PH -05

Dimas menatap wajah sayu sang adik. Mata indahnya tidak lagi menampatkan sinar. Adiknya benar-benar jatuh dalam luka yang dalam. Cinta... satu kata yang sekali saja datang padamu, jika kau tidak siap, kau akan benar-benar jatuh ke dalamnya hingga ke dasar. Di mana di sana ada dua hal yang menantimu luka dan bahagia. Jika kau tidak siap dengan kecewa, luka akan menggerogotimu dengan hebat seperti penyakit kanker yang sangat sulit disembuhkan. Tapi ada kalanya luka juga mengajarkan kita jauh lebih dewasa.

Dimas mengusap pipi Dira dengan lembut, ditatapnya wajah sang adik. "Maafkan kakak! Ini semua salahku. Harusnya kakak jauh lebih peduli padamu!"

"Gimana Mas, adikmu belum sadar?" Narendra ayah Dira masuk ke ruangan putranya. Wajahnya terlihat khawatir. Suaranya terdengar tegas namun tersirat rasa khawatir yang dalam pada putrinya.

"Seperti ayah lihat ia masih tidur." Pelan Dimas mengatakannya. Ada rasa sesak di dadanya melihat sang adik tercinta terus-menerus menangis.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada adikmu?"

"Dimas nggak tahu yah. Kalaupun Dimas tahu, aku nggak bakal bilang keayah tanpa izin Dira. Tapi ayah tenang saja, Dimas akan selalu menjaga dan memastikan jika Dira akan baik-baik saja."

Narendra mendekati Dira yang tertidur di atas tempat tidur yang memang terdapat di ruangan Dimas. Ruangan khusus yang terdapat di dalam kantornya. Yang sekali-kali akan ia gunakan untuk istirahat jika lembur ataupun lelah menderanya.

Narendra mengusap kepala Dira, membelai lembut pipinya. Membuat sang putri menggeliat. Matanya yang terpejam mulai bergoyang saat merasakan usapan lembut ayahnya. Dimas dan Narendra menatap Dira yang sepertinya sudah mulai sadar.

Dira membuka matanya, hal yang pertama yang ia lihat adalah wajah ayah dan kakaknya yang terlihat cemas.

"Ayah... kakak," panggilnya pelan.

Narendra menggenggam jemari sang putri. Menatap putrinya khawatir. "Kamu kenapa nak? ayah sangat khawatir padamu?"

"Maafkan Dira yah. Dira bersikap dan bertindak seperti anak kecil hari ini."

Dimas menggelang. Begitupun dengan Narendra. "Sudah, kamu tidak usah minta maaf, paling tidak ayah bersyukur kamu sudah sadar. Kamu tahu, jantung ayah tadi hampir saja lepas, saat kamu tiba-tiba datang dan pingsan dipelukan kakakmu."

Dira merasa bersalah pada Ayahnya karena telah membuatnya khwatir. "Maafkan Dira yah!" sekali lagi ucapnya.

Narendra memeluk putrinya penuh kasih sayang, sesekali dibelai dan diusapnya kepala Dira. "Apa pun masalahnmu nak, jika kamu sudah tidak kuat menahannya sendiri, kamu punya ayah, ibu, dan Dimas. Tempatmu untuk berbagi jangan menyimpannya sendiri. Kami keluargamu dan akan selalu ada untukmu."

Dira menangis sesenggukan dipelukan ayahnya. Sungguh ia merasa menyesal dengan sikapnya tadi. Hingga membuat ayah dan kakaknya cemas. Bahkan mungkin malu.

"Istirahatlah, ayah akan melanjutkan meeting yang tertunda tadi. Dan kamu Dimas, temani dan jaga adikmu disini. Ia jauh lebih membutuhkanmu daripada pekerjaanmu. Biar ayah yang menanganinya. Jika ada apa-apa hubungi ayah."

"Iya, ayah tenang saja. Dimas pasti akan menjaga Dira dengan baik."

Narendra pun berdiri dari posisinya. Hendak ke luar dari ruangan Dimas. Namun, sebelum melangkah ia kembali menoleh pada anaknya. "Dira jangan menangis lagi. Kau tahu nak, simpanlah air matamu buat ayah dan ibumu ini, jika kelak kami dipanggil Tuhan."

Duar....

Ucapan Ayahnya benar-benar membuat Dira merasa
bersalah. Rasa sesal menyelimutinya. Ia merasa menyesal membuat ayahnya khawatir. Dira menunduk menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata.

"Satu lagi, ayah harap jangan beritahu ibu kalian. Ayah tidak mau membuatnya ikut khawatir. Istirahatlah...." ucap Narendra sekali lagi lalu berlalu ke luar dari ruangan Dimas.

Dira pun menatap punggung ayahnya yang menghilang dibalik pintu. Entah mengapa saat ini Dira merasa sangat merindukan ayahnya lagi.

Usai ayahnya pergi, Dimas kembali mendekati Dira. Digenggamnya tangan adiknya itu. "Jadi katakan pada kakak, apa yang membuatmu histeris seperti tadi? Apa karena Bayu lagi?"

Dira hanya diam. Menunduk sambil menangis tersedu. Dimas membuang napas lelah, sedikit kesal akan sikap adiknya ini. Terlalu cengeng dan lemah.

"Ada apa lagi dengan Bayu? Kamu sudah bilang suka sama dia? Apa dia menolakmu?" Tidak sabaran Dimas mengatakannya.

Dira mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Wajahnya basah karena air mata. Hingga membuat Dimas ingin menghajar Bayu. Seumur hidupnya, tidak sekalipun ia pernah membuat adiknya menangis seperti ini.

"Aku ingin menyerah kak." Lirih Dira mengatakannya. Air matanya terus mengalir tiada henti. Namun ia biarkan begitu saja.

"Menyerah?" Tidak percaya Dimas mendengarnya. "Tapi, kenapa?"

"Mereka saling mencintai kak." Terasa sesak Dira mengatakannya.

"Apa kamu yakin?" tanya Dimas lagi. Ia tahu dengan jelas bagaimana Dira begitu menyukai Bayu.

Dira mengangguk lemah. "Kakak mau kan bantu Dira?" Menatap Dimas penuh permohonan.

"Tentu saja. Kakak akan selalu membantumu. Tapi, kakak nggak mau lihat kamu, menangis seperti itu lagi. Kakak mau melihatmu bahagia!"

Dira mengangguk, sembari mengusap matanya yang basah. "Iya. Dira janji nggak akan nangis lagi kak. Tapi, kakak janji kan nggak akan ninggalin Dira juga."

"Gadis bodoh. Mana mungkin kakak membiarkanmu sendiri. Kakak nggak akan pernah pacaran bahkan menikah sebelum memastikan adikku yang manja ini bahagia."

Seketika itu pula Dira langsung memeluk kakaknya erat. Membenamkan wajahnya di dada Dimas. "Terima kasih kak. Dira sayang kakak."

"Kakak juga sayang kamu Dira," seru Dimas sambil mencium kening adiknya.

@@@

Suasana makan malam dikediaman Erlangga Abimanyu dan Karmila orang tua Bayu berlangsung hangat. Sesekali mereka bercanda dan saling mengejek satu sama lainnya. Sekalipun hanya bertiga, tidak mengurangi keakraban mereka. Maklum saja Bayu adalah anak tunggal.

Karmila ibu Bayu sebenarnya begitu menginginkan seorang anak lagi namun sayang, Tuhan mempercayakan padanya hanya seorang anak saja, yaitu Bayu. Walau demikian Karmila tidak pernah bersedih. Setidaknya ia bersyukur Tuhan masih memberikannya kepercayaan memiliki Bayu.

Erlangga dan Mila sangat bahagia memiliki anak seperti Bayu. Selain tampan, Bayu juga sangat ramah dan baik pada setiap orang. Ditambah lagi termasuk anak yang pandai di kampusnya. Kekayaan dan nama besar Erlangga Abimanyu tidak membuatnya menjadi anak yang sombong.

Di kampus pun begitu, Bayu dikenal sebagai anak yang supel, ramah dan mudah bergaul. Ia juga bukan pria yang sombong dan tidak memilih teman dalam bergaul. Walau terkadang ada beberapa temannya yang berandalan, Bayu tetap mau berteman dengan mereka. Karena Bayu bisa menempatkan dirinya dengan baik saat bergaul dengan mereka.

Untuk urusan wanita jangan ditanya lagi. Bayu termasuk pria yang paling diinginkan. Untuk dijadikan pacar bahkan pendamping hidup. Baik bagi setiap wanita yang mengenalnya ataupun yang baru melihatnya sekali. Bahkan beberapa gadis di kampusnya pernah menyatakan cinta. Namun, Bayu sama sekali menolaknya. Dihati Bayu, hanya ada Elena dan Dira. Tapi bedanya, Bayu menjadikan Ela sebagai wanitanya sedangkan Dira sebagai sahabat abadinya. Walau demikian Bayu tetap menyanyangi dan peduli pada Dira meski sekarang ia telah menjadi kekasih Ela.

"Bagaimana kuliahmu?" tanya Erlangga disela makan malam mereka pada putranya.

"Alhamdulillah lancar yah. Sekarang Bayu sudah mau siap-siap sidang."

"Bagus kalau begitu. Saat kau selesai nanti ayah mau kamu langsung meneruskan perusahaan. Ayah sudah lelah bekerja. Sekarang ayah hanya mau menikmati masa tua dengan ibumu."

"Iya ayah, aku pasti akan melakukannya. Ayah tenang saja. Aku pasti akan membuat perusahaan lebih maju kedepannya." Percaya diri Bayu mengatakannya. Dan itu tidak diragukan oleh Erlangga.

"Mas Bay, hubungannmu dengan Ela bagaimana? Kalian serius?" Mila ibu Bayu buka suara.

"Iya. Bayu serius bu, insya Allah jika kuliah Ela selesai, Bayu akan segera menikahinya."

"Bagus kalau begitu. Nggak macarin anak orang terlalu lama. Ibu sudah nggak sabar menimang cucu darimu." Seketika Bayu tersenyum ke arah ibunya.

"Owh iya, Ibu kok nggak pernah liat Dira. Apa Diranya masih sakit?"

Sedikit terkejut Bayu mendengarnya. Saat sang ibu mengatakan Dira sakit. "Dira baik bu, tadi siang kami bahkan makan bersama."

"Kalian nggak lagi bertengkar kan?" tanya Erlangga, tatapannya lurus ke arah Bayu.

"Nggak yah. Kami baik-baik saja." Bayu meringis dalam hati. Entah mengapa ucapannya ini terasa hambar. Mengingat sikap Dira beberapa minggu ini tidak seperti biasanya. Bahkan gadis itu cenderung menjauhinya.

"Syukurlah, ayah lega jika kalian tidak ada masalah."

"Memangnya ada apa Mas, sampai kamu bertanya seperti itu pada Bayu?"

Sepertinya Mila sedikit Heran pada pertanyaan suaminya itu. Sejujurnya Mila juga merasa ada yang janggal pada hubungan persahabatan Dira dan Bayu. Kadang Mila merasa Dira seperti menghindar dari Bayu bahkan pada dirinya. Dira seperti membatasi pertemuan dengan keluarga mereka. Bahkan beberapa kali acara di rumahnya gadis itu tidak pernah muncul. Saat Diana ditanya ke mana putrinya, sang ibu hanya mengatakan anaknya sedang tidak enak badan. "Apa mungkin gadis itu sedang sakit saat ini?"

"Ayah hanya khawatir kalian bertengkar. Tadi siang Dira datang ke kantor ayahnya. Saat kami sedang meeting, tiba-tiba saja Dira masuk ke ruang meeting sambil menangis lalu pingsan. Ayah hanya dengar Dira berkata menyerah, entah apa maksudnya?"

"Deg...."

Bayu merasa jantungnya akan lepas karena terkejut. Dira menangis? Dira pingsan? Tapi kenapa? Lalu apa maksud Dira mengatakan menyerah? Menyerah akan apa?

"Ayah sempat berfikir kalian bertengkar tapi setelah bertanya pada Narendra ia bilang Dira hanya kelelahan. Tadinya ayah ragu. Tapi, kamu bilang kalian baik-baik saja jadi ayah cukup lega sekarang. Kamu tahukan ayah dan papanya Dira itu sahabat baik begitupun ibumu dan ibunya Dira. Ayah nggak mau jika tangisan, sampai Dira pingsan tadi karena kamu. Ayah lega saat mendengar ucapanmu tadi."

Mila mendengarkan dengan baik ucapan suaminya. Mila merasa ada yang aneh. Dia mulai mengingat sikap Dira sejak malam dimana pengajian berlangsung di kediamannya, saat itu Bayu resmi mengenalkan Elena sebagai kekasihnya, bukan lagi sebagai sahabat. Mila ingat jelas wajah pucat Dira. Batinnya pun bertanya "Apa Dira mencintai Bayu?"

"Bagaimana tