PH- 11


Bangun tidur, tidur Bangun, bolak balik, hanya itu yang dilakukan Dira. "Arghhhh...." teriaknya, sambil mengacak rambutnya, sesekali memukuli kepalanya dengan bantal. "Hei aku kenapa?"

Diliriknya jam di dinding, sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. "Oh tidak, bagaimana ini. Aku harus tidur."

Sekali lagi Dira mencoba memejamkan matanya, tapi nihil semuanya sia-sia. "Sebenarnya aku kenapa? Kuharap ini bukan effect karena ciuman dokter Farhan."

Karena tidak bisa tidur, Dira memutuskan untuk berselancar didunia maya. Sebuah notife diinstagramnya masuk. Jantungnya dua kali berdetak lebih cepat. Ia melihat di sana disalah satu fotonya Bayu memberikan komentar. Membuat ia kembali teringat dan semakin merindukan pria itu.

"@Bayu_By: Maaf

Hati Dira mulai resah. "Maaf? Maaf untuk apa Bay?" Dira kembali melihat notife selanjutnya.

"@ Bayu : Miss u my best friend Nadi, selamanya kamu sahabatku yang terbaik."

Air mata menetes di kedua mata Dira. "Sejak dulu kau hanya menganggapku sahabat. Ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan. Harusnya aku tidak mengharapkanmu lagi. Nyatanya hatimu memang bukan untukku."

Dira merutuki kebodohannya yang masih mengharapkan Bayu, yang nyatanya tidak pernah mencintainya. Dira pun memutuskan membalas komentar Bayu di Instagramnya.

@Dira_Nadira : Kamu nggak salah aku yang salah. Nggak perlu minta maaf, aku yang salah @Bayu_By.

@Dira_Nadira : Ya sahabat selamanya @Bayu_By. Selamat atas pernikahanmu.

Dira menutup Akun Ignya lalu mencoba memejamkan mata disela isak tangisnya. "Kurasa aku tidak bisa bekerja besok." Dira memutuskan mengirimi pesan kepada Dina untuk memintakan izin pada kepala rumah sakit. "Aku benar- benar sakit, semua yang ada ditubuhku terasa sakit."

Matahari tepat berada di puncak saat Dira mulai membuka mata. Pusing dan kepalanya terasa berat. Dira menatap kearah jam di dinding, "Ternyata sudah jam satu siang. Pantas aku terbangun. Cacing diperutku sudah waktunya diberi makan." Dalam keadaan lemas dan pusing Dira bangun dari pembaringannya menuju toilet.

Dira menghela napas lelah, begitu melihat dirinya dibalik cermin. Terlihat kacau. Rambut yang berantakan, wajah yang bengkak. Mata sembab dan hidung memerah. Dira memejamkan matanya. Ingatannya melayang pada beberapa bulan lalu. "Ini persis saat Bayu menikah. Bahkan waktu telah berlalu, namun mengapa sakitnya masih sama?"

Ting... tong

Ting... tong

Dira ke luar tergesa-gesa dari toilet saat didengarnya suara bel yang terus berbunyi. "Siapa yang bertamu? sepertinya aku sedang tidak menunggu siapa-siapa?"

Dira berjalan menuju pintu tanpa sadar dengan tampilannya yang masih sangat berantakan.

Ceklek....

Suara pintu terbuka. Dira melihat seorang pria berdiri membelakanginya. Dahinya mengerut, "Apa aku ada janji dengan seorang pria? Sepertinya tidak?"

"Maaf anda siapa?" tanyanya heran.

Saat mendengar suara Dira, pria itu pun memutar balik tubuhnya kearah Dira. Dira terkejut saat melihat sosok di hadapannya saat ini.

"Do... dok... dokter Farhan?" terbata-bata Dira mengatakannya. Ia benar-benar tidak menyangka melihat Farhan berdiri di depan pintunya saat ini.

Farhan sendiri pun sangat terkejut saat melihat tampilan Dira yang sangat berbeda dengan yang biasa ia lihat. Tidak ada tampilan rapi sama sekali. Rambut berantakan, mata yang bengkak seperti habis menangis. Dahi Farhan mengerut saat dalam hati ia berkata, "Apa dia habis menangis?"

"Dokter Farhan, mengapa anda disini?"

Farhan masih diam dan menatap Dira penuh tanya. Sejujurnya ia  ingin tertawa sejak tadi. Namun, ia berusaha menahannya. Melihat tampilan Dira yang benar-benar sangat lucu dan berantakan jauh dari kesan Dokter Nadira yang rapi dan selalu tampil cantik seperti yang dikenalnya selama ini. Satu hal yang ia bisa lihat, sekalipun demikian gadis ini masih terlihat cantik.

Dira terdiam, ia mulai merasa risih saat dirasakannya Farhan menatapnya dengan intenz.

"Aku tidak percaya, kau begitu ingin bertemu denganku. Bahkan bisa dikatakan terburu-buru sampai kau tidak memperhatikan tampilanmu. Kurasa kau begitu merindukanku." Farhan ingin tertawa lebar saat ia melihat wajah terkejut Dira karena ucapannya.

