. "Iya kamu cantik, bahkan sangat cantik dan sudah pantas untuk menikah."

Dira membalas tatapan Bayu. Berusaha menyelami apa yang Bayu fikirkan saat ini.

"Kamu dengarkan, Bayu saja bilang kamu cantik. Bagimana kalau Azka yang lihat, pasti kamu bakal dilamar dech," goda Ela cepat saat ia lihat Bayu dan Dira tengah saling menatap. Ia cemburu mendengar Bayu memujinya. Hanya saja Ela berusaha tidak menampakkannya.

Dira tersenyum ke arah Ela. Wajahnya yang tersipu malu terlihat merona merah. Hal itu tak luput dari penglihatan Bayu. Namun ia tak tahu apa rona merah diwajah Dira karena pujiannya padanya atau karena Azka. Dan saat itu juga ia kembali merasa cemburu.

Usai acara fitting, Bayu memutuskan untuk kembali ke kantornya. Sebenarnya bukan karena pekerjaan, Bayu mulai merasa tidak nyaman berada disekitar Dira. Ia takut tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia takut tidak bisa mengendalikan perasaannya.

Sementara itu, Dira bersyukur Bayu tidak ikut bersama mereka. Setidaknya itu bisa membuatnya bernafas lebih baik.

@@

Dira menatap sedih kalender di kamarnya, yang telah ia lingkari. Pada akhirnya hari itu pun akan tiba juga. Waktu seakan bergulir sangat cepat. Dilihatnya tanggal hari ini yang tertera di kalender tersebut. Empat februari tinggal dua hari lagi, tanggal dimana Bayu akan resmi menjadikan Elena istrinya.

Dira hanya mampu menangis. Ia bahkan tidak sanggup untuk sekedar melihat keramaian dan kehebohan keluarga Bayu dan Ela juga tetangga mereka yang turut berpartisipasi. Dira memukul dadanya yang terasa sesak. Merasa tak sanggup lagi untuk melewati hari itu. Hari di mana Bayu dan Ela mengikrar janji.

Dira berjalan ke arah jendela di kamarnya. Dari balik jendela ia bisa melihat keramaian yang tampak di rumah Bayu. Setetes air mata mulai mengalir sedikit demi sedikit.

"Ada baiknya aku tidak di sini."

Dira memutuskan keluar dari rumahnya sejenak menikmati udara malam. Diambilnya kunci mobil yang terletak di atas meja. Dimas yang melihat adiknya akan keluar segera menghampirinya. Ia tahu, jika kondisi Dira saat ini sangat sedih. Jadi sebisa mungkin ia akan selalu mendampingi adiknya.

"Mau kemana de' ?" tanya Dimas lembut.

Dira yang mendengar suara kakaknya pun menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke arah Dimas. "Mau ke luar sebentar kak, nyari angin."

Dimas menatap wajah Dira terlihat yang sembab. Lagi lagi ia hanya bisa menghela nafas melihat adiknya yang habis menangis.

"Tapi kan ini sudah malam, sudah jam sepuluh. Nggak baik de' keluar jam segini. Kamu nggak takut sama begal diluar sana?"

Dira diam memikirkan apa yang kakaknya katakan. Ada rasa takut saat mendengar Dimas menyebut begal. Ia tahu, saat ini begal terdapat di mana-mana. Dan tindakannya sangat meresahkan masyarakat. Diri menggigit bibir bawahnya, ia bingung apa harus pergi atau tidak. Tapi, ia benar-benar tidak kuat ada di sini sekarang.

Melihat adiknya yang tampak bingung. Dimas pun berjalan menghampiri Dira, lalu memeluknya erat. "Kamu mau kakak temani?"

Dira menggeleng lemah. "Aku nggak nyaman di sini kak. Melihat keramain di rumah Bayu dan Ela, aku merasa susah bernapas."

Dimas mengerti apa yang Dira rasakan saat ini. Sebuah ide terbersit dikepalanya. "Kamu bisa ke apartemen kakak." Tawar Dimas pada adiknya.

"Apa boleh?" Lirih Dira mengatakannya.

