PH-09

Dira tiba di Makassar sekitar pukul satu lewat lima belas menit dini hari. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam akhirnya Ia tiba juga di kota yang terkenal julukannya dengan nama kota daeng. Dari Bandara Sultan Hasanuddin makassar, ia langsung menuju hotel. Malam ini ia putuskan untuk menginap di sana.

Karena sudah tengah malam, jalanan pun tampak lengang. Taxi yang ia gunakan dengan lancar melaju. Hingga tidak sampai tiga puluh menit ia tiba di hotel. Dira memintanya untuk di antar ke hotel yang dekat dari rumah sakit tempat di mana ia akan bekerja.

Begitu tiba di hotel, Dira langsung chek in dan dengan bantuan pelayan hotel ia masuk ke salah satu kamar yang akan ia gunakan. Selembar uang lima puluh ribuan ia berikan kepada pelayan tersebut, sebagai tip atas bantuannya.

Karena rasa lelah yang sudah melandanya Dira langsung menyatukan dirinya dengan tempat tidur. Tidak butuh lama, akhirnya ia terlelap.

Cuaca pagi kota Makassar terlihat berkabut. Jalanan tampak basah sisa hujan semalam. Namun tidak mengahalangi para pedagang yang hendak menjajakan jualannya. Atau para pejalan kaki yang hanya ingin menghirup udara pagi ditepi pantai losari.

Pantai losari merupakan salah satu objek wisata yang sangat terkenal di kota Makassar. Tempat ini bahkan menjadi ikon kota Makassar. Tempat ini banyak di gunakan oleh masyarakat untuk bersantai bersama sahabat, kekasih ataupun keluarganya. Menyaksikan sang mentari yang terbit atau sang fajar yang milai tenggelam. Ditambah banyaknya para pedagang yang menjual dagangannya baik itu makanan berupa kue, bubur ayam, nasi kuning, bubur kacang hijau atau pernak-pernik lainnya. Terlebih jika hari minggu, tempat ini akan dipenuhi oleh banyak orang. Dan, pada sore hari hingga malam hari kalian bisa menikmati pisang epe, salah satu kue traditional kota Makassar.

Dira mengerjabkan kedua matanya, menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini adalah pertama kalinya ia tertidur selain di rumah. Sekalipun ia selalu bepergian dan menginap di hotel, tapi saat itu ada keluarga bersamanya. Beda kali ini, ia sendirian.

Dira bangun dari tidurnya berjalan ke arah balkon kamar. Udara pagi yang dingin segera menyambutnya. Merentangkan kedua tangannya, menghirup udara pagi yang terlihat segar. Dari atas balkom kamar hotelnya, ia melihat lautan yang luas, tampak indah. Kedua matanya mulai menjelajah sudut kota Makassar. Sebuah pemandangan menarik ia temukan, banyaknya orang yang tengah berkumpul di depan pantai.

Rasa tertarik, membuatnya ingin bergabung. Mengetahui ada apa di sana? Dira bergegas membersihkan dirinya, lalu berjalan ke luar dari hotel.

Dira ikut larut dalam keramaian, melirik tiap sudut yang ia anggap menarik. Mencicipi makanan yang dijual pedagang. Dan ikut bergabung dengan masyarakat yang tengah senam pagi. "Tidak buruk, kurasa aku akan betah di sini."

Jam ditangannya sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dira memutuskan kembali ke hotel. Karena hari ini juga ia akan pergi ke rumah yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit.

@@

Jarak antara hotel dan tempat di mana ia akan tinggal tidak begitu jauh. Bahkan dalam waktu lima belas menit ia sudah tiba.
Rumah yang akan ia tempati terletak di kawasan perumahan Tanjung Bunga. Begitu tiba, Dira lansung memasuki rumah yang bangunannya berbentuk minimalis. Ia mengamati setiap sisi di dalamnya. Hal yang dia sukai adalah lokasi rumah ini sangat strategis dekat dengan mall, rumah sakit, dan pantai losari yang sangat terkenal di Makassar. Satu lagi, tidak begitu ramai. Maklum saja sebagai dokter ia butuh waktu yang cukup untuk istirahat.

Karena aktivitasnya baru akan dimulai besok, ia memutuskan istirahat sebentar. Karena sore nanti, ia hendak berjalan-jalan disekitar pantai.

Saat sore hari tiba, ia mulai mengelilingi sekitar lokasi dimana ia tinggal. Di tambah cuaca yang tidak panas membuatnya semakin dipenuhi semangat.

Dira mengamati setiap hal yang ia lihat di sana. Karena ini adalah kunjungan pertamanya ke kota itu. Dira memasuki Sebuah masjid terapung bernama AMIRUL MUKMININ. Ia mengagumi bangunan mesjid tersebut, selain berdiri di atas lautan, bentuknya yang sekalipun tidak sebesar dan semegah Istiqlal namun tidak mengurangi keindahannya. Bahkan di sisi kanannya terdapat sebuah tangga yang dapat digunakan untuk melihat mentari yang tenggelam, atau mentari yang akan terbit. Ditambah angin yang bertiup sepoi-sepoi semakin menyejukkan hati. Sungguh suatu keindahan yang tidak bisa dibayangkan lagi.

Dira memutuskan menunggu hingga sang mentari menghilang. "Wow, ini luar biasa indah," ujarnya. Decak kagum terus ke luar dari bibirnya saat melihat terbenamnya sang mentari. Ia lalu mengabadikan lewat kamera ponselnya.

