PH-06

Orang bilang saat hatimu sedih maka buatlah dirimu sesibuk mungkin. Dengan begitu perlahan kau akan melupakan hal yang membuat bersedih. Seperti itulah Dira melakukannya. Sudah beberapa hari ini Dira disibukkan dengan kegiatan residen di rumah sakit. Ia bersyukur, karena hal ini membuatnya lupa akan masalah yang sedang ia hadapi. Sekalipun melelahkan Dira begitu bahagia melihat pasien yang ia rawat perlahan membaik. Terlebih lagi pasiennya adalah anak-anak yang lucu.

"Pagi kakak dokter cantik." Sapa seorang pasien padanya begitu melihat Dira yang berjalan ke arahnya.

"Pagi juga adik ganteng!" ucapnya lembut pada pasien tersebut yang bernama Rama. Dira menunduk. Mensejajarkan posisinya dengan Rama. Tersenyum ramah, pada sang pasien.

"Coba kakak periksa keadaan Rama sekarang?"

Dira mulai memeriksa kondisi Rama. Bocah berusia delapan tahun itu divonis mengalami gagal jantung. Usianya masih begitu muda untuk mengalami penyakit separah ini. Namun, bukankah penyakit tidak pernah memilih usia. Ia akan menyerang siapa saja. Tidak perduli tua ataupun muda.

"Kelihatannya kamu sudah jauh lebih baik." Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya saat mengatakannya. "Kalau beberapa hari ini kamu semakin membaik, kakak akan tanyakan ke Dokter Hendra apa kamu bisa pulang apa belum?"

"Benaran kak, Rama bisa pulang?" Antusias Rama menanyakannya. Bibirnya tersenyum sumringah. Bola matanya yang sayu menatap Dira penuh harap. Berharap jawaban yang ia dapat dari sang dokter yang merawatnya adalah hal yang ia nantikan.

"Iya kamu bisa pulang kalau kamu sudah baikan, jadi jangan nakal, minum obat yang teratur dan jangan terlalu lelah."

"Iya kak. Rama pasti akan turuti ucapan kakak Dokter. Rama janji nggak akan nakal dan akan rajin minum obat."

Dira mengusap kepala sang anak, mengecup keningnya singkat. "Anak pintar," ujarnya pelan.

Usai memeriksa pasien Dira memutuskan kembali keruangannya. Tapi, rasa lapar tiba-tiba datang. Ia ingat jika tadi pagi ia tidak sempat sarapan. Dira melirik jam ditangannya, Masih ada satu jam sebelum bertemu dengan Dokter Hendra. Professor selaku pembimbingnya, sekaligus pemilik rumah sakit. Dira memutuskan menuju restoran di depan rumah sakit. Setidaknya ia harus mengisi perutnya lebih dahulu. Sesekali ia menyapa pasien atau perawat yang ia temui. Langkahnya terhenti saat sebuah suara terdengar menyebut namanya.

"Dira...."

Dira menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Matanya menyipit melihat seorang pria terlihat berlari ke arahnya.

"Siapa? Apa aku mengenalmu?" tanya Dira heran begitu pria itu berdiri di hadapannya.

"Kau melupakanku?"

"Bukan melupakan, tapi aku memang tidak mengenalmu?" Ketus ia menjawabnya. Menatap jengah sang pria. Merasa tidak mengenalnya. Dira pun hendak berjalan meninggalkan pria itu, namun, saat hendak melangkah tangannya ditahan oleh pria tersebut.

"Tunggu," pekik pria itu. Matanya tidak pernah lepas dari Dira membuat sang gadis merasa risih. Dira melepaskan paksa tangan pria itu padanya. Ekspresinya mengeras melihat pria yang begitu lancang menyentuh tangannya.

"Jika kau tidak ingat, mari kita berkenalan," ujar Pria itu, seraya menyodorkan tangannya ke arah Dira. "Aku Azka Putra Hutama sepupu Elena."

Dira mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa gerangan pria di hadapannya ini. Diam-diam ia melirik pria tersebut. Dari sudut matanya ia bisa melihat jika wajah pria di depannya ini terlihat tampan, tubuh yang tegap dan senyum yang menarik. Dira yakin secara fisik pria ini terlihat sempurna bahkan sangat sempurna.

"Hei, ayolah! Apa kau masih tidak mengingatku?" Kezal Azka mengatakannya karena Dira tidak kunjung mengenalnya.

Dira memutar bola matanya, mulai berfikir siapa gerangan pria yang sejak tadi menyapanya. Dan pada akhirnya bibirnya pun menyunggingkan sebuah senyuman yang nyaris sangat tipis. Namun Azka masih bisa melihatnya.

"Jadi apa kau sudah mengingatku?" Tanya Azka penasaran. Tatapannya tidak pernah lepas dari Dira.

Dira tersenyum, menganggukkan kepalanya. "Ya aku ingat, kamu Azka sepupu Ela yang datang dari Inggris, berlibur sebulan di Indonesia. Lalu setelah itu menghilang tanpa jejak. Dan nggak ada kabar sama sekali."

Azka mengangguk. Spontan mememeluk gadis itu. Dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

Mendapati pelukan Azka yang tiba-tiba, membuat Dira sedikit terkejut dan merasa risih. "Kurasa kau harus melepaskan pelukanmu. Jika tidak orang akan berfikir macam-macam."

Azka langsung melepas pelukannya. "Maaf," ujarnya sedikit salah tingkah yang dibalas senyuman tipis oleh Dira.

"Apa kabar?" Mencoba mengalihkan kecanggunan yang tercipta tadi, Dira memutuskan menanyakan kabar Azka.

"Aku baik, bagaimana denganmu?"

"Seperti yang kau lihat. Aku juga baik."

Azka mengangguk. "Ya, aku bisa melihatnya. Kau terlihat sangat baik. Dan juga cantik." Azka mengedipkan matanya saat berkata demikian membuat Dira melototkan mata ke arahnya.

"Kamu nggak berubah Ka, tetap aja jadi tukang gombal."

"Aku gombalnya hanya ke kamu loh."