Dira melirik tubuhnya dan..."argghhhhhh, sialan." Teriakan dan umpatan ke luar dari mulutnya begitu saja. Sambil bergegas masuk ke dalam kamarnya.

Farhan tidak bisa menahan tawanya saat melihat wajah panik dan mungkin sedikit malu dari Nadira.

Nadira menghilang dari hadapan Farhan tanpa mempersilahkan pria itu masuk. Namun, sepertinya, Farhan tidak perduli, dengan santainya ia masuk ke rumah Dira tanpa izin dari si pemilik rumah tersebut.

Nadira mengumpat dan merutuki keteledorannya hari ini. "Bagaimana bisa aku ke luar dengan penampilan seperti ini. Dan ngapain juga manusia datar itu datang kemari. Aku merasa tidak pernah mengundangnya?"

Dira tidak perduli dengan keberadaan Farhan. Bahkan ia berfikir jika mungkin pria itu telah pulang. Mengingat, ia bahkan tidak mempersilahkan pria itu masuk ke dalam rumahnya.

Mengabaikan kehadiran Farhan yang masih ada di luar tanpa ia sadari, Dira memutuskan mandi dan menghabiskan waktu berendam di Bathup. "Kurasa air dingin bisa mendingin kepalaku ini."

Dira mungkin tak tahu bahwa tamu tidak diundangnya itu saat ini masih ada di dalam rumahnya. Bahkan dengan santainya duduk sambil menonton dvd, seakan-akan ini adalah rumahnya sendiri. Farhan pun tidak mau ambil pusing dengan mencari Dira di kamarnya. Dia hanya menunggunya saja.

Dua jam lebih Dira menghabiskan waktunya untuk mandi. Rasa segar kini menyelimuti dirinya. Usai mandi dan berpakaian, iapun ke luar dari kamarnya.

Saat ia hendak ke dapur, samar-samar suara tv terdengar, "Siapa yang menyalakan tv?"

Dira berjalan ke ruang tengah, penasaran ingin tahu siapa yang ada di sana sekalipun ia cukup takut. Saat hendak melangkah ia berhenti sejenak, "Bagaimana jika orang yang disana adalah pencuri. Dan oh... tidak! Bukankah tadi aku tidak mengunci pintu. Jangankan mengunci bahkan menutup pintu pun tidak."

Rasa takut mulai merasuki Dira. Sesekali ia menyumpahi kedatangan tamu tidak diundangnya tadi. Dira berbalik ke dapur dan mengambil sebuah panci. "Kurasa ini cukup bagus dan bisa melukai orang itu."

Dira mengendap-ngendap agar suara langkahnya tidak terdengar. Hingga langkahnya semakin dekat ke arah yang dituju. Saat tepat di belakang pria tersebut sebuah pukulan dihantamkan tepat di kepala, tangan dan tubuh pria tersebut.

bugh... bugh... bughh.... suara pukulan terus berbunyi.

Hantaman dan pukulan diarahkan pada orang itu, tanpa melihat jika ternyata orang yang dipukulinya adalah tamu tidak diundangnya, siapa lagi jika bukan dokter Farhan.

"Awwww... awww...."  Farhan meringis kesakitan karena pukulan Dira. "Apa-apaan ini? Hentikan Nadira, kau bisa melukaiku."

Dira masih tidak bergeming pukulan terus ditujukan pada Farhan. "Dasar pencuri. Kau fikir bisa mencuri di rumahku. Brengsek dasar brengsek." Dira terus memaki dan masih tidak sadar siapa yang dipukulinya.

"Hentikan Nadira," ujar Farhan cukup keras namun diabaikan oleh Dira. "Dokter Nadira hentikan," teriak keras Farhan, sontak membuat Dira terkejut dan berhenti memukulnya.

Tatapan mata Dira menatap heran dan terkejut saat ia melihat jika di hadapannya kini adalah dokter Farhan.

"Ka... ka... kau! Apa yang kau lakukan di sini? Kau belum pulang?"

Farhan tidak menjawab pertanyaan Dira. Ia meringis kesakitan. Terlebih pukulan Dira tadi, tepat mengenai pelipisnya.

"Aku tidak menyangka jika kau juga termasuk wanita yang kuat dan sampai kapan kau diam disitu. Karena kau sudah memukulku hingga babak belur, sekarang tugasmu obati aku sampai sembuh."

Dira tidak menjawab apa pun, namun seakan mengerti dengan ucapan Farhan, ia bergegas ke kamarnya mengambil kotak obat.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk kembali dari kamar dengan kotak obat ditangannya. Dira duduk tepat di hadapan Farhan. Ia hanya diam, menatap wajah Farhan yang penuh lebam. Rasa bersalah terlihat jelas di balik wajahnya.
Tidak ingin berdiam diri, ia segera mengeluarkan kapas dan direndamnya ke dalam alkohol. Lalu diusapkan ke wajah Farhan yang terluka karena pukulannya tadi.

"Aww...." Ringis Farhan begitu Dira menyentuh wajahnya dengan kapas yang telah dibasahi alkohol. "Bisakah kau melakukannya dengan pelan? Jika tidak bisa, biar aku saja!"