Usai melihat sang mentari tenggelam, Dira melaksanakan Shalat maghrib di mesjid itu. Selain dirinya, ada banyak orang yang juga ikut shalat di sana. Entah mereka hanya sekedar singgah untuk shalat atau mungkin seorang pelancong yang juga ingin menikmati keindahan bangunan tersebut.

Setelah shalat ia masih memilih berjalan disekitar pantai losari. Lagi-lagi ia melihat ada begitu banyak orang yang menikmati suasana malam di sana. Ditambah para pedagang makanan dan asongan semakin menyemarakkan malam. Aroma wangi dari sebuah makanan membuatnya ingin segera mencobanya. Dira pun mendekati pedagang makanan tersebut.

"Pak ini namanya apa?"

"Itu Pisang Epe mbak."

"Pisang Epe?" tanyanya balik pada sang pedagang. "Nama yang aneh, tapi kelihatannya enak." Dira lalu memesan satu porsi pisang epe tersebut. "Pak, pesan satu porsi pisang epenya."

"Baik mbak, lalu campurannya mau apa? Yang biasa saja, durian, keju atau coklat?"

"Berikan yang durian saja ya pak."

"Baik Mbak, silahkan tunggu disana." Tunjuk sang penjual pada sebuah kursi didekat gerobak pisang tersebut.

Dira duduk dikursi yang ditunjukkan bapak itu. Sambil menunggu Dira memainkan ponselnya. Saat notife dari Ignya muncul Dira pun membukanya. Sebuah foto akad nikah Bayu dan Ela, di mana Bayu mencium kening Ela lembut. Hati Dira teriris. Rasa sedih itu muncul lagi. Batinnya berkata, "Andai saja Ela adalah aku pasti menyenangkan. Air mata menetes seiring rasa sedihnya yang tidak terbendung lagi. Bahkan ia tidak peduli di mana dirinya saat ini.

"Gunakan sapu tangan ini untuk menghapus air matamu." Suara pria menghentakkan Dira. Seketika ia terkejut, di hadapannya kini ada sebuah tangan yang menggenggam sapu tangan diarahkan padanya. "Pakai ini dan hapus air matamu. Orang melihatmu sejak tadi," ujar pria itu lagi.

Dira mengangkat wajahnya, Ingin melihat jelas orang tersebut. Cahaya yang remang tidak menutupi ketampanannya, tubuh yang tinggi dan kokoh dan suara yang maskulin. Aroma mint keluar dari tubuh pria tersebut. Sudut hatinya merasa kagum akan sosok dihadapannya ini.

"Ambil ini," sekali lagi pria itu berkata padanya.

Dira pun mengambil sapu tangan itu dan melap wajahnya yang dialiri air mata.

"Terima.... " Belum sempat ia mengucapkan terima kasih, pria itu telah menghilang dari hadapannya. Hatinya mulai bertanya "Siapa dia?"

"Ini mbak pisangnya, selamat menikmati," ucap penjual itu tiba-tiba sehingga berhasil mengalihkan rasa penasaran Dira.

Dihadapannya kini telah tersaji pisang epe yang dicampur kuah gula merah bercampur aroma durian. "Lezatnya," ucapnya saat satu potong pisang masuk ke dalam mulutnya.

Dira melahap pisang epe sebanyak dua porsi. Ia benar-benar menyukainya. Jika diawal ia mencoba rasa durian, selanjutnya ia mencoba rasa coklat. Mungkin besok ia akan mencoba Keju dan original.

Karena perut telah terisi, Dira memutuskan untuk kembali ke rumahnya.

"Berapa pak semuanya?"

"Semuanya sudah dibayar bu." Dira cukup terkejut jika makanan yang telah ia nikmati sudah dibayar tapi siapa yang membayarnya. Bahkan ia Belum cukup sehari disini.

"Pak siapa yang bayar pisang epe yang tadi aku pesan?" tanyanya heran pada penjual tersebut.

"Itu mbak, laki-laki yang berbicara sama mbak tadi."

Dahi Dira mengerut, laki-laki? Sejak kapan ia bicara dengan laki? "Tunggu, apa orang itu? Tapi siapa dia? Dan mengapa membayarkanku?"

Tidak kunjung menemukan jawaban, Dira memutuskan mengabaikan rasa penasarannya.

"Baiklah, aku akan anggap saja ini rezekiku. Dan siapa pun kamu terima kasih sudah membayar dan memberikan sapu tanganmu." Selanjutnya ia pun kembali ke rumah, tempat pulangnya di kota yang terasa asing baginya.

@@

Pukul 07.00 pagi Dira sudah siap dengan seragam putih ditangannya. Pagi itu Dira mengenakan celana panjang kain berwarna coklat, dengan kemeja satin cream yang lembut. Dira cukup berbangga dan bersyukur karena pihak rumah sakit menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkannya, termasuk jemputan pihak rumah sakit. Bahkan Rumah yang ia hunipun sebenarnya salah satu milik dari dokter Hendra.

Dira masuk ke dalam mobil, yang menjemputnya. Untuk sementara ia akan dijemput oleh sopir pribadi dokter Hendra sampai ia bisa berangkat sendiri ke rumah sakit.

Tidak butuh waktu lama, ia pun tiba di rumah sakit yang dituju karena lokasi rumah sakit tersebut dengan rumahnya memang dekat.

Dira turun dari mobil, dibacanya tulisan yang melekat di dinding rumah sakit tersebut "RUMAH SAKIT KENANGA" (Ini hanya typo nggak ada di Makassar, nggak enak jika harus bawa nama rumah sakit yang sebenarnya).

Dira kemudian masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Hal pertama yang ia lihat adalah nuansa putih dan biru laut dengan banyak jendela kaca bening.

"Biru seperti laut disekitarnya, putih membuat orang yang didalamnya merasa damai. Dan kaca bening membuatmu bisa memandang lautan di luar," ucapnya dalam diam.

Dira tersenyum saat mendekati resepsionis rumah sakit tersebut yang dibalas dengan senyuman yang sama oleh sang resepsionis itu.

"Selamat pagi bu, ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah.

"Iya, bisakah anda menunjukkan padaku ruangan Dokter Farhan Mubaraq."

"Apa ibu sudah memiliki janji?"

"Belum, tapi aku adalah dokter yang dikirim oleh dokter Hendra dari Jakarta."

"Baik bu, silahkan tunggu sebentar. Aku akan menghubungi dokter Farhan terlebih dahulu."

Sembari menunggu, Dira kembali mengamati setiap sudut rumah sakit tersebut. Decak kagum terus ia gumamkan. Ketika ia tengah asyik mengagumi arsitektur rumah sakit tersebut, sudut matanya menangkap sosok yang tidak asing baginya. "Pria malam itu?" Pelan Dira mengatakannya. Dira hendak mengikutinya, sekedar ingin berterima kasih, namun suara dari Resepsionis tersebut menghalangi niatnya.

"Ibu silahkan naik ke lantai lima belas, di sana ibu akan bertemu dengan sekertarisnya dokter Farhan. Kebetulan Dokter juga baru tiba."

Dira tersenyum pada gadis di hadapannya itu, dilihatnya name tagnya tertera nama Nita di sana, "Terima kasih Nita atas bantuannya."

"Sama-sama bu," jawab singkat Nita, sambil tersenyum tipis pada Dira.

Dira kemudian masuk ke dalam Lift yang akan membawanya ke lantai 15.

Ting...
Bunyi suara pintu lift terbuka. Dira pun keluar. Lagi-Lagi ia disambut dengan jendela kaca disekelilinya. Nuansa Biru laut mendominasi tembok disekitar jendela tersebut.

Dira berjalan menghampiri seorang gadis yang tengah berjibaku di depan komputernya. Yang kemungkinan besar adalah sekertaris dari dokter Farhan.

"Selamat pagi Mbak!" sapa Dira ramah pada gadis di hadapannya ini, begitu ia tiba tepat di depan gadis tersebut.

Gadis itupun menoleh ramah pada Dira. "Selamat pagi juga bu. Ada yang bisa saya bantu?"

Sekilas Dira melirik sang gadis, "cantik," gumamnya dalam hati. Wajah sang gadis ini terlihat natural. Tidak ada kesan menggoda atau genit seperti di dalam novel yang pernah baca. Penampilan gadis ini terbilang sederhana. Ia bahkan tidak menggunakan rok mini yang nyaris memperlihatkan pakaian bagian dalamnya. Sang gadis hanya menggunakan celana panjang berbahan kain berwarna hitam, dengan kemeja satin berwarna biru. Terlihat simple tapi berkesan elegan.

"Ada yang bisa saya bantu mbak," ujar sang sekertaris itu sekali lagi.

Dira yang sejak tadi terlihat menatap sang gadis, seketika sadar. Wajahnya memerah menahan malu karena tertangkap basah,. "Ah... iya, maaf," terbata-bata Dira mengatakannya. Yang hanya dibalas senyuman tipis dari sang sekertaris. Dira bisa melihat keramahan dibalik wajah wanita itu.

Dira tersenyum balik padanya, seraya memperkenalkan diri. "Saya dokter Nadira, yang dikirim oleh dokter Hendra dari Jakarta. Saya ingin bertemu dengan pimpinan rumah sakit ini, kalau tidak salah namanya dokter Farhan."

"Oh... dengan dokter Nadira." Tampaknya sang sekertaris sudah mengetahui perihal kedatangannya. "Kebetulan dokter Farhan sudah menunggu, mari saya antar." Ajaknya, lalu berjalan ke arah ruangan dokter Farhan selaku pimpinan tertinggi di rumah sakit Kenanga.

Dira mengikuti sang sekertaris yang ia ketahui bernama Hilda. Yang sempat ia lirik pada name tag yang ia gunakan, sebelum Hilda berjalan di depannya menuju ruangan sang direktur.

Tiba di depan pintu sebuah ruangan yang didepannya tertera nama dr. Farhan Mubaraq. SP.JP. Hilda pun mengetuk pintu ruangan itu.

"Tok... tok."

"Masuk," jawab seseorang dari balik pintu. Telinga Dira samar-samar menangkap suara pria yang terkesan sedikit berat. Mungkin terkesan maskulin. Dahinya mengerut, seakan mengenali suara tersebut.

Hilda kemudian masuk ke dalam. Meninggalkan Dir yang masih berdiri di depan pintu.

"Permisi pak, Dokter Nadira sudah tiba. Dia ada diluar saat ini," ujarnya begitu ia tiba di hadapan sang dokter.

Tanpa menoleh laki-laki itu berkata pada Hilda, "Suruh ia masuk".

"Baik pak."

Hilda kemudian berbalik. Berjalan ke arah pintu. Keluar dari ruangan atasannya. "Silahkan masuk dokter, anda sudah ditunggu di dalam," ucapnya sambil membuka pintu ruangan atasannya. Memberikan jalan kepada Dira untuk masuk.

Dira tersenyum pada Hilda. "Terima kasih."

"Sama-sama Dok," jawabnya ramah.

Dira masuk ke dalam ruangan yang didominasi warna putih dengan jendela kaca di mana-mana. Aroma mint terpancar dari ruangan ini. Pandangan Dira beralih pada seorang pria dihadapannya yang terlihat fokus pada sebuah dokumen ditangannya. Terlihat serius membaca dokumen tersebut.

"Selamat pagi dokter!" sapa Dira ramah pada pria itu,

Suara yang tidak begitu asing ditelinganya membuat farhan menutup dokumen yang dibacanya. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah suara yang didengarnya tersebut.

"Kamu?"  pekik Dira. Suaranya bahkan terdengar melengking.

"Kamu pria yang semalam kan?" tanya Dira lagi penasaran.
Alih-alih menjawabnya, Farhan lagi-lagi hanya diam dan tidak menanggapi ucapan Dira. Dira yang merasa tidak mendapatkan tanggapan dari pria dihadapannya ini terlihat sedikit kesal telah diacuhkan. "Sombong dan Arogan," gumamnya pelan,

"Selamat pagi Dokter. Saya dokter Nadira Utami yang diutus oleh dokter Hendra kemari," ucapnya memperkenalkan diri secara resmi, sembari mengulurkan tangannya pada farhan. Sekilas Farhan hanya diam, melirik tangan yang terangkat di depannya. Namun ia hanya diam, menatap tangan tersebut. 

Dira memaki dalam hati, merasa kesal akan sikap Farhan. "Dasar pria sombong. Andai ia bukan direktur rumah sakit ini, sudah sejak tadi aku memakinya." Merasa diabaikan dan tidak ditanggapi, Dira lalu menarik tangannya.

"Silahkan duduk!"ujar Farhan, akhirnya ia mulai bicara, sekalipun terkesan dingin.

"Bisa bicara juga ternyata ni orang, kirain bisu." Lagi-lagi Dira bicara dalam hati. Merutuki pria di hadapannya ini. "Masih ada ya, pria yang sedingin es, di dunia ini?"

"Jadi papa yang memintamu bekerja disini?" kata Farhan disela-sela lamunan Dira.

Dira mengangguk sekilas. "Seperti yang anda lihat, saya di sini," jawab Dira acuh.

Farhan kembali diam. Sudut matanya ia terlihat melirik Dira. Dira sebenarnya tahu sedang diamati, berusaha bersikap santai dan tenang sekalipun ia gugup dan merasa sedikit risih. "Ngapain juga aku gugup dan deg-degan," protesnya dalam hati.

"Hilda, masuklah kemari," perintah Farhan melalui intercom.
Tidak lama, Hilda pun masuk ke dalam ruangan atasannya.

"Ada yang bisa saya bantu pak?"

"Antarkan Dokter Nadira keruangannya dan beritahukan tiap aturan dirumah sakit ini."

"Baik pak," jawab Hilda. Lalu beralih ke arah Dira. "Mari Dok, saya akan mengantarkan anda."

Dira mengangguk pada Hilda. Ia juga tak ingin berlama-lama di ruangan Farhan. Menunduk sopan kepada Farhan, seraya pamit ke luar ruangannya mengikuti Hilda.

Sementara itu, Farhan menatap Dira dari belakang gadis tersebut, hingga ia menghilang dari balik pintu.

Hilda membawa Dira ke lantai tiga. Sepanjang jalan Dira sangat terkesan dengan arsitektur rumah sakit ini. Ia bahkan merasa nyaman di sini. Rumah sakit Kenanga, tidak seperti rumah sakit lainnya yang terkesan berbau obat-obatan. Sekalipun di depan rumah sakit terhampar lautan, tidak menjadikan rumah sakit ini menjadi panas. Malah semakin masuk ke dalam rumah sakit, ia merasa semakin dingin. Satu hal yang ia sukai, Dira tak menemukan wangi obat-obatan seperti layaknya rumah sakit. Atau, wangi parfum pengharum ruangan. Malah yang ia bisa cium dari indera penciumannya, ia menghirup aroma alam. Bau rerumputan dipagi hari yang sangat segar.

"Bagian anak ada di belakang. Dokter Farhan sengaja menempatkannya dibelakang demi menjaga keamanan dan kenyamanan anak-anak di sini," Hilda mengatakannya, membuat Dira mengangguk.

"Apa kau sudah lama bekerja dengannya. Kau tahu, ia terlihat sangat kaku dan dingin juga sombong."

Hilda tersenyum pada Dira. Mengerti akan kesan pertama yang gadis itu temukan. "Tapi, dokter Farhan adalah pria yang tampan bukan?" godanya pada Dira yang hanya dibalas dengusan olehnya. Sekalipun Dira tidak menampik, karena faktanya dokter Farhan memang sangat tampan. "Seiring waktu, saat kau mengenalnya dengan baik, kau akan tahu,  jika dia adalah pria yang menyenangkan juga baik."

"Ya semoga saja." Tidak ada lagi pertanyaan yang Dira fikirkan, ia tidak mau memusingkan sikap Farhan padanya. Toh, interaksi mereka juga tidak akan sering, bukan?. Dibandingkan memikirkan Farhan, ia malah tidak sabar lagi bekerja. "Aku tidak sabar, bertemu dengan pasien-pasienku yang lucu."

Dira masuk ke sebuah bangunan lain yang letaknya tepat di lantai tiga di mana Hilda membawanya. Sejak masuk ke dalam bangunan itu, Dira tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ia cukup tercengan dengan apa yang dilihatnya. Disepanjang dinding rumah sakit itu dihiasi dengan lukisan-lukisan kartun anak-anak mulai dari frozen, barbie, micky dan minnie mouse, winne the pooh,sponge bob dan upin ipin. Bahkan tidak ketinggalan sang pahlawan Spidermen dan Superman.

Di depan bangunan itu ada sebuah taman dengan beberapa bunga dan rerumputan hijau. Ditambah beberapa gasebo. Belum lagi sebuah pahatan yang dibentuk seperti batu dialiri air membuat suasana terasa sejuk sementara itu bagian atap bangunan itu terbuat dari kaca, yang membuat kita dapat memandang langit yang biru disiang hari atau bintang di malam hari yang jika malam menjelang akan otomatis menutup saat waktu pasien harus beristirahat.

"Nah ini ruangan dokter. Silahkan masuk," ujar Hilda begitu mereka tiba di depan sebuah ruangan.

Dira mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam ruangan yang Hilda masuk. Sama seperti di ruangan lainnya, ruangan ini pun didominasi warna putih. Tidak jauh dari pintu ada sebuah meja untuk asistennya. Didalam ruangan itu juga terdapat sebuah tempat tidur untuk pemeriksaan pasien dan sebuah sofa yang letaknya tidak jauh dari meja kerjanya. Lalu disebelah kanan terdapat sebuah pintu. Dira membuka pintu tersebut dilihatnya sebuah tempat tidur, dan disisi kirinya terdapat lemari. Disebelah kanan tempat tidur itu, terdapat sebuah jendela kaca. Dari sana, kamu bisa langsung melihat lautan yang luas. Kemudian sedikit kekanan dari jendela terdapat sebuah pintu lagi. Dira lalu membuka pintu tersebut. Saat dibukanya, Dira semakin tercengan fasilitas toiletnya luar biasa ada shower bath up dan jambang yang desainnya sangat indah. "Wow," pekiknya girang. "Ini seperti di hotel."

"Apa setiap ruangan dokter seperti ini?" tanya Dira heran pada Hilda.

"Iya. Dokter Farhan berusaha memberikan fasilitas yang nyaman buat para dokter, perawat dan pasien. Kadang kala, para dokter tidak bisa pulang ke rumah. Untuk itu kamar ini disediakan pihak rumah sakit. Dengan harapan dokter dapat beristirahat dengan baik saat lelah dan memudahkan mencarinya."

"Kau tahu Hilda, ini sangat hebat dan luar biasa. Kurasa aku akan betah di sini." Penuh kekaguman ia mengatakannya, yang hanya dibalas senyuman oleh Hilda.

"Jika tidak ada lagi yang dokter ingin tanyakan saya permisi dahulu. Anda bisa menghubungiku kapan saja, ini no ponselku." Dira menerima kartu nama Hilda, seraya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

@@@@

Dua bulan berlalu sejak Bayu dan Elena menikah. Hubungan keduanya pun semakin mesra. Bayu begitu menyanyangi Elena. Dan sesibuk apa pun ia tidak akan pernah membiarkan istrinya itu merasa terabaikan.

Ele bergelenyut manja dipelukan Bayu. Menikmati senja dari balkon apartemennya. "Aku rindu Dira mas?"

Tubuh Bayu menegang usai mendengar ucapan Ela. Sudah dua bulan ia tidak bertemu Dira. Dan selama dua bulan pula Bayu berusaha melupakan pertemuan terakhirnya dengan Dira. Bayu hanya diam tidak menanggapi ucapan istrinya.

"Mas... kita belum honeymoon, bagaimana jika kita ke Makassar bertemu Dira. Kita kan belum pernah kesana?"

Bayu mengernyit tak suka. Itu tidak akan mungkin Bayu lakukan. Ke Makassar buat honeymoon, yang ada malah otaknya tidak bisa tenang memikirkan Dira di sana. Mengetahui Dira berada satu tempat dengannya, bisa-bisa ia akan berlari menemuinya. "Bagaimana kalau kita ke Bali atau ke lombok saja." Mengajukan destinasi lain pada sang istri.

Bayu berusaha membujuk Ela. Jujur ia enggan kesana. Bukan karena ia tidak merindukan Dira. Namun ia takut dengan perasaannya. Ia takut tiak bisa mengendalikan diri. Ia takut akan menimbulkan masalah, karena ia tahu, lubuk hatinya juga menyukai gadis itu.

"Mas pokoknya aku nggak mau ke Bali atau ke Lombok. Kita kan sudah pernah ke sana. Kamu ingat kan, liburan kita bersama Dira dua tahun yang lalu, kita juga ke sana. Masa honeymoon ke sana lagi. Sekalipun memang di sana sangat pas buat honeymoon. Tapi, kali ini aku ingin beda. Lagi pula Makassar juga bagus. Aku lihat di tv dan internet Makassar juga memiliki pantai yang tidak kalah indah dari Bali. Kalau gak salah Tanjung Bira dan Samalona. Pokoknya aku mau ke Makassar, sekalian aku mau ketemu sama Dira." Suara Ela terdengar tinggi ditelinga Bayu, membuat sang suami menghela napas. Ia hanya menatap punggung sang istri yang membelakanginya karena marah.

"Maaf." Hanya itu yang mampu dikatakannya dalam diam.

@@

Ela benar benar kesal pada Bayu karena tidak mengabulkan keinginannya untuk ke Makassar honeymoon. Penawaran ke Lombok dan Bali pun ia abaikan. Ela tetap bersikeras pada keinginannya. Sejujurnya ia pun merasa heran, bertemu dengan Dira sebenarnya entah hal bagus atau tidak baginya. Tapi, setelah menikah dengan Bayu dan dengan segala cinta dan perhatian yang Bayu berikan selama menikah, seluruh keraguannya perlahan sirna. Hanya saja, sekarang tiba-tiba saja sudut hatinya merasa bimbang. Ada yang mengganjal akan sikap Bayu. Ela menggeleng, menepis segala resah yang melandanya. Memilih  ke kantornya setidaknya di sana bisa mengurangi ke kesalannya pada suaminya atau melupakan segala keresahannya.