"Bodoh amat, aku juga nggak peduli kok."

Azka tertawa, sejak dulu hal yang paling ia sukai adalah menggoda Dira. Gadis di hadapannya ini sangat mudah membuatnya marah. Cukup dengan merayunya saja. Azka meringis dalam hati. Di luar sana ada begitu banyak wanita yang menyukai atau mengharapkan rayuannya. Tapi, sejak dahulu hanya gadis di hadapannya ini yang selalu membuatnya mati kutu. Tidak pernah tergoda sedikit pun.

"Jadi, katakan padaku apa kau merindukanku?" Sudut hati Azka berharap sang gadis menjawab ya. Sekalipun ia meragukan itu. Ia mengenal betul siapa Dira. Gadis itu lebih menyukai memendam apa yang ia rasakan.

Dira menggerutu pada Azka. Matanya menyipit menatap Azka jengah. Sekian lama tidak bertemu nyatanya pria ini tidak berubah. "Ngapain merindukanmu, toh gak ada gunanya?"

"Yakin, kamu nggak merindukanku?"

"Nggak!" pekik Dira yakin. Ia bahkan nyaris berteriak saat mengatakannya.

Azka tertawa. Lagi-lagi ia berhasil menggoda Dira. "Tapi, aku merasa yakin kamu merindukannku?"

"Geer kamu," protes Dira, tidak terima akan perkataan Azka.

Azka lagi-lagi tertawa melihat reaksi Dira. "Kau tahu Dir, kau terlihat sangat cantik ketika sedang cemberut seperti ini."

"Mana ada orang cemberut terlihat cantik. Kalau mau gombal yang masuk akal sedikit."

"Jadi kamu mau aku gombalin?"

Dira menatap Azka jengah. Tidak akan habisnya jika berhadapan dengannya. Azka akan terus menggodanya seperti dulu."Jadi apa yang kau lakukan di rumah sakit?" Mencoba mengalihkan, Dira memilih mengajukan pertanyaan.

"Aku....?" Tunjuk Azka pada dirinya.

Dira memicingkan mata, menatap Azka kesal. "Iya kamu? Memangnya disini ada orang lain? Nggak ada kan?"

Azka mengangguk-ngangguk. "Sejak tiba tadi aku masih berfikir apa yang akan kulakukan di sini. Namun, saat melihatmu aku tahu apa tujuanku sekarang."

Dira membulatkan kedua bola matanya. Tidak percaya akan jawaban Azka. "Dasar pria aneh."

Azka tertawa saat mendengar gerutuan Dira. "Aku harus pergi sekarang. Tapi, lain kali aku pasti akan menjawab pertanyannmu tadi."

Dira tidak menjawab, juga tidak bertanya lagi. Hanya diam, menatap sang pria yang tengah mengedipkan mata kepadanya.

"Aku akan menghubungimu nanti." Azka berlalu begitu saja meninggalkan Dira yang menatapnya takjub.

Belum jauh Azka melangkah ia kembali lagi ke hadapan Dira. "Malam ini aku mengajakmu makan malam, dan tidak ada penolakan." Lalu berlari menjauh dari Dira tanpa menunggu jawabannya.

Tersadar, Dira seketika berteriak hingga nyaris membuat pasien dan beberapa perawat juga dokter melirik ke arahnya. "Aku tidak mau, dasar cowok gila."

Azka tak mempedulikannya. Ia tetap berjalan dengan tangan melambai dari belakang.

@@@

Bayu duduk termenung di dalam mobilnya. Sudah hampir dua jam lebih, ia tidak bergerak dari posisinya. Entah mengapa Bayu seakan-akan tidak memiliki nyali menemui Nadira. Sudut hatinya merasa takut. Ia takut akan dugaannya. Jika gadis itu mencintainya.

"Arghhhh... sial. Mengapa semuanya begitu rumit," umpatnya kesal, sambil memukul setir mobilnya.

Bayu melihat Dira yang berjalan keluar hendak meninggalkan rumah sakit. Namun pemandangan yang dilihatnya membuat sebagian dari dirinya merasa tidak suka. Dari tempatnya, ia bisa melihat Dira bersama seorang pria. Bayu bahkan tak percaya jika sang gadis tertawa lebar. Tawa yang sudah sejak lama tidak dilihatnya. Tubuhnya seketika menegang begitu melihat pria itu memeluk Dira. 

Bayu tidak suka dengan pemandangan didepannya ini, tubuh dan otaknya mulai tidak sinkron. Logikanya berkata tidak ingin menemui Nadira sekarang. Namun hatinya menuntunnya menemui gadis itu.

Perlahan Bayu turun dari mobil. Berjalan ke arah Dira.

"Dira," panggilnya sedikit berteriak.

Dira menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Seketika tubuhnya berubah jadi kaku.

"Apa aku menganggu?"

Dira mengangguk, kemudian menggeleng. Bingung tak tahu apa yang harus ia jawab. Tubuh dan otaknya sedang tidak bisa diajak kompromi.

"Boleh kita bicara," pinta Bayu kembali.

Dira masih diam. Bingung akan situasi ini. Susah payah ia menghindari Bayu, tapi yang ada malah pria tersebut yang muncul dengan sendirinya.

Tidak juga menemukan jawaban, Bayu lantas tak putus asa. Ia kembali berkata, "Tampaknya kau bahagia, kufikir aku terlalu mengkhawatirkanmu?"

Dira tak bergeming, ia masih gugup melihat kehadiran Bayu disini. Bahkan ia tidak mampu mendengar dan memahami maksud perkataan Bayu.

"Dira," panggil Bayu lagi. Kali ini ia memanggil Dira pelan bahkan sangat pelan hingga nyaris tidak terdengar.

Dira menoleh ke arah Bayu, ditatapnya pemuda itu dalam. Ada rasa rindu yang menyeruak di dalam dada hendak mendesak ke luar. "Bayu, apa boleh aku memelukmu," lirih batinnya mengatakan.

"Dira," panggil Bayu sekali lagi. "Please aku mohon, jangan diam." Bayu menatap Dira dalam, dipandanginya wajah gadis yang diam-diam belakangan ini sering ia rindukan.