"Dasar cerewet. Bisakah dokter diam dan tidak bergerak. Lagipula bagaimana caranya anda mengobati wajah sendiri, coba lihat tanganmu juga terluka, bukan?"

Farhan memandangi tangannya, ya Dira benar. Sudut bibirnya melengkung. Sebuah rencana terlintas di kepalanya. "Kau harus bertanggung jawab."

"Maksud dokter?" tanya Dira heran pada Farhan. Namun tangannya tetap mengobati luka di wajah Farhan.

"Coba lihat tampilanku sekarang, wajahku penuh luka, tanganku pun begitu. Apa kau lupa salah satu aset dokter adalah tangan. Aku bisa melaporkanmu kepolisi atas tuduhan penganiyaan dan kujamin kau pasti ditangkap, ditambah kau akan dipecat."

Dira diam dan berusaha mencerna perkataan Farhan. Tiba-tiba rasa takut menghantuinya.

"Ta... ta... tapi itu bukan salahku," terbata-bata Dira mengatakannya. "Aku tidak mengundangmu datang. Tidak menyuruhmu masuk. Kau sendiri yang datang ke sini. Dan masuk ke rumah orang tanpa persetujuan sang pemilik rumah. Jadi, jangan salahkan aku, jika aku menganggap anda adalah pencuri."

"Aku tidak butuh pembelaanmu. Bagaimanapun kau tetap salah. Dan harus bertanggung jawab atas kejadian ini."

Sejujurnya Dira malas berurusan dengan Farhan. Tapi, bagaimanapun ia turut andil dari terciptanya luka di tubuh Farhan. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum mulai berkata, "Baiklah, aku akan bertanggung jawab. Katakan apa yang kamu mau?" tanya Dira malas.

"Kau hanya perlu ada disisiku, menjadi tanganku. Seperti pentingnya kedua tanganku, kamu juga seperti itu bagiku."

Kedua mata Dira membulat, "Apa-apaan ini? Apa maksudnya?" Ia cukup terkejut akan perkataan Farhan.

Dira mengerucutkan bibirnya, menahan kesal didadanya. Begitupun Farhan, ia hanya memandangi Dira lekat. Entah mengapa sikap Dira yang seperti ini terlihat lucu dimatanya.

Gugup menghampiri Dira saat kedua matanya bertemu dengan kedua mata Farhan. Ditatap sedemikian rupa membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Satu hal yang Dira bisa tahu sekarang, jika Farhan memiliki bola mata yang indah. Berwana biru laut seperti pantulan langit biru. Terlihat jernih dan menenangkan. Saking tenangnya kau bisa tenggelam di dalamnya. 

Farhan semakin mendekatkan wajahnya. Bahkan kini, hidung mereka nyaris bersentuhan. Dira bingung, otaknya menyuruhnya berpaling, namun entah apa yang merasukinya. Ia hanya diam. Tidak menghindari Farhan. Entah apa yang merasukinya Dira memejamkan matanya. Farhan yang melihat itu, seketika langsung menempelkan bibirnya dibibir Dira. Tidak ada pergerakan dari Farhan. Ia hanya diam menunggu reaksi Dira. Melihat tidak ada penolakan dan tepisan dari Dira, ia semakin memperdalam ciumannya.

Farhan bergerak sangat lembut dan pelan. Seakan melampiaskan apa yang ia rasakan pada gadis tersebut. Sekalipun Dira tidak membalasnya. Ia juga tidak menolak ciuman itu. Ia sendiri tidak mengerti apa yang hatinya rasakan saat ini. Namun Dira tidak menampik, sudut hatinya merasakan sesuatu. Sekalipun ia masih bingung mengartikannya.

"Mulai hari ini kutegaskan padamu kamu milikku," ucap Farhan, begitu ia melepaskan ciumannya. Tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari Dira.

Dira tidak bergeming. Lagi-lagi ia hanya diam. Bibirnya terasa kaku dan sulit ia gerakkan. Ia ingin menolak, namun separuh hatinya melarangnya membantah ucapan Farhan.

Farhan kemudian berdiri dari posisinya. Membawa Dira ke dalam pelukannya.

"Aku tidak akan minta maaf atas ciuman tersebut. Kamu pasti bisa merasakannya." Farhan lalu melepas pelukannya, lali tersenyum padanya. "Istirahatlah. Aku akan pulang. Jika besok kau masih merasa sakit, kau tidak usah masuk. Sekarang kau punya aku. Aku akan selalu ada untukmu, setiap saat. Karena sejak dulu aku selalu menyanyangimu."

Farhan melepaskan pelukannya. Mengecup kening Dira dalam lalu berlalu meninggalkan Dira.

Sepeninggalan Farhan, Dira masih terdiam memikirkan semua hal yang terjadi antara dirinya dan Farhan hari ini. Dahi Dira mengerut saat ia menyadari ucapan Farhan,  Karena sejak dulu aku selalu menyanyangimu. "Apa maksud kata-katanya itu?"