Suara pintu dibuka, bahkan tidak mengalihkan pandangan Ela dari dokumen yang ada ditangannya. Ela bahkan tidak melirik siapa gerangan yang masuk di ruangannya. Ia memilih fokus pada berkas dokumen yang ada ditangannya.

"Aku cukup terkejut melihatmu disini?" sela Azka, membuat Ela menoleh. Sedikit terkejut melihat sepupunya di sini.

Ela menoleh kearah Azka, meletakkan berkas ditangannya di atas meja. "Kau disini?"

"Ya. Seperti yang kau lihat," Jawab Azka sembari duduk disebuah sofa. "Apa kau sibuk?"

"Lumayan," jawab Ela singkat. "Apa yang kau lakukan di sini sepagi ini?"

"Aku ingin bertemu om Wijaya."

Ela mengangguk, tidak lagi bertanya. Matanya kembali meraih berkas di atas mejanya.

"Kalian sudah dua bulan menikah. Katakan padaku apa kau sudah hamil?" goda Azka pada Ela, sambil mengerlingkan mata.

"Kalau aku hamil, aku tidak akan mungkin ada di sini."

"Sepertinya Bayu kurang tokcer. Apa perlu aku mengajarinya?" sekali lagi Azka menggoda sepupunya. Tidak perduli jika wajah Ela sudah memerah karena menahan kekesalannya.

Mendengar perkataan Azka, sontak membuat Ela kesal. Dilemparkannya sebuah bolpoin ke arah Azka. Namun, Azka memiliki kemampuan menghindar yang cukup bagus sehingga bolpoin tersebut malah jatuh tepat dibelakangnya. Melihat sikap Ela ini malah semakin membuatnya tertawa.

"Oke... oke, aku tidak akan menggodamu lagi," sela Azka sambil memegang perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. Saat melihat Ela yang diam, bahkan matanya terlihat berkaca-kaca.

"Ka... apa Dira pernah menghubungimu?"

Azka menoleh, menatap wajah sepupunya yang terlihat sendu. Dahinya mengerut, tampak berfikir. "Iya, selalu. Kami biasa mengobrol sepanjang malam. Memangnya kenapa?"

"Kurasa Dira membenciku." Ela nyaris menangis saat mengatakannya. "Dira tidak pernah menghubungiku."

Azka diam, ia tahu perubahan Dira pada Ela bukan karena Dira membencinya. Hanya saja bukan kapasitasnya untuk mengatakan pada Ela. Sekalipun Ela adalah sepupunya.

Azka tersenyum pada Ela. "Kurasa itu hanya perasaanmu saja. Lagi pula kau sudah memiliki Bayu, jadi ada atau tidaknya Dira itu bukan masalah lagi bukan."

"Tapi kadang-kadang aku juga membutuhkannya Ka. Kadang kala aku merindukan hari-hari di mana aku menghabiskan waktu bersamanya." Ela memejamkan mata, fikirannya melayang pada kenangan masa lalunya bersama sahabatnya.

Azka mendekati sepupunya itu, lalu memeluknya, memberikan ketenangan layaknya seorang kakak. "Dengarkan aku, kalaupun Dira berubah itu bukan karena dia membencimu, percayalah. Itu hanya perasaanmu saja."

Ela mengangguk. Mungkin Azka benar. "Makasih Ka."

"Sama-sama. Kurasa om Wijaya sudah datang, aku akan ke ruangannya." Ela tersenyum pada sepupunya itu. Saat hendak melangkah, Azka menoleh mengerling nakal kepadanya. "Kamu yakin tidak hamil? Kau terlihat sangat sensitif seperti wanita hamil."

Ela terhenyak, batinnya mula bertanya, "Benarkah aku hamil?"

Ela menoleh ke arah Azka yang hendak keluar dari ruangannya. Memanggilnya pelan." Ka... apa kamu menyukainya?"

Azka tidak menjawab, hanya senyuman dan kerlingan nakal dimatanya ia berikan pada Ela. Namun, semua itu bisa diketahui dengan jelas oleh Ela, jika sepupunya itu menyukai Dira.

Azka ke luar dari ruangan Ela menuju ke tempat pamannya Wijaya Herawan. Menyapa sekertaris pamannya. Mengedipkan matanya, menggodanya. "Pagi... Nila. Om Wijaya sudah datang?"

"Pagi juga pak Azka. Iya pak Wijaya sudah tiba. Ia ada di ruangannya. Pak Azka langsung saja masuk."

Azka tersenyum pada Nila sembari berlalu menuju ruangan omnya itu.

Azka mengetuk pintu ruangan omnya, kemudian membuka pintu sembari mengucapkan salam. "Assalamualaikum, selamat pagi."

Wijaya menoleh ke arah Azka, tersenyum pada keponakannya itu.  "Waalaikumsalam dan selamat pagi juga Ka."

Azka berjalan menghampiri sang paman, meraih tangannya untuk salim. Lalu sebuah pelukan diberikan masing-masing oleh paman dan keponakan tersebut

"Apa kau sudah sarapan?" tanya Wijaya pada Azka.

"Sudah om. Mama nggak akan mungkin membiarkanku pergi tanpa sarapan. Mama selalu menganggapku bayi kecilnya."

Wijaya tertawa. Ia sangat mengenal adiknya itu. "Itu karena mamamu menyanyangi nak."

"Ya... aku tahu om."