"Apa kabar Bayu?" Itulah kata pertama yang meluncur dari bibir Dira. Yang mampu membuat kedua bola mata Bayu seketika bersinar. Akhirnya Dira mau berbicara padanya.

Bayu tersenyum tipis, lalu membawa Dira ke dalam pelukannya, membuat sang gadis terkejut. Ia bahkan tak kuasa menolaknya meskpun otaknya berkata tidak.

"Aku merindukanmu Nadi. Aku merindukanmu." Entah berapa kali Bayu mengucapkannya. Yang nyaris membuat tubuh Dira gemetar. Belum cukup pelukannya membuat jantungnya berdetak kencang ditambah lagi kata rindu Bayu, membuat Dira nyaris tidak bisa bernapas.

"Bayu, a... aku nggak bisa napas."

"Maaf," jawab Bayu cepat. "Kamu nggak papa kan?"

Dira menggeleng. Yang disambut napas kelegaan oleh Bayu.

"Kamu kenapa kemari?"

Bayu tersenyum tipis, "Aku merindukanmu."

Lagi-lagi Bayu berhasil membuat Dira salah tingkah. Gugup menderanya, "Benarkah kau merindukanku?"

"Aku ingin bicara denganmu. Kuharap kau tidak sibuk." Bayu menatap Dira penuh permohonan.

Dira mengangguk singkat. "Kita bicara di restoran itu saja." Tunjuk Dira ke arah seberang rumah sakit. "Kebetulan aku hendak ke sana untuk makan."

Bayu menoleh ke arah yang Dira maksud, lalu kembali beralih ke Dira. "Apa kau bawa mobil?"

"Tidak, aku berencana jalan kaki." Singkat Dira menjawabnya.

"Kita naik mobil saja. Cuaca sedang panas, lagi pula tempatnya di seberang, kendaraan cukup padat jika kau hendak menyeberang itu cukup berbahaya." Bayu lalu memegang tangan Dira, menautkan jemari mereka. Berjalan ke parkiran di mana mobilnya terparkir.

Dira memperhatikan tangannya yang digenggam Bayu erat, seketika ia merasa seakan ada aliran listrik yang mengalir masuk ke dalam tubuhnya, saat Bayu menggenggam jemari tangannya.

Seperti Dira, Bayu juga merasakan hal yang sama. Jantungnya bahkan berpacu semakin cepat seiring genggamannya yang semakin erat pada jemari Dira. Mereka berdua berjalan dalam keadaan diam. Tiada satupun dari mereka yang mau buka suara.

Begitu tiba di depan mobilnya, Bayu segera melepas genggamannya pada jemari Dira. Ada rasa sedih dirasakan Dira saat Bayu melepaskan genggamannya.

"Masuk," pinta Bayu pada Dira seraya membuka pintu depan mobilnya. Seperti Dira, Bayu pun merasa kehilangan saat ia melepaskan tautan jemari mereka.

Dira masuk ke dalam mobil Bayu, disusul Bayu kemudian.
Tidak ada satupun dari mereka yang mau mulai berbicara. Mereka sama-sama diam dengan fikiran masing-masing.

"Turunlah!" pinta Bayu.

Dira menoleh ke luar di balik kaca mobil, ia bahkan tidak sadar jika mereka sudah tiba. "Sejujurnya aku berharap bisa melakukan perjalanan sejauh mungkin denganmu Bay," lagi-lagi batinnya bersuara. Dira tersenyum kecut, meringis dalam hati. Nyatanya dunia nyata tidak seindah bayangan. Dira lalu turun dari mobil, berjalan masuk ke dalam restoran diikuti Bayu dibelakangnya.

Suasana restoran terbilang tidak begitu ramai. Maklum saja jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Masih terlalu dini untuk makan siang.

"Selamat pagi, anda ingin memesan apa?" Seorang pelayan menghampiri mereka.

"Kamu ingin pesan apa Nad?"

"Aku pesan orange jus sama mie gorengnya mbak."

"Kalau bapak ingin pesan apa?" ujar pelayan restoran tersebut kepada Bayu.

"Samakan aja mbak, dua orange jus dan 2 porsi mie goreng."

Si pelayan mulai mencatat pesanan Bayu dan Dira, "ada lagi pak?"

"Sudah cukup mbak."

"Baik, akan kami siapkan. Permisi."

Saat pelayan tersebut pergi lagi-lagi hening kembali tercipta. Baik Dira maupun Bayu sama sekali tak ada yang buka suara.

Bayu menghela napas lelah. Ia benci suasana seperti ini. "Bagaimana kabarmu hari ini?" tidak ingin diam terus, akhirnya Bayu mulai berbicara.

"Baik," jawab Dira singkat.

"Owh ya?" Ada nada tidak percaya dari mulut Bayu saat mendengar jawaban Dira. "Tapi yang kulihat berbeda. Atau apa hanya fikiranku saja?"

Dira mengangkat wajahnya, memandang lurus tepat ke arah mata Bayu. "Maksud kamu apa?"

"Aku merasa kau tidak baik-baik saja. Aku merasa ada yang salah. Yang kulihat kamu susah dihubungi. Aku tak tahu apa kau memang sibuk? Atau hanya berpura-pura sibuk? Aku bahkan merasa kau menghindariku?"

"Benarkah? Aku bahkan tidak merasa seperti itu. Karena aku memang sangat sibuk belakangan ini. Kamu tahukan sekarang menjelang akhir residenku itu artinya tidak lama lagi aku akan menjadi dokter spesialis. Kamu pasti tahu kesibukan seorang dokter terlebih aku masih seorang residen saat ini. Aku rasa, mungkin hanya kamu yang merasa begitu. Karena nyatanya aku sama sekali tidak menghindarimu. Lagi pula atas dasar apa aku harus menghindarimu?" Dira mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ia memang tidak menampik jika belakangan ini, ia memang sibuk. Namun kesibukannya itu memang ia gunakan sebagi alasan untuk menghindar dari Bayu.

Bayu tak menampik perkataan Dira. Ia tahu betul pekerjaan Dira. Belum lagi gadis itu masih harus bolak-balik kampus mengurus beberapa hal guna melancarkan program dokter spesialisnya. Tapi bagaimanapun sudut hati Bayu menolak mengakui itu. Faktanya ia tetap merasa Dira menghindarinya.

"Apa kau membenciku, atau mungkin marah padaku?" Tidak ingin diliputi banyak kebimbangan Bayu langsung menanyakan apa yang menjadi beban fikirannya.

Dira yang mendapat pertanyaan itu cukup terkejut. Dipandanginya Bayu dengan sorot mata lembut dan sendu. Ia ingin sekali berkata, "Ya, aku marah padamu. Aku benci padamu. Karena kau memilih Ela dan bukan aku." Tapi, hanya mampu tertahan hingga tenggorokan. Di lain sisi Bayu bisa menangkap tatapan mata Dira. Akan tetapi ia sulit mengartikannya.

"Mengapa aku harus marah dan benci padamu?" Tenang Dira menjawabnya.

"Entahlah, aku merasa kau berbeda. Kau menghindariku.
Bahkan aku merasa kehilanganmu?"

Deg....

Jantung Dira berdetak kencang usai mendengar Bayu berkata jika Bayu kehilangan dirinya. Hatinya bertanya, "benarkah itu?"

"Aku tidak pernah pergi Bay, tapi kamu yang pergi dariku. Lagi pula kau sudah memiliki Ela. Jadi, kurasa kau tidak membutuhkanku lagi." Nada Suara Dira seketika berubah menjadi sedih. Sorot matanya pun mulai berkaca-kaca.

Melihat hal itu Bayu langsung mengenggam jemari tangan Dira. Menatapnya dengan sorot mata yang lembut, sayang, sedih dan penuh kerinduan. Dira seakan terhanyut akan tatapan mata Bayu. Di sana seakan-akan ia bisa melihat jelas tertulis aku merindukanmu.

"Aku tidak pernah pergi darimu. Aku butuh kamu Nad. Dan aku tiak mau kehilanganmu Nadi."

Jantung Dira semakin berdetak kencang. Bingung dan takut. Ia tak tahu harus berkata apa. Perkataan Bayu seakan membuatnya ingin menari karena bahagia. Tapi, batinnya meragukan itu. Haruskah ia merasa bahagia mendengar ucapan Bayu padanya? Sementara hatinya meragukan itu. Dira tak tahu bagaimana cara mendeskripsikan hatinya saat ini. Ia galau dan bimbang. Namun tak menampik jika raga dan jiwanya bahagia. Dira mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah Bayu, "Apa kamu yakin membutuhkanku dan tidak ingin kehilanganku? Aku meragukan itu Bayu?" Ingin sekali Dira menanyakan hal itu. Tapi, lagi-lagi hanya mampu iya ucapkan hingga batas tenggorokan. "Oh Tuhan... apa itu benar?"

"Kau sahabatku Nadi." Kembali Bayu berkata. Namun, pada akhirnya Dira tahu, segala ucapan Bayu tadi tidak lebih hanya ungkapan seorang sahabat. Dira menggigit bibir bawahnya menahan sesak yang mulai muncul di dadanya. "Aku membutuhkanmu dan tidak ingin kehilangan sahabat. Aku memang mencintai Ela sebagai wanita yang ingin kunikahi. Namun, aku juga menyanyangimu sebagai sahabatku yang selalu ingin kulindungi. Bagiku kalian berdua adalah dua wanita yang berharga untukku selain mama."

DUAR... RRRRRR.

Pernahkah kalian merasa, sudah terbang jauh ke atas langit. Namun hanya dalam hitungan lima detik tubuh kalian terhempas kembali ke tanah. Itulah yang dirasakan Dira. Baru saja ia merasa bahagia saat Bayu mengatakan membutuhkan dirinya dan tidak ingin kehilangannya, tapi, sekarang semuanya hanya omongan belaka.

Bayu memang menyanyangi,membutuhkan dan tidak ingin kehilangannya namun bukan sebagai wanita yang dicintainya melainkan sebagai sahabat ya hanya sahabat tidak lebih.

Andai saja Dira tidak menyukainya, mungkin ia bisa tertawa bahagia bersama Bayu. Sayangnya itu tidak mungkin. Karena saat ini saja ia bahkan merasa ingin muntah mendengar perkataan Bayu. Baginya itu sangat memuakkan. Karena yang diinginkan olehnya bukanlah status sahabat melainkan cinta, menjadi wanita yang dicintai Bayu.

Berusaha menahan rasa sakitnya, Dira tersenyum. Senyuman yang sangat tipis. Bahkan jika Bayu sadari senyuman Dira terlihat getir. "Ya, aku memang sahabatmu, selamanya hanya akan jadi sahabatmu." Penuh penekanan Dira mengatakannya.

Bayu tak tahu harus menanggapi apa atas pernyataan Dira yang entah mengapa bisa ia tangkap ada nada sinis, dan kecewa di dalamnya. Ia memilih diam larut dalam fikirannya. Begitupun dengan Dira yang memilih diam. Tidak ada satupun dari mereka yang hendak buka suara.

"Permisi pak, bu. Ini pesanannya," ujar pelayan tersebut tiba-tiba. Berhasil memecahkan keheningan diantara mereka.

Dira makan dengan tidak berselera. Hanya sesendok yang berhasil ia masukkan ke dalam mulutnya. Ia memutuskan menghentikannya seiring mual yang mulai terasa.

"Kenapa nggak di makan?"

"Aku sudah tidak berselera. Aku akan kembali ke rumah sakit. Maaf tidak bisa menemanimu lebih lama." Dira lalu mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan ke atas meja. "Tolong kau bayar." Lalu berdiri dari posisinya, terburu-buru berjalan ke luar restoran.

Melihat hal itu Bayu pun enggan melanjutkan makannya. Ia bahkan tidak sempat memanggil pelayan restoran tersebut. Hanya uang yang ia taruh di atas meja. Lalu buru-buru ke luar menyusul Dira.

Saat tiba di luar resto, Bayu bersyukur masih melihat gadis itu di sana. Berdiri ditepi jalan. Bayu menghampirinya, menyentuh pundak sang gadis sehingga membuat Dira nyaris terkejut. Wajahnya pias seakan tidak ada aliran darah yang mengalir. Kedua matanya terlihat basah. Rasa cemas seketika dirasakan Bayu. "Nadi, kamu kenapa? Apa ada yang sakit?" Diperiksanya sekujur tubuh Dira bolak-balik, namun tidak ada satupun yang ia temukan. "Katakan padaku Nadi. Please... jangan buat aku cemas seperti ini?"

Dira langsung memeluk Bayu erat. Menangis dalam pelukannya. Untuk kali ini, ia akan biarkan air matanya mengalir di hadapan Bayu. Awalnya Bayu terkejut akan pelukan tiba-tiba dari Dira. Namun, akhirnya ia membalasnya. Tidak menghiraukan orang-orang yang mulai menatap mereka aneh. Saat dirasa Dira cukup tenang, ia lalu mengajak sang gadis masuk ke dalam mobilnya sambil kembali menggenggam jemari tangannya.

Dira hanya diam, tidak ingin mengatakan apapun. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya. Berusaha menutupi rasa malu dan gugupnya. Dalam hati ia merutuki kecerobohannya tadi. Menangis di depan Bayu. Seakan mengerti, Bayu pun memilih hal sama. Tidak bertanya atau mengatakan sesuatu.

"Selamat pagi menjelang siang pemirsa, bersama saya kiki di hari nan cerah ini satu lagu khusus buat kamu para pecinta di luar sana yang tengah galau karena cintanya ditolak, putus atau sepihak"  Suara sang penyiar radio memecah keheningan di dalam mobil.

Dira mengumpat dalam hati, "Arghhhhh... sial, mengapa Bayu memutarnya. Apa dia mau mengejekku?"

Tidak butuh waktu lama, mereka tiba di depan rumah sakit. Tempat di mana Dira bekerja. Saat Dira hendak ke luar dari mobil  tiba-tiba tangannya ditahan oleh Bayu. Ditariknya Dira dalam pelukannya. Membuat Dira nyaris tidak dapat bernapas karena terkejut. Ia kembali mematung saat Bayu memeluknya.

"Maaf." Satu kata yang terucap dari bibir Bayu. Tapi maaf untuk apa? Dira tidak bertanya atau menjawab. Ia memilih  diam.
Dira melepas begitu saja pelukan Bayu. Lalu ke luar dari mobil dan tidak menoleh ke belakang lagi. Air mata lolos begitu saja dari kedua matanya. Satu hal yang ia sadari. Jika Bayu memang tidak mencintainya dan ia harus melupakannya.

@@@

Lima Bulan telah berlalu sejak hari itu. Bayu dan Dira sama-sama menghindar. Ela pun tidak ingin ambil pusing. Entah ia tahu atau tidak mengenai perubahan akan sikap Dira dan Bayu, atau seiring Dira yang menjauh dari mereka, ia tidak peduli. Bukan karena ia membenci Dira. Ela hanya ingin menjalani hubungannya dengan tenang tanpa ada bayang-bayang Dira. Karena sampai hari ini, sudut hatinya entah mengapa masih diliputi kebimbangan akan Dira. Mungkin begini lebih baik.

Sementara itu hubungan Azka dan Dira pun semakin dekat. Walau hanya sebatas teman, setidaknya bagi Dira ini jauh lebih baik dibandingkan ia sendiri.

Waktu terus bergulir sangat cepat. Hingga akhirnya Bayu dan Ela keduanya telah menyelesaikan kuliahnya masing-masing. Begitupun Dira yang telah menyelesaikan residennya. Hingga akhirnya ia berhasil meraih gelar dokter spesialis anak.

Baik Bayu, Ela dan Dira pada akhirnya ketiganya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bayu dan Ela memutuskan meneruskan bekerja di perusahaan ayah mereka. Sementara Dira masih menimbang-nimbang tawaran dari rumah sakit untuk bekerja di luar Jakarta.

Hubungan Bayu dan Ela semakin lama pun semakin erat. Kesibukan keduanya tidak pernah menghalangi mereka memadu kasih. Sekecil apapun waktu yang tersedia Bayu selalu mengusahakan untuk bertemu dengan kekasihnya.

Sudah dua bulan belakangan ini Ela terjun langsung bekerja di kantor ayahnya. Tidak tanggung-tanggung ia langsung menerima jabatan wakil direktur dari sang ayah. Wijaya ayahnya tidak pernah meragukan kemampuan Ela. Terlihat dari kinerja sang anak yang sekalipun masih terbilang baru, namun sudah cukup mampu menyelesaikan beberapa masalah di perusahaannya.

Drrttttt... Drrttttt

Suara dering ponsel membuat Ela berhenti sejenak dari kesibukannya. Ela melirik ponselnya yang sejak tadi bernyanyi. Senyum tipis seketika tercetak di bibirnya saat melihat sang penelphone yang menghubunginya.

"Halo, assalamualaikum?" ujar suara pemuda dari balik ponsel yang tak lain adalah Bayu.

"Waalaikumsalam?" jawab Ela lembut. Senyum tidak pernah hilang dari bibirnya.

"Masih sibuk?"

Ela mendesah. Sejujurnya ia teramat lelah. Tapi, mendengar suara pria yang ia cintai, semangatnya langsung naik. "Ya masih, ada beberapa dokumen yang harus kuselesaikan hari ini."

"Semangat sayang, jangan lupa makan ya." Dada Ela berdesir untuk kesekian kalinya mampu membuat rona merah di wajahnya muncul. Walau Bayu sudah terlalu sering memanggilnya sayang, akan tetapi sampai hari ini jantungnya masih sering berdebar-debar.

"Kamu juga jangan lupa makan. Bagaimana denganmu, apa kau sibuk?"

"Baru minta mang ujang beliin makanan. Aku nggak sempat keluar makan siang. Aku baru habis meeting soalnya."

"Semangat...." teriak Ela dari balik ponselnya membuat Bayu di seberang sana tertawa lebar.