Sejenak ia larut dengan fikirannya. Saat ia tersadar, Dira berteriak, "Owh tidak, apa yang kulakukan. Bagaimana bisa aku memberikan harapan pada Farhan sementara ada Azka. Bukankah aku meminta Azka menungguku. Apa yang harus kulakukan?"

@@@@

Bayu menatap Smartphonenya, sekali lagi dia membaca notife dari Ig Dira yang ditujukan padanya

@Dira_Nadira : Kamu gak salah aku yang salah. Kamu nggak perlu minta maaf, aku yang salah @Bayu_By.

@Dira_Nadira : Ya sahabat selamanya @Bayu_By. Selamat atas pernikahanmu.

Ada rasa tidak rela saat Dira mengatakan hal itu. Bayu berdiri menghadap ke jendela yang terdapat di ruangan kantornya yang berada dilantai dua puluh. Dari sini, ia bisa melihat dengan jelas pemandangan kota Jakarta yang terlihat sibuk. Khususnya dijam kerja seperti ini.

Entah berapa kali ia menghela napas. Hatinya terasa kosong. Ia merindukan sahabatnya. Bayu meringis dalam hati saat mengingat kata sahabat. Hatinya tergelitik, mulai meragukan hal tersebut. Apa Dira masih menganggapnya sahabat? Setelah, apa yang telah ia lakukan padanya. Usai pengakuan Dira, sudut hati Bayu mulai meragu. Ia mulai menyadari jika ada bagian dirinya yang ingin memiliki Nadira. Karena pada akhirnya Bayu sadar, pusat kehidupannya selama ini adalah Nadinya, Nadira.

Bayu bahkan tidak tahu apa ia harus menyesal atau tidak saat ini dengan pilihannya. Menikah adalah keinginannya. Baik Ela ataupun kedua orang tuanya tidak ada yang memaksa untuk melakukan hal tersebut.

Bayu menekan pelipisnya, kepalanya mulai terasa sakit. "Mengapa sekarang semakin terasa rumit dan menyesakkan. Harusnya aku merasa bahagia menikah dengan wanita yang kucintai. Tapi mengapa ini tidak seperti yang kuharapkan."

Merasa lelah berada di kantor, ia memutuskan ke luar. Ia butuh udara lebih untuk bernafas. Ditengah macetnya ibu kota, tanpa sadar ia melaju ke suatu tempat. Pada akhirnya hati dan fikirannya menuntunnya ke rumah Nadira.

Ting... tong

Suara bel membuat sang pemilik rumah buru-buru ke depan membuka pintunya. Saat pintu terbuka wanita itu kelihatan heran. Dilihatnya Bayu berdiri dihadapannya. Wajahnya tampak kusut dan tidak penuh semangat.

"Loh, nak Bayu? Tumben ke sini? Ada apa?" tanya mama Dira heran. Sejak menikah, Bayu memang tidak pernah kemari lagi. Terlebih saat ini, Dira tidak lagi tinggal di sini.

"Assalamualaikum tante, apa kabar? Apa boleh Bayu masuk?" ucap Bayu seraya mencium tangan Mama Dira. Wanita yang juga sudah dianggap ibunya sendiri.

"Waalaikumsalam wr.wb. Alhamdulillah tante baik nak. Tentu saja kamu boleh masuk. Ayo masuk sini!" jawab Diana ramah sambil mempersilahkan Bayu masuk ke dalam rumah.

Bayu pun masuk ke dalam rumah Dira. Ditatapnya kesekelilingnya namun hanya kesunyian yang dirasakannya. "Ada yang hilang." Lirih batinnya berkata.

"Om sama Dimas kemana tante?"

Diana tersenyum kearah Bayu, "Duduk nak, kamu mau minum apa?"

"Nggak usah tante...."

"Om lagi ke Jepang sedangkan Dimas lagi di kantor."

"Pantasan sunyi tan, terlebih nggak ada Dira."

Diana tersenyum lirih pada Bayu. Meskipun ia diam tapi sebagai ibu, ia bisa tahu jika hubungan antara anaknya dan Bayu tidak sesederhana yang orang fikirkan.

"Boleh Bayu ke kamar Dira tan?" Bayu memohon pada Diana.

Diana menatap iba pada sosok dihadapannya ini. Bayu yang ia lihat sekarang, terlihat sangat berbeda dengan Bayu yang dilihatnya saat bersama Dira.

Diana mengangguk, mengizinkan Bayu masuk ke kamar Dira. "Kalau ada yang kamu butuhkan, tante ada di taman belakang."

Bayu menangguk, seraya berkata "Terima kasih tante."

"Sama-sama."

Bayu beranjak ke kamar Dira, saat ia membuka pintu kamar tersebut, wangi strawbery lansung tercium. Sekalipun sudah berbulan-bulan pemiliknya pergi. Bayu semakin masuk ke dalam, sambil menatap seluruh bagian kamar Dira. Posisinya masih sama seperti saat terakhir dilihatnya Dira di kamar ini. Bayu memejamkan kedua matanya, bayangan Dira yang menangis di kamar ini dalam pelukan Ela kembali berputar di kepalanya.