Dimas tersenyum tipis, "Tentu saja. Kamu boleh memakainya. Lakukan apa pun yang kamu mau. Menangislah untuk yang terakhir kalinya di sana sampai kamu puas."

Dira menatap wajah kakaknya. Senyum yang tulus ia berikan pada sang kakak. "Makasih kak."

Dira mengambil kunci yang diberikan Dimas padanya lalu berlalu meninggalkannya. Dari belakang Dira, Dimas menatap adiknya, dan sebuah doa juga harapan seorang kakak ia ucapkan untuk sang adik. "Semoga kamu bahagia selalu de'."

Dira memasuki sebuah apartemen mewah di daerah Sudirman. Dengan berlari ia berharap bisa segera tiba di apartemen sang kakak. Dira segera memasuki lift sesekali ia mengusap matanya yang mulai basah.

Ting....

Akhirnya lift berhenti di lantai dua puluh lima tempat yang akan dituju oleh Dira. Ia pun bergegas ke luar dari lift. Namun, karena tidak fokus tubuhnya menabrak seseorang. Hal pertama yang Dira tangkap, adalah wangi parfumnya. Seakan tidak asing di indera penciumannya,

"Bayu." Ya... ia merasa jika itu adalah wangi Bayu.

Dira merutuki dirinya yang terlalu hafal semua kebiasaan dan kesukaan Bayu. "Bodoh, sampai kapan kau akan mengingatnya." Gerutunya pada dirinya sendiri.

"Nadi...." ucap Bayu pelan. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.

Dira mengangkat wajahnya, menatap sosok yang menyebut namanya tadi. "Bayu...." lirih Dira menyebutnya.

"Kamu ngapain disini?" tanya mereka bersamaan.

Keduanya gugup dan tidak tahu harus bicara apa. Bahkan Bayu merutuki dirinya yang entah sejak kapan mulai merasa tidak bisa berkata apa-apa di depan Nadira.

"Kamu ngapain disini Nad?" Bayu mulai buka suara terlebih dahulu.

"Kamu sendiri ngapain disini?" Bukannya menjawab, Dira malah bertanya balik pada Bayu.

Bayu memilih tidak menjawab pertanyaan Dira, ia hanya tersenyum. "Mau minum coffe denganku?" tawarnya pada Dira.

Dira menganggukkan kepalanya. Selanjutnya Bayu menarik tangan Dira, menautkan jemari mereka. Sementara Dira hanya diam membiarkan Bayu menggenggam jemari tangannya.

"Bolehkah aku sedikit egois hari ini?" Batin Dira bergejolak.

Bayu terus mengenggam jemari tangan Dira, hingga tiba di depan sebuah kamar bernomor 337. Dira bertanya dalam hati, "apa ini apartemen Bayu? jika ya, apa kak Dimas dan Bayu bertetangga? Karena setahuku kamar kak Dimas bernomor 336. Apa mereka tahu?"

"Ayo masuk!" Ajak Bayu kepada Dira, yang dijawab anggukan oleh sang gadis.

Bayu membawa Dira masuk ke dalam apartemen Bayu. Saat di dalam apartemen Bayu hal pertama yang Dira lihat adalah nuansa abu-abu yang terlihat dari dinding apartemennya. Terlihat khas Bayu sekali, simple dan menggambarkan penghuninya seorang pria. Dira tidak menemukan begitu banyak barang. Hanya ada sofa, tv dan home theater. Apartemen Bayu terlihat mewah dan luas sekalipun masih cukup kosong. "Apa Bayu menyiapkan ini untuk Ela?" tanyanya dalam diam.

Bayu melepas genggamannya, berjalan menuju dapur hendak membuat coffe. Dira memegang tangannya yang lepas dari genggaman Bayu, dirasakannya ada sesuatu yang hilang darinya.

"Ini...." ucap Bayu sambil memberikan segelas coffe pada Dira.

"Terima kasih," jawab Dira singkat.

Keduanya duduk disatu-satunya sofa yang terdapat diruangan itu. Hening tercipta. Baik Dira atau Bayu keduanya sama-sama diam.

Drrtttt....