"Jadi makin kangen sama kamu. Sudah tiga hari nggak ketemu." Bayu pura-pura merajut. Mendengar itu, Ela tersenyum tipis.

"Aku juga, kangen sama kamu." Ela mengatakannya sumringah. Andai Bayu bisa melihatnya, ia pasti akan mengecup gemas pipi Ela yang memerah.

"Gimana, kalau kita makan malam. Aku jemput kamu nanti malam."

"Boleh, aku nggak usah pulang ya Bay, jemputnya di kantor saja. Takutnya kemalaman."

"Oke siip boss, apa sih yang nggak buat calon istri." Penuh cinta Bayu mengatakannya. Menimbulkan kebahagiaan tidak berhingga buat Ela. Senyumnya terus merekah. Ia berharap hubungan mereka bisa segera diresmikan. Ela hanya ingin bisa bersama Bayu tiap harinya.

"I love you sweet hurt."

"Love u too my Bay."

Ela menutup ponselnya usai Bayu berucap kata cinta yang kesekian kalinya. Diliriknya jam didinding yang terdapat di ruangannya. Sudah pukul satu siang, itu artinya ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu mengingat ia ada janji kencan dengan Bayu.

Jam lima sore Bayu langsung menjemput Ela di kantornya. Dari balik kaca mobil yang ia gunakan, Bayu bisa melihat gadisnya itu sudah berdiri di depan loby kantor ditemani beberapa karyawannya. Bayu lalu mengarahkan mobilnya ke arah Ela berada.

Ela yang melihat sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya tersenyum manis. Ia tahu siapa sang pengemudi dibalik mobil tersebut.

"Aduh Mbak Ela, senangnya dijemput sama pacar," goda Ana salah satu karyawannya.

"Iya donk makanya, kamu juga cari pacar sana, biar ada yang jemput kamu." Kembali celutukan datang dari karyawan lainnya yang juga berdiri disekitar Ela.

Mendengar itu semua Ela hanya tersenyum. Hubungannya dengan Bayu, sudah menjadi rahasia publik. Bahkan semua karyawannya menganggap mereka pasangan yang sempurna dan serasi. Sama-sama cantik dan dari keluarga yang berada.

Bayu turun dari mobilnya. Berjalan menghampiri sang kekasih. Tak henti bibirnya menyunggikan senyuman ke arah Ela. Dipeluknya Ela dan sebuah ciuman manis didahi Ela diberikan Bayu begitu ia berdiri tepat di hadapan Ela.

"Cie... mas Bayu, jadi baper nih liatnya." Kompak karyawan lainnya yang juga ada di sana meledek mereka. Yang hanya ditanggapi senyuman olehnya. "Jalan yuk?"
Ela pun mengangguk dan segera pamit pada mereka semua.

"Duluan ya...."

"Iya bu, ditunggu undangannya segera mas Bayu. Jangan lama-lama, kasihan mbak Elanya. Dan hati-hati loh mas, mbak Ela itu cantik dan cerdas banyak relasi bahkan karyawan pria di sini naksir mbak Ela loh."

Bayu menoleh ke arah Ela, menatapnya penuh tanya yang hanya dijawab cekikian oleh Ela. Fix Bayu mulai cemburu.

"Kurasa kalian benar, aku harus segera melamar boss kalian ini," ujarnya seraya mencentil hidung Ela.

"Ditunggu undangannya mas Bay." Serentak karyawan Ela mengatakannya.

Bayu tersenyum kepada mereka semua, lalu menjawab, "Oke siip." Sambil menaikkan jempolnya.

Bayu dan Elena pun pamit kemudian masuk ke dalam mobil Bayu yang akan membawa mereka kesebuah restoran. Suasana sore hari jakarta kali ini cukup padat, mau tak mau waktu yang tadinya hanya bisa di tempuh sekitar tiga puluh menit, berubah menjadi tepat satu jam saat akhirnya mereka tiba direstoran.

"Kamu yakin kita makan di sini?" Elena menatap Restoran dihadapannya ini. Lalu kemudian menoleh ke arah Bayu.

"Iya, memangnya kenapa? Kamu nggak suka?"

Ela menggeleng, "Bukan nggak suka. Malah aku suka banget. Tapi, bajunya nggak cocok. Masa, makan di restoran mewah pakai baju kerja. Tahu begini, aku bakal suruh Sita beliin dress buatku."

Bayu tersenyum ke arah Elena. "Nggak papa, sesekali tampil beda. Kamu juga tetap cantik pakai baju apapun."

"Gombal."

Bayu mengenggam jemari tangan Ela. Berjalan masuk ke dalam restoran italia. Suasana restoran tersebut sangat hening. Terdapat lampu-lampu kecil dengan nyala yang remang-ramang membuat suasana terkesan romantis. Di tambah alunan musik piano yang terdengar sangat lembut dan indah.

Ela dan Bayu duduk dibagian tengah restoran tersebut. "Apa kau suka?" tanya Bayu pada Ela begitu mereka duduk di meja yang telah Bayu pesan sebelumnya.

"Iya, sangat... aku sangat menyukainya. Ini sangat indah, belum lagi suasananya terkesan romantis. Aku menyukainya. Apa kau memesan tempat ini lebih dahulu. Kau tahu, sangat sulit mendapatkan meja di restoran ini."

Bayu tersenyum kearah Elena, tidak sekalipun ia melepas tautan jemari mereka. "Syukurlah kau menyukainya. Aku baru memesannya tadi. Tentu saja menggunakan koneksiku."

Pelayan pun datang dan menyajikan beberapa makanan yang telah Bayu pesan sebelumnya. Bayu dan Ela makan dengan nikmat. Sesekali mereka saling memandang, dan saling tersenyum. Siapa pun yang melihatnya pasti akan menganggap jika dua orang ini adalah pasangan yang sempurna. Yang wanita sangat cantik dan  yang pria sangat tampan. Ditambah aura penuh cinta terpancar dari wajah dan tubuh mereka membuat decakan kagum orang yang melihatnya.