Bayu melangkah ke arah tempat tidur. Membenamkan diri di atasnya. Pandangannya beralih saat ia melihat sebuah foto. Foto saat mereka tertawa bersama, "Dira, kembalilah," ucapnya lirih, penuh kerinduan.

Bayu tertidur di sana. Ia terbangun saat merasakan ponselnya bergetar. Sebuah nama dari wanita yang disayanginya.

"Assalamualaikum ma."

"Waalaikumsalam sayang. Kamu ada di rumah Dira ya? Mama lihat mobil kamu di sana."

"Iya Ma, ini sudah mau pulang."

"Ya sudah, mama tunggu dirumah ya."

"Iya ma, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Bayu menutup ponselnya. Menatap jam di dinding kamar Dira. Dua jam lebih ia tertidur di sana. Bayu hendak berdiri namun tatapannya beralih pada sebuah buku kecil diatas meja. Tanpa ragu Bayu membukanya. "Buku harian Dira," ujarnya pelan. Bayu lalu memasukkannya ke dalam tas. Tidak ada waktu jika ia membacanya disini.

"Kau sudah bangun?" Bayu menoleh ke arah suara yang menyapanya begitu ia ke luar dari kamar Dira. "Dimas..." ujar Bayu pelan.

"Mama sudah menyiapkan cemilan sore."

"Thanks Mas. Tapi, aku harus pulang. Mama sudah menunggu dirumah."

"Baiklah," jawab Dimas singkat, lalu berjalan meninggalkan Bayu dibelakanngnya.

Sejenak Bayu terdiam, ia bisa merasakan sikap Dimas, yang terkesan dingin padanya. Tidak ingin ambil pusing, ia memutuskan mengikuti Dimas dari belakang.

Dimas menghampiri mamanya, mengecup pipinya lembut sebelum ia duduk di gazebo rumah mereka. Yang disambut kekehan oleh Diana.

Begitu Bayu muncul, pandangannya pun beralih ke Bayu. Tersenyum ramah padanya. "Sudah bangun nak?"

"Iya tante, makasih sudah diizinkan tidur di kamar Dira. Kuharap Dira nggak marah gara-gara aku tidur di kamarnya?"

"Insya Allah nggak kok, tante yakin itu."

Bayu tersenyum pada Diana. "Aku pamit pulang tan, mau ke rumah mama."

Diana menganggup singkat. "Kamu harus bahagia Bayu," ujarnya lembut, sambil menatap mata Bayu sendu.

Bayu tersenyum tipis. Lalu meraih tangan Diana. "Doain Bayu tante."

"Insya Allah nak, tante pasti bakal doain kamu, Dira dan Ela. Semoga kalian bertiga hidup dengan bahagia."

Bayu tersenyum kecut. Bagaimanapun di sini ia bertindak layaknya seorang pengecut. Terlihat plin plan dan labil. Bayu hendak melangkah, tetapi ucapan Dimas menghentikannya.
"Lupakan Dira. Kalian sudah memilih jalan hidup masing-masing." Terdengar tegas saat Dimas mengatakannya. Bahkan wajahnya menatap lekat Bayu.

Bayu diam tidak menanggapi ucapan Dimas. Ia terus melangkah meninggalkan rumah Dira menuju rumahnya. Tempat di mana dirinya menghabiskan masa kecil.

Bayu masuk ke dalam rumahnya, senyum Mila ibunya lansung menyambut kedatangannya begitu ia masuk.

"Assalamualaikum ma," ucapnya sambil mencium pipi mamanya.

"Waalaikumsalam nak. Kamu sendiri? Istrimu mana?" Mila cukup heran melihat kedatangannya sendiri.

"Ela mungkin di rumah ma. Bayu sendiri kesini." Dahi Mila mengerut mendengar ucapan putranya. "Kalian tidak sedang bertengkar kan?"

"Kami baik-baik saja ma."

Mila terlihat meragukan jawaban putranya. Namun, ia memilih tidak ingin bertanya lebih jauh.

"Ma, Aku mau kekamar dulu."

Mila hanya mengangguk. Tidak ada perkataan apa pun keluar dari bibirnya lagi. Mila menatap punggung anaknya dari belakang yang perlahan menghilang. Entah mengapa, ia merasa sedih.

Bayu langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidur begitu tiba di kamarnya. Semuanya masih sama seperti saat ia tinggal di rumah ini dulu. Bayu menatap jendela kamarnya yang langsung berhadapan dengan balkon Dira. Lagi-lagi rindu itu dirasakannya. Sesaat Bayu terdiam, ia teringat buku harian Dira yang ia ambil tadi.

Bayu bangun dari posisinya dan mulai membuka tasnya. Diambilnya buku yang bersampul warna pink tersebut. Bayu mulai membuka halaman demi halaman.

01 01 15

Dear Diary

Ini adalah tulisan pertamaku di diary pemberian Azka ini. Dia memberikannya saat perayaan kelulusanku saat SMU. Namun tidak pernah kugunakan. Aku tidak begitu suka menulis, tapi Azka pernah berkata kelak buku ini berguna saat kamu tidak bisa mengutarakan isi hatimu, kau bisa mengatakannya disini. Dan kufikir sekarang apa yang dikatakannya benar kelak aku akan berterima kasih padanya.
Hari ini aku mulai menulis dan hal pertama yang ingin kukatakan adalah sepertinya aku jatuh cinta padanya.

08 01 15

Aku Cemburu melihat kedekatan Mereka.

15 01 15

Bayu.... mengapa menatap Ela seperti itu? Kau bahkan tidak pernah memandangku seperti itu. Aku terluka karena cemburu.

20 01 15

Bayu berbohong padaku. Aku mengajak Bayu ke toko buku. Memintanya menemaniku, nyatanya di sana kulihat ia berdua dengan Ela hendak menonton film. Aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Aku marah, sakit dan benci pada mereka.

25 01 15

Ela datang padaku mengatakan kalau mereka telah resmi berpacaran. Aku terluka, aku patah hati bahkan sebelum aku mengatakannya.

10 02 15

Aku melihat Bayu menyanyikan lagu untuk Ela. Andai saja lagu itu untukku aku pasti bahagia. Namun, sayangnya lagu itu bukan untukku. Arghhhhh.... mengapa aku begitu mudah menangis sekarang.

15 02 15

Lelah menghindar kuputuskan untuk menghadapinya, namun aku gagal. Aku berlari kepelukan kak Dimas. Separah ini kah sakit yang kurasakan hingga sering membuatku menangis bahkan tidak sadarkan diri. Aku bersyukur memiliki kak Dimas. Ia selalu membantuku dan menghiburku.

20 02 15

Aku bertemu Azka kembali. Aku bersyukur ia datang disaat hatiku rapuh. Azka banyak membantuku dan menghiburku.

15 03 15

Kami lulus kuliah, aku bahagia karena bisa menjadi spesialis dokter anak seperti mimpiku. Sementara Bayu mulai sibuk dengan perusahaan ayahnya begitupun Ela. Tapi, aku bersyukur setidaknya aku tidak perlu melihat atau mendengar kebahagiaan mereka.

20 03 15

Azka mengajakku makan malam disebuah restoran mewah. Namun aku menyesal datang kesana. Aku benar-benar patah hati dan terluka paling dalam. Dihadapanku pria yang kucintai melamar kekasihnya. Aku ingin pingsan. Namun, Azka terus berdiri dibelakangku menggengam tanganku erat. Aku kalah....

25 03 15

Bayu melamar Ela secara resmi. Saat semua orang tersenyum bahagia. Aku hanya bisa menatapnya dalam duka.

01 04 15

Aku tidak bisa melupakannya. Rasanya ingin mati saja. Bahkan dalam tidur aku menangis.

10 05 15

Aku kalah. Lusa mereka menikah. Bahkan aku kalah sebelum memulainya.

11 05 15

Sembunyi di apartemen kak Dimas, siapa sangka dia juga di sini. Entah apa yang membuatnya risau. Kami bertemu namun hanya kecanggungan yang terasa. Ah dia berkata aku teman yang baik, "Ya hanya teman". Sakit tentu saja, aku pergi tidak ingin disini lagi. Namun hatiku berkata setidaknya aku harus jujur. Kudatangi dia, tanpa malu aku mencium bibirnya sambil berkata "aku cinta kamu."

12 05 15

aku pergi meninggalkan hatiku di sini. Bayu andai kamu tahu aku mencintaimu jauh sebelum Ela mencintaimu atau kau mencintai Ela. Aku mencintaimu bahkan sejak aku tidak tahu apa itu cinta. Andai bisa waktu diulang, aku ingin mengatakannya lebih awal padamu. Tapi, andai aku menanyakannya apa yang akan kau jawab? Ketakutan terbesarku adalah kau menolakku bahkan kehilanganmu. Namun sekarang aku benar-benar kehilanganmu.

Sepertinya pergi dari sini adalah pilihan terbaik. Saat kau memutuskan memulai hidup barumu akupun memutuskan memulai hidup baruku jauh dari sisimu. Kuharap kau bahagia dengan pilihanmu.

BAYU ADITYA ERLANGGA ...." Aku mencintaimu sejak dulu dan mungkin selamanya."

Bayu menutup Diary Dira. Air matanya mengalir seakan ia merasakan luka hati yang Dira rasakan. Sekarang ia tahu, Dira pergi karenanya. Untuk mengobati hatinya yang terluka karenanya. Selama ini ia sudah menyakiti sahabatnya. Hubungannya dengan Elena sudah melukainya.

"Andai aku tahu, mungkin aku tidak akan memilih siapa pun. Ini salahku. Tapi, sekarang kau pergi setelah membuka hatiku yang tertutup oleh cinta Ela. Kau membuatku menyadari, jika aku pun mencintaimu. Bahkan mungkin jauh lebih besar dari cintaku ke Ela. Apa yang harus kulakukan sekarang Dira?"

Bayu menangis di kamarnya. Merenungi semua hal yang ia lalui. Merenungi hubungannya dengan Dira atau pun Elena. "Bisakah waktu diputar? setidaknya aku harus menemuinya dan mengatakan padanya jika cintanya tidak sepihak.