Suara dering ponsel Bayu memecah keheningan diantara mereka. Bayu mengambil ponselnya dari saku celana, dilihatnya di sana nama Ela tertera jelas.

"Assalamualaikum sayang?" Jawab Bayu pelan namun masih bisa terdengar ditelinga Dira.

Dira yang mendengar itu hanya bisa menahan dirinya agar tidak menangis di hadapan Bayu. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kesedihannya. Ia tak tahu apa saja yang mereka katakan. Namun, ia sangat tahu jika yang menghubunginya adalah Ela. Terlihat dari kata sayang yang ke luar dari bibir Bayu tadi,

"Sepertinya, aku tidak bisa berharap lagi. Seharusnya aku tak di sini." Dira berdiri dari sofa, berjalan ke arah pintu hendak ke luar dari apartemen tanpa Bayu sadari.

Begitu ia sudah di luar apartemen Bayu, seketika itu juga air matanya langsung mengalir. Berjalan tertatih ke apartemen sang kakak tepat di sebelah kamar Bayu. Bayu yang tengah asyik bercengkrama di telphone dengan Ela, akhirnya menyadari jika Dira tak ada lagi di sana. Hingga ia tak sadar mematikan ponselnya secara sepihak. Tergesa-gesa mencari Dira di setiap sudut apartemennya. Saat ia tidak menemukannya, dengan langkah seribu berlari ke luar mengejar Dira.

Bayu menyusuri sepanjang apartemen, mencari Dira, namun nihil ia tidak menemukannya. "Bodoh." Umpatnya kesal, memukul dinding apartemen tersebut. Tak kunjung menemukannya, dengan penuh penyesalan Bayu kembali ke apartemennya. Dengan lesu ia duduk di sofa. Fikirannya kacau. Jiwa dan raganya seakan kosong. Hatinya kacau. Ia merasa ada yang hilang saat Dira pergi meninggalkannya tadi.

Bayu mengusap wajahnya, menarik rambutnya seakan melampiaskan kekesalannya. Merutuki dirinya sendiri yang telah berkhinat. "Aku bajingan, bagaimana bisa aku jatuh cinta pada wanita lain di saat aku akan segera menikah."

Bayu memegang dadanya, di sana ia bisa rasakan jantungnya yang sejak tadi berdetak kencang. Bayu memejamkan matanya, menikmati suara jantungnya yang berdetak, "Tapi, sekalipun salah, aku mencintaimu Nadi." Gumamnya penuh kesedihan.

Ting tong...

Buyi bell membuat Bayu tersadar dari fikirannya. Matanya yang terpejam pun terbuka. Berjalan dengan lesu ke arah pintu hendak membuka pintu.

"Na... na di," lirih Bayu mengatakannya. Matanya memancarkan kerinduan yang dalam pada sang gadis yang tengah berdiri di hadapannya. Di satu sisi ia terkejut akan kehadiran Dira kembali, setelah gadis itu pergi begitu saja tadi, ditambah yang ia lihat wajah gadis itu tampak basah penuh dengan air mata.

"Bayu," pelan Dira menyebutnya. Ia langsung memeluk Bayu erat begitu melihatnya. Seakan-akan ini adalah pelukan terkahir mereka.

Tubuh Bayu mendadak menjadi tegang. Jantungnya berdetak kencang. Pelukan Dira yang tiba-tiba, membuat otaknya tidak bisa bekerja. "Nadi." Lembut Bayu mengatakannya. Membalas dekapan Dira.

Bayu melepaskan pelukan Dira, mengusap kedua matanya yang basah. Meraih jemari tangannya, membawanya masuk ke dalam apartemennya.

"Aku mencintaimu Bayu Adytia Erlangga," ungkap Dira penuh emosi begitu mereka berada di dalam apartemen Bayu. "Aku mencintaimu sejak dulu." Penuh penekanan Dir mengatakannya. Ia tidak peduli lagi akan harga dirinya. Persetan ungkapan jika prialah yang harus mengutarakannya lebih dahulu. "Aku mencintaimu. Sejak aku tahu jantungku hanya bisa berdetak saat berada disisimu. Bahkan jauh sebelum Elena datang dalam hidupmu."