Wijaya mengangguk, lalu berjalan ke arah sofa di depan meja kerjanya diikuti Azka dibelakangnya, "Bagaimana dengan perusahaanmu?"

"Sejauh ini semua lancar om."

"Om banga padamu Azka."

Sejak sekolah Azka memang sangat pandai dan jenius. Kepandaiannya ini membuatnya tidak ingin bergantung pada keluarganya.

"Apa kau sudah bertemu papamu?"

Azka hanya diam lalu menggelengkan kepalanya. Terakhir kali dia bertemu papanya adalah tujuh bulan yang lalu. Melihat hal itu Wijaya hanya tersenyum pada Azka. Keponakannya ini masih terlihat tidak nyaman saat membahas papanya.

"Kau tahu kenapa om memanggilmu?" Wijaya mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. Tidak ingin lagi membahas hubungan Azka dan papanya.

Azka menggeleng. Ia pun penasaran.

"Om memanggil kamu kemari, karena ingin meminta bantuanmu."

"Bantuan? Apa itu om katakan saja, selama aku mampu pasti aku akan membantu om."

Wijaya mengangguk singkat pada sang keponakan. "Kau tahu Ela baru saja menikah dan tidak mungkin om memintanya mengurus proyek ke luar daerah. Saat ini om tengah membangun sebuah hotel di Makassar. Semalam orang yang kutunjuk untuk menangani proyek di sana tiba-tiba saja menghubungiku hendak mengajukan cuti. Dan om tidak bisa menolaknya. Terlebih jika itu alasan untuk keluarga. Untuk itu om membutuhkan bantuanmu." Wijaya diam sesaat sebelum ia mulai melanjutkannya. "Bisakah kau ke sana menggantikan orang itu sampai dia masuk. Om tidak bisa membiarkan pembangunan hotel di sana berjalan begitu saja. Terlebih kemarin, om mendapat kabar ada beberapa kendala di sana. Om ingin kesana, hanya saja om harus ke Singapura lusa. Kuharap kamu mau membantu om."

Azka tersenyum pada Wijaya. Mengangguk antusias. Ke Makassar, itu artinya ia akan bertemu Dira. Sambil menyelam minum air. "Tentu saja, Azka bisa. Apa pun yang om minta, aku pasti akan melakukannya. Bagiku om bukan hanya seorang om, tapi sejak dulu sudah kuanggap sebagai pengganti papa yang pergi."

Wijaya memeluk keponakannya itu. "Om tahu itu nak, kau dan Ela adalah anak om."

"Jadi kapan aku akan berangkat om?"

"Lebih cepat lebih bagus Ka."

"Kalau begitu aku akan berangkat besok."

"Besok? Apa kau yakin? Apa itu tidak begitu cepat? Kau bisa berangkat lusa jika kau mau?"

"Tak apa om, aku ingin berangkat ke sana besok."

Wijaya  menatap Azka yang sedang tersenyum nahagia. "Apa gadis itu di Makassar?" Seakan tahu apa yang Azka fikirkan saat ini.

"Iya dia di Makassar," jawab Azka tanpa sadar.

Seketika Wijaya tertawa saat Azka menjawab pertanyaannya. Sedangkan Azka sendiri tersipu-sipu malu, wajahnya memerah seperti tomat.

"Sambil menyelam minum air om, siapa tahu dia bisa segera jadi menantu om." Balas Azka sambil tersenyum.

"Good Boy, laki-laki memang harus pandai mencari kesempatan. Om akan menyuruh Nila mengurus tiket dan hotel di sana untukmu.

"Thanks om. Jika tidak ada lagi, aku pamit om."

"Baiklah, kamu hati-hati di sana. Jangan keluyuran. Salam sama mamamu," ujar Wijaya sambil memeluk Azka.

Azka mengangguk. Lalu ke luar dari ruangan sang paman. Sementara itu Wijaya tak mengalihkan pandangannya dari sang keponakan. "Anak yang baik dan cerdas."  Lalu menarik napas, mengenang sesuatu. "Kau menyianyakan satu anakmu. Aku beruntun memiliki keponakan sepertinya."

@@@

Siang ini cuaca tampak sangat panas. Namun, sepertinya tidak mengurangi aktivitas masyarakat. Jakarta adalah salah satu kota tersibuk bahkan bisa dibilang mungkin tidak pernah tidur.

Bayu duduk disebuah cafe tidak jauh dari perusahaannya. Pandangannya menatap jauh keluar. Ia merasa kesepian. Tidak ada lagi sahabatnya yang akan menganggunya.

Dua bulan sudah ia menikah dengan Ela. Namun, bukannya perasaannya makin menguat, malah ia semakin meragukan hatinya. Hari-harinya semakin diliputi kebimbangan dan keresahan. Bayangan Dira malam itu selalu menari-nari difikirannya. Tiap ia membuka dan menutup mata, sosok Dira yang menangis saat itu terus teringat di kepalanya.

Kadang ia berfikir dan mulai meragukan keputusannya yang menikah. "Apa ini benar? Apa ini terlalu cepat." Ia bahkan merasa egois dan tak ubahnya seorang penghianat. Bayu menarik napas kesekian kalinya. Lagi-lagi ia belum bisa menemukan cara mengatasi hatinya.

Suara ponsel berbunyi membuat Bayu tersadar dari lamunannya. Berhasil memecah segala fikirannya akan Dira. Dilihatnya sebuah nama tertera dilayar ponsel. "Wife."

"Assalamualaikum Mas? Lagi dimana?"

"Waalaikumsalam El. Aku ada di cafe di depan kantor. Ada apa?"

Ela tertegung disana, tidak biasanya Bayu memanggilnya dengan nama. Bahkan kata sayang tidak ada seperti biasanya. Tiba-tiba saja ia merasa seakan ada jarum yang menusuknya. Terasa sakit dan pedih.

"Halo, kau masih di sana?" tanya Bayu, saat tidak ada lagi suara didengarnya.

"Ah... iya, Mas. Aku masih di sini. Aku hanya ingin mengetahui kabarmu hari ini. Apa kau sudah makan? Tapi, kelihatannya sudah terlihat kau mengatakan tadi di mana kau saat ini. Tadinya aku berencana mengajakmu makan siang."

Bayu bisa mendengar nada sedih dibalik suara Ela. "Maaf, andai kau menghubungiku lebih cepat. Kurasa kita bisa makan lain kali. Mungkin besok," tawar Bayu mencoba menghibur sang istri.

"Boleh juga, terserah kamu saja."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan kembali ke kantor sekarang. Apa masih ada yang ingin kau katakan?"

"Tidak lagi." Pelan Ela mengatakannya.

"Aku akan menjemputmu nanti sore."

"Baik Mas. Kalau begitu aku juga akan kembali bekerja. Jangan lupa shalat ya. Assalamualaikum Mas."

"Waalaikumsalam El".

Ela menatap ponselnya. Bahkan hingga ponsel itu dimatikannya tidak ada ucapan atau kata-kata sayang dari suaminya. Ela tidak tahu ada apa dengan Bayu. Hanya saja hatinya benar-benar merasa tak nyaman saat ini.

Bayu tak sadar dengan tiap ucapannya tadi. Mungkin hal itu sepele namun bisa menjadi besar saat sebuah kebiasaan mulai menghilang.

Bayu menatap ponselnya, dicarinya satu nama di sana, "Dira". Bayu ingin sekali menghubunginya. Banyak hal yang ingin ia katakan pada gadis itu. Banyak hal yang ingin ia ungkapkan dan yang paling utama ia ingin meminta maaf. Namun, urung ia lakukan. Ia hanya mampu menatap dan tidak ada keberanian untuk menekan tombol itu.

Bayu masih diam di cafe tersebut. Sesekali ia menatap keluar cafe. Entah apa yang ia lihat. Hingga tak sadar Azka tiba-tiba saja muncul dihadapannya.

"Apa ada yang menarik di sana?" kata Azka, membuat Bayu terkejut.

"Azka! Sejak kapan kau di sini?" tanyanya Bayu heran. Ia bahkan tak tahu kapan pria itu datang. Mereka bahkan tidak memiliki janji.

"Baru saja. Sepertinya kau melamun?" balas Azka.

"Tidak juga. Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya lagi.

"Sama sepertimu ingin menikmati segelas coffe."

Bayu mengangguk. Lalu kembali diam. Tidak lagi menanggapi perkataan Azka. Pandangannya kembali ke arah luar cafe. Seakan-akan di luar sana ada yang menarik unyuk dilihat.

"Aku akan ke Makassar?" ucap Azka, berhasil memancing Bayu.

Bayu yang mendengar perkataan Azka langsung mengalihkan pandangannya ke arah Azka. Menatap pria itu lekat. "Makassar? Buat apa?" bertubi-tubi Bayu menyodorkan pertanyaan pada Azka.

"Bekerja dan bertemu Dira. Aku merindukannya," jawab Azka acuh tak menghiraukan wajah Bayu yang terlihat kesal.

Bayu menegang, hatinya seakan marah dan ingin memberontak. Ada rasa tidak rela saat Azka berkata merindukan Dira.

"Dan juga aku ingin memintanya menjadi kekasihku, atau mungkin menjadi istriku," lanjut Azka lagi.

Bayu mengepalkan tangannya. Raut wajahnya memerah dan urat-urat nadinya tampak jelas ditangannya. Azka tahu itu, jika Bayu mulai merasa kehilangan. Namun, ia tidak peduli. Toh, Bayu telah memiliki Ela. Jadi tidak ada hak menganggu Dira lagi.

"Ada apa denganmu? Mengapa wajahmu terlihat merah dan menegang seperti itu?"

Mendengar hal itu Bayu hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Azka.

"Apa kau cemburu?" tanya Azka lagi, mencoba memancing Bayu.

Sementara Bayu berusaha menenangkan dirinya. "Cemburu? Mengapa aku harus cemburu?"

"Entahlah, hanya kau yang tahu. Atau apa mungkin kau mulai merasa kehilangan? Atau jangan-jangan kau juga mulai menyukainya?" Todong Azka dengan memborbardir Bayu dengan pertanyaan yang berhasil membuat Bayu salah tingkah.

"Kau gila." Desis Bayu tidak suka. "Aku sudah menikah dengan sepupumu. Tidak sepantasnya aku menyimpan wanita lain di hatiku."

"Baguslah jika kau tahu itu. Ingat, Ela adalah adikku. Sekalipun hanya sepupu, namun sejak dulu buatku Ela sudah seperti adik kandungku. Jadi, kuharap, kau jangan membuatnya terluka. Jika kau melakukan itu, kupastikan kau akan berhadapan denganku." Kata Azka, sorot matanya memandang Bayu sangat tajam. Seperti bilah pisau jika kau terkena kau akan terluka karena irisannya.

Bayu terkejut akan ucapan Azka. Dibalasnya tatapan Azka yang tak kalah tajam. Tidak ada rasa takut yang Bayu perlihatkan. "Kau tenang saja, aku tidak akan menyakitinya."

"Baguslah," balas Azka acuh seraya berdiri meninggalkan Bayu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta tanpa Batas

PH-10