@@

Ela tertidur di ruang tengah, menunggu suaminya kembali. Namun, saat ia terbangun waktu sudah menunjukkan pukul satu dinihari, Bayu sama sekali belum menemukan tanda jika ia kembali. Bahkan ponselnya pun tidak aktif sejak tadi.
Ela merasa cemas saat suaminya belum juga pulang. "Kemana dia?" Gurat cemas tampak jelas diwajahnya.

Ela akhirnya merasa lega saat ia mendengar suara mobil Bayu memasuki pekarangan rumah mereka. Ela langsung berlari menuju pintu dan segera membukanya. Ia terkejut saat melihat wajah Bayu yang tampak kusut, dasi yang miring dan bau alkohol tercium dimulutnya.

Hatinya bertanya, "Sejak kapan Bayu mulai minum?"

"Kamu dari mana Mas?" tanyanya pada Bayu. Rasa cemas terdengar jelas dari nada suara Ela.

"Dari rumah mama," jawab Bayu singkat seraya berlalu meninggalkan Ela yang berdiri di depan pintu.

Bayu masuk ke dalam kamarnya. Dan tanpa berganti pakaian ia naik ke atas tempat tidur.

Ela hanya bisa diam saat melihat kondisi Bayu yang tidak seperti biasanya. Ia menghampiri Bayu, membuka pakaian yang melekat di tubuh suaminya, sepatu dan juga kaos kaki.

Usai mengganti pakaian Bayu, samar-samar ia mendengar suara igauan suaminya, "Maaf."

Ela bingung, "Maaf? Maaf untuk apa?"

Sekali lagi didengarnya suara igauan Bayu, "Dira."

Ela terkejut, mendengar Bayu menyebut nama Dira. Ada rasa tidak suka dihatinya. Ia merasa cemburu. "Mengapa kau meminta maaf padanya. Apa yang sudah kamu perbuat pada Dira?"

Ela menatap wajah suaminya lekat. "Bahkan pernikahan kita baru hampir setahun, namun mengapa aku merasa kau tidak bahagia?" Air mata pun menetes dipipinya seiring hatinya yang merasa bimbang dan cemburu.

"Ela," gumam Bayu dalam tidurnya. Ela menatap Bayu saat namanya disebut. "Aku disini," ucapnya lirih.

"Ela... maaf." Sekali lagi Bayu berucap dalam keadaan tidak sadar.

Ela bertanya dalam hati, "Mengapa kau meminta maaf pada kami berdua? Kesalahan apa yang kamu perbuat hingga mengatakan maaf? Dan mengapa kau tampak begitu terluka?"

Ela naik ke tempat tidur, berbaring di sisi Bayu. Memeluk tubuh Bayu erat. Setetes air mata mengalir membasahi wajahnya. "Bahkan, jika kau membuat sebuah kesalahan fatal aku akan memaafkanmu karena aku terlalu mencintaimu."

@@

Suara tawa membuat Bayu terbangun. Ia menoleh kesisi kanan dirinya namun tidak ditemukannya Ela disana.

Bayu pun beranjak dari posisinya. Ringisan langsung ke luar dari bibirnya begitu ia hendak beranjak dari tempat tidur. Kepalanya terasa sakit hingga membuatnya pusing. Tak ia hiraukan, Bayu  berjalan keluar kamar. Sedikit terhuyung, mengingat sisa alkohol semalam masih terasa. Begitu tiba di ruang tengah dilihatnya Azka disana sedang tertawa bersama Istrinya.

Azka dan Ela terdiam saat melihat Bayu berdiri didekat sofa di ruangan itu. Ela tersenyum pada Bayu. "Kamu sudah bangun mas, mau makan sekarang?"

"Nanti saja, aku belum lapar." Bayu lalu menoleh ke arah Azka, "Sejak kapan kamu di sini?"

"Sejak tadi pagi. Aku merindukan sepupuku," jawab Azka singkat.

Bayu hanya diam tidak menanggapi jawaban Azka. Entah mengapa hatinya merasa tidak suka dengan keberadaan Azka di sini. Bayu teringat dengan diary Dira,"Bukankah itu pemberian Azka? Seberapa dekat mereka? Adakah yang tidak kuketahui?" Semua pertanyaan itu berputar dikepalanya. Namun, tidak ada satupun yang diucapkannya ke luar.

"Azka kemari mengantarkan dokumen dari papa mas. Dan juga ia ingin meminta dukungan kita," ucap Ela semangat.

"Dukungan? Dukungan seperti apa maksudmu?" Bayu terlihat tidak mengerti dengan perkataan istrinya.

Ela tersenyum pada Bayu. Ia berdiri dari posisinya dan duduk disamping suaminya. Ela menyandarkan kepalanya dibahu Bayu sambil menggenggam jemarinya.

"Azka datang meminta dukungan kita untuk membantunya, agar Dira mau segera menerima lamarannya."

Duar.....

Bayu menegang sesaat Ela mengatakan maksud ucapannya.

"Papa dan Mama sudah setuju bahkan mamanya Azka malah senang jika Dira jadi menantunya," sambung Ela.