Bayu mematung. Jantungnya bergemuruh, seiring tubuhnya yang mendadak kaku. Perkataan Dira benar-benar bagai bom atom baginya. Ia bingung, tak tahu harus berkata apa. Tak tahu apa ia harus bahagia atau tidak mendengar ungkapan cinta Dira. "Jadi benar Nadira mencintainya."

Mata Bayu berkaca-kaca. Ia begitu bodohnya tidak bisa membaca isi hati sahabatnya. Gurat penyesalan terlihat jelas di wajahnya. Bayu memejamkan matanya, sekilas bayangan bagaimana ia menceritakan kisah cintanya dengan Ela pada Dira. "Aku bajingan Dira, selama ini aku menyakitimu,"

Dira menghampiri Bayu, berdiri tepat di hadapannya. Kedua mata mereka bertemu, saling menatap satu sama lain. Dira mengangkat tangannya, membelai mesra pipi Bayu. Hingga akhirnya ia pun mengecup bibir Bayu.

Bayu lagi-lagi tak bisa mengelak saat bibir Dira menyentuh bibirnya. Jantungnya pun sudah tidak bisa diajak kompromi. Detakannya semakin kencang. Bahkan ia bisa mendengarnya dengan jelas.

Dira melepaskan ciumannya, kembali memeluk Bayu, menangis sesenggukan di balik pelukannya. Ciuman itu mungkin singkat bagi Bayu, tapi ia bisa merasakan dibalik ciuman itu ada hati yang patah karena tindakannya.

Dira melepas pelukannya. Menatap Bayu lembut. Berusaha tersenyum padanya. "Maafkan tindakan bodohku tadi. Semoga kamu bahagia. Selamat untuk pernikahannmu," berusaha sekuat tenaga Dira mengatakannya. Sekalipun tidak ingin menangis, tapi, air matanya terus saja mengalir. Lalu berlari meninggalkan Bayu yang masih terdiam.

Dira masuk ke dalam apartement Dimas. Tubuhnya lunglai, jatuh terduduk di lantai, menangis dengan hebatnya. Sambil memukuli dadanya yang sesak.

"Semuanya berakhir, aku melepasmu Bayu. Semoga kamu bahagia." Terbata-bata Dira mengatakannya dengan penuh air mata di wajahnya.

Sementara itu Bayu yang sejak tadi tak berkata apa pun, terkulai lemas, ia pun bersandar pada sofanya. Memejamkan matanya, menahan sesak yang juga ia rasakan karena rasa bersalah dan cintanya pada Nadira. "Maafkan aku Nadi yang telah melukaimu. Maafkan aku yang tidak pernah menyadari perasaanmu. Tapi, tahukah kau hatiku dan jantungku pun berdetak kencang saat disisimu. Aku juga jatuh cinta padamu Nadi? Bahkan aroma tubuhmu saat kau memelukku tadi masih bisa kurasakan. Maafkan aku yang tidak bisa mundur. Maafkan aku yang membiarkanmu terluka di sana. Maafkan aku yang egois, yang tidak bisa mundur, mengikuti apa yang sudah kuputuskan dari awal. Maafkan aku yang memilih menjaga hati Ela, sementara aku melukaimu. Aku tahu aku egois karena mengorbankanmu."

Bayu tidak kuasa menahan tangisnya. Segala hal yang ingin ia sampaikan lewat bibirnya hanya mampu ia ucapkan dalam hati. "Biarlah aku menyimpan kamu disudut hatiku yang paling dalam."

Bayu mengusap matanya yang basah. Berdiri dari sofa, berjalan ke luar meninggalkan apartementnya. Hidup ini adalah pilihan dan terkadang tiap pilihan mungkin akan membuat orang lain ada yang terluka. Bayu tahu dengan jelas jika hatinya mulai terbagi pada Dira. Namun, ia tidak bisa berlari ke arahnya, karena ada hati yang lain yang ia jaga. Bagaimanapun, ia juga masih mencintai Ela. Ia sudah memilih dan tidak bisa mundur lagi. Lusa gadis yang ia pacari hampir setahun itu akan resmi menjadi istrinya. "Mungkin begini lebih baik."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10