"Sayang, aku ketoilet dulu ya...." pamit Bayu pada kekasihnya yang tengah lahap menikmati makanannya.

Ela mengangguk. "Jangan lama."

Bayu pun mengangguk dan pergi meninggalkan Ela. Ela memandang suasana disekitarnya. Dilihatnya beberapa pasangan yang juga tidak kalah romantisnya. Tatapan Ela mengarah pada pintu, dilihatnya di sana Azka datang dengan seorang gadis. Dari jauh Ela bisa melihat jika gadis itu adalah Dira. Ela terlihat berfikir, "Azka dan Dira, apa mereka sedang berkencan?"

Azka mengenggam tangan Dira masuk ke dalam Restoran tersebut. "Kau tidak mengatakan padaku jika kita akan makan malam disini?" ujar Dira pada Azka. Ia tercengan begitu masuk ke dalam restoran bergaya italia ini. "Kau tahu tempat ini sangat eksklusif  dan juga sangat mahal. Bahkan sangat sulit mendapatkan meja di sini."

"Aku ingin memberi kejutan padamu? Aku bahkan sudah memesannya seminggu yang lalu."

Dira menatap Azka takjub. Tidak menyangka Azka melakukan hal tersebut. "Tapi ini memalukan. Apa kau lihat orang disekitar kita, mereka semua memakai pakaian bagus. Sedangkan aku, coba lihat masih memakai pakaian kerja. Bahkan aroma rumah sakit masih bisa aku cium."

"Tak apa kau tetap cantik dan aku tetap saja tampan, bukankah begitu," seru Azka sambil mengedipkan mata pada Dira.
Dira hanya menggeleng, tidak mau menanggapi gombalan Azka.

"Lagi pula coba lihat wanita di sana." Tunjuk Azka ke arah meja di tengah. "Kurasa sama seperti kita, hanya berpakaian seperti ini. Sepertinya ia juga baru pulang kerja."

Dira menoleh ke arah gadis yang ditunjuk Azka. Seketika Dira menegang di sana dilihatnya Elena. Ia, tahu saat ini pasti ada Bayu bersamanya. "Elena," gumamnya pelan namun masih mampu didengar oleh Azka.

Azka menoleh ke arah tatapan Dira, dilihatnya di sana ada sepupunya Elena. " Iya itu Ela, apa dia sendiri?"

Dira pun tidak melihat Bayu disana. "Apa Ela sendiri?"

Ela menyadari jika Azka dan Dira melihatnya. Ia lalu melambaikan tangannya ke arah Azka dan Dira.

"Bagaimana jika kita bergabung dengan Ela, sepertinya dia sendiri?" tawar Azka pada Dira.

Dira menimbang-nimbang, sejujurnya ia tidak siap bertemu Ela saat ini. Kadang ia ingin membenci Ela, namun Dira tahu ini bukan salah Ela. Karena hati tidak pernah tahu dimana akan berlabuh. Termasuk hati Bayu yang memilih berlabuh di hati Ela.

Sejenak Dira tampak ragu. Namun saat dilihatnya Ela sendiri tanpa Bayu, Dira pun mengiyakan tawaran Azka. Ia dan Azka kemudian berjalan menuju meja Ela.

"Hei, sepupuku yang cantik, apa yang kau lakukan disini?" tanya Azka pada Ela.

"Justru aku yang mau nanya sama kak Azka, ada hubungan apa kamu sama sahabatku kak. Jangan bilang kalian pacaran?"

"Maunya sih, tapi Dira masih nggak mau diajak pacaran mungkin maunya diajak nikah aja kali."

Dira cemberut mendengar gurauan Azka. "Jangan didengar El, Azka memang begitu suka bencanda?"

"Ih gak pa-pa Dir, aku malah senang kalau kalian jadian, kan kita bisa jadi saudara. Tapi btw aku kangen banget sama kamu Dir, kamu kemana aja sih? Susah banget dihubungi?" Ela terlihat merajut pada Dira.

Dira menatap Ela sendu, merasa bersalah telah menjauh dari Ela. "Maaf, aku terlalu sibuk dirumah sakit."

Dira hanya mampu berkata dalam hatinya. " Maaf El aku berbohong sama kamu. Aku nggak maksud menghindarimu tetapi aku nggak kuat melihatmu bersama Bayu."

"El, kamu sama siapa di sini? Nggak mungkin kan kamu makan sendirian direstoran mewah seperti ini?" sela Azka. Dira menoleh ke arah Ela, penasaran ingin mengtahuinya,

"Aku nggak sendiri. Tapi sama Bayu, cuma nggak tahu ia kemana. Katanya ke toilet tapi sudah sepuluh menit lewat Bayu belum balik juga."

Deg....

"Bayu? Jadi Ela bersama Bayu?" Dira meringis dalam hati. Menyesali dirinya yang menyetujui ajakan Azka. Karena sampai hari ini, ia belum siap bertemu kembali dengan Bayu.

Suara denting piano diikuti nyanyian seorang pria mengalihkan ketiga orang itu ke arah pemilik suara tersebut. Mereka sangat terkejut karena di sana dilihatnya Bayu sangat mahir memainkan Piano diikuti dengan alunan suara lembut darinya.

Ela terlihat takjub melihatnya. Sementara Dira, merasa sakit melihat Bayu melakukan itu. Lagi-lagi ia harus melihat suasana seperti ini. Pertama di balkon kamarnya saat Bayu memainkan gitar dan menyanyikan lagu buat Ela dan sekarang tepat di hadapannya, Bayu kembali bernyanyi untuk Ela. "Oh tidak apa Bayu akan melamar Ela? Lirik lagu itu mengartikan jelas sebuah lamaran.

Dira terluka begitu dalam air mata lolos begitu saja dari kedua matanya. Sekalipun ia tidak ingin menangis. Azka yang melihat Dira menangis, mulai menyadari alasan Dira belum menjawab perasaannya. Ia lalu mengenggam jemari tangan Dira. Dira menoleh ke arah Azka. Walau cahaya yang remang, Azka bisa melihat wajah gadis itu basah dan pucat seputih kapas. Azka semakin mempererat tautan jemarinya di tangan Dira. Berusaha memberi kekuatan padanya jika semua akan baik-baik saja. Dira mungkin tidak pernah mengatakan padanya tentang perasaannya pada Bayu. Namun, Azka tahu dengan jelas jika sejak dulu Dira mencintai Bayu.

Suasana sang penyanyi diiringi alunan piano terdengar sangat indah saat Bayu terus menyanyikan lagu dari TRAIN "Marry Me"

Forever can never be long enough for me
Selama-lamanya tidaklah cukup lama bagiku
Feel like I've had long enough with you
Rasanya aku tlah cukup lama bersamamu
Forget the world now we won't let them see
Lupakanlah dunia, takkan kita biarkan mereka melihat
But there's one thing left to do
Tapi masih ada satu hal yang harus dilakukan

Now that the weight has lifted
Karena kini beban tlah terangkat
Love has surely shifted my way
Cinta tentu tlah alihkan jalanku
Marry me
Menikahlah denganku
Today and every day
Hari ini dan setiap hari
Marry me
Menikahlah denganku
If I ever get the nerve to say hello in this cafe
Anda kupunya nyali tuk menyapamu di kafe ini
Say you will
Katakanlah kau mau
Mm-hmm
Say you will
Katakanlah kau mau
Mm-hmm

Together can never be close enough for me
Bersama tidaklah cukup dekat bagiku
Feel like I am close enough to you
Rasanya aku tlah cukup dekat denganmu
You wear white and I'll wear out the words I love you
Gaunmu putih dan kan sering kuucap kata aku cinta padamu
And you're beautiful
Dan kau cantik
Now that the wait is over
Karena kini penantian tlah usai
And love has finally shown her my way
Dan cinta akhirnya tlah tunjukkan jalanku padanya
Marry me
Menikahlah denganku
Today and every day
Hari ini dan setiap hari
Marry me
Menikahlah denganku
If I ever get the nerve to say hello in this cafe
Andai kupunya nyali tuk menyapamu di kafe ini
Say you will
Katakanlah kau mau
Mm-hmm
Say you will
Katakanlah kau mau
Mm-hmm

Promise me
Berjanjilah padaku
You'll always be
Kau kan selalu
Happy by my side
Bahagia di sisiku
I promise to
Aku berjanji
Sing to you
Kan menyanyi untukmu
When all the music dies
Saat musik tlah musnah

And marry me
Dan menikahlah denganku
Today and everyday
Hari ini dan setiap hari
Marry me
Menikahlah denganku
If I ever get the nerve to say hello in this cafe
Andai kupunya nyali tuk menyapamu di kafe ini
Say you will
Katakanlah kau mau
Mm-hmm
Say you will
Katakanlah kau mau
Mm-hmm
Marry me
Menikahlah denganku
Mm-hmm

Ela meneteskan air mata saat ia mendengar  setiap lirik dari lagu yang dibawakan Bayu. "Oh Tuhan ini sangat indah." Jika Dira menangis karena patah hati, lain halnya dengan Ela ia menangis karena bahagia.

Musik berhenti begitupun dengan nyanyiannya. Bayu turun menghampiri Ela. Ditatapnya Ela penuh cinta dengan senyuman yang tidak pernah hilang dari bibirnya. Bahkan Bayu masih tidak menyadari jika didekatnya ada Dira wanita yang diam-diam mencintainya.

Bayu berlutut di hadapan Ela, diraihnya jemari tangan cantik Ela sambil berucap, "Kau tahu, selama bersamamu menjalani masa pacaran aku begitu bahagia. Kau wanita yang cantik, cerdas dan sangat baik. Bersamamu aku selalu merasa berharga. Aku tidak pandai merangkai kata, kau tahu itu dengan jelas. Tapi, hari ini Elena Larasati Wijaya maukah kau menikah denganku menjadi pendamping hidupku dan ibu dari anak-anak kita kelak sampai maut memisahkan kita."

Ela menangis. Tangisan bahagia. Ia begitu terenyuh dan tersentuh mendengar kata-kata Bayu. Tidak perduli jika mereka menjadi pusat perhatian orang yang juga berada di dalam restoran tersebut. Bahkan semua orang yang ada di dalam ruangan itu tegang menunggu jawaban Ela.

"Iya. Aku mau jadi istri dan ibu dari anak-anak kita kelak." Dengan penuh keyakinan Ela menjawabnya. Ditatapnya Bayu penuh cinta sambil tersenyum, "Aku mau jadi istrimu Bayu." Tegas Ela sekali lagi. 

Semua orang yang ada di dalam ruangan tampak bertepuk tangan. Namun tidak dengan Dira wajahnya pucat rasanya ia ingin mati saat itu juga. Seiring dengan genggamannya ditangan Azka semakin kuat. Azka yang menyadari itu bergerak ke sisi Dira semakin dekat. Menyentuh pundak sang gadis yang tengah terluka seakan memberinya kekuatan.

Bayu mengeluarkan cincin berlian, lalu memakaikannya kejari manis Ela. "Terima kasih sudah mau menerimaku. Aku mencintaimu Elena." ucap Bayu lembut sambil menatap Ela penuh cinta.

"Aku juga mencintaimu Bayu."

Bayu pun mencium bibir Elena lembut lalu memeluknya erat. Dan, saat itulah Bayu melihat Dira berdiri di hadapannya dengan air mata mengalir. Dira yang dipandangi Bayu tidak sanggup lagi menahannya. Ia bergegas keluar dari restoran itu. Diikuti Azka  dari belakang.

Bayu hanya bisa menatap kepergian Dira. Hatinya berkata "Dari sekian waktu kita tidak bertemu, mengapa hari ini kita harus bertemu? Dan dalam keadaan seperti ini? Aku kembali menyakitinya. "Maafkan aku."

Komentar

  1. 888casino Review 2021 | Play with Bonus | DRMCD
    888casino was 삼척 출장샵 founded in 2006 in London by the company of former 광주 출장샵 casino operator David Evans. After 양주 출장마사지 this success, 888casino 여수 출장샵 launched in 평택 출장마사지 2004.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10