Ela bisa merasakan tubuh Bayu yang menegang karena ucapannya. Namun, ia berusaha tenang seakan-akan tidak ada yang janggal dengan sikap suaminya.

"Itu bukan urusanku, semuanya tergantung Dira," jawab Bayu sinis.

"Ayolah Bay, kamu kan sahabat Dira. Bantu aku agar Dira mau menjawab lamaranku segera." Kali ini Azka yang mulai meminta langsung dukungan pada Bayu.

"Apa kau yakin Dira akan menerimamu?" ucap Bayu sinis, namun bisa ditangkap jelas oleh Ela dan Azka.

Azka tersenyum pada Bayu, "Tentu saja aku yakin, karena Dira sendiri yang meminta aku menunggunya," jawab Azka santai.

Bayu tertegun. Urat-urat diwajahnya terlihat, tangannya mengepal dan hal itu tidak luput dari penglihatan Ela. Tidak dapat dipungkirinya lagi Bayu marah dan cemburu.

Ela menatap sendu suaminya. Gurat kesedihan terukir jelas diwajahnya. Bahkan kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Melihat reaksi Bayu ia bisa menyimpulkan, jika suaminya telah membagi hatinya.

"Kamu tidak perlu meminta dukunganku. Karena aku tidak akan pernah membantumu. Apa pun yang diputuskan Dira aku akan mendukungnya."

Bayu berdiri dari posisinya meninggalkan Ela dan Azka. Perlahan air mata menetes di wajah Ela. Azka yang melihat itu hanya bisa diam seraya mendekati Ela dan memeluknya.

"Ka... sebenarnya ada apa antara Dira dan Bayu? Aku takut?" Lirih Ela mengatakannya. Tidak kuasa menahan tangisnya.

Azka terdiam, sambil mengusap sayang rambut sepupunya yang sudah ia anggap adik kandungnya sendiri. "Percayalah tidak ada apa-apa diantara mereka."

Azka berusaha menenangkan Ela, sekalipun ia tahu jika Bayu sepertinya mulai menyukai Dira.

Azka berfikir dalam diam, tidak ada gunanya menunggu. "Aku harus bertindak, secepatnya aku akan ke Makasaar meminta kepastian Dira. Tapi, bagaimana jika Dira menolak? Tidak, kurasa Dira tidak akan menolakku." Azka bersikap optimis, jika Dira akan menerimanya.

@@@

Dira mulai kembali bekerja, suasana hatinya pun mulai membaik. Dina adalah orang yang paling bahagia menyambut kedatangan Dira.

"Kamu sudah baikan?" tanya Dina. Dira mengangguk sambil tersenyum pada Dina.

"Syukurlah itu melegakan," ujarnya. "Sekarang kami akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya kau menyelamatkan kami semua dari amukan Dokter Farhan."

Dira menatap Dina heran, tidak mengerti apa yang Dina katakan. "Apa hubungannya aku masuk kerja atau tidak dengan dokter Farhan?"

"Kau tahu, sejak kau tidak masuk, Dokter Farhan sering sekali ke ruanganmu. Ada-ada saja yang dikoreksinya inilah itulah, belum lagi ia sering marah-marah di ruangannya. Bahkan Hilda kewalahan menahan sikap dokter Farhan. Kurasa dokter Farhan merindukanmu."

Dira menatap Dina horor. "Berhenti berkata yang tidak masuk akal."

"Apanya yang tidak masuk akal? Apa yang kukatakan adalah kebenaran." Yakin Dina saat mengatakannya. "Dan coba lihat di sana," tunjuk Dina pada seseorang. Dira meneoleh ke arah yang ditunjuk Dina, dari tempatnya ia bisa melihat Farhan tengah tersenyum padanya.

Dira tiba-tiba saja merasa gugup. "Bahkan wajahmu memerah hanya karena senyuman dokter Farhan," ucap Dina sambil tersenyum menggoda.

Farhan berjalan mendekat ke arah Dira. "Sepertinya ia hendak kemari?" bisik Dina lagi ditelinga Dira. Dira menoleh ke arah Farhan. Dilihatnya Farhan memang berjalan mendekatinya.
"Owh, tidak mengapa dia kemari? Apa yang akan dilakukannya?"

Farhan tersenyum dan menatap lembut pada Dira."Kau sudah masuk, baguslah. Kau ingat ucapanku kemarin bukan. Jadi, hari ini kau harus menuruti semua perintahku."

Dira tidak sempat berkata, saat Farhan sudah menarik tangannya meninggalkan Dina dan perawat yang bertanya ada apa diantara mereka.

Farhan menarik Dira dan membawanya kedalam ruangannya. Hilda menatap heran dan penuh tanya pada Dira saat ia melihat atasannya datang dalam keadaan menyeret Dira. Namun hanya gelengan yang didapati dari Dira.

Farhan menutup pintu saat ia dan Dira tiba di ruangannya. "Bukankah kukatakan kau adalah tanganku dan kau harus selalu ada disisiku, seperti sekarang."Farhan menarik Dira dalam pelukannya.

"Aku merindukanmu Nadira," ucap Farhan seraya mencium Bibir Nadira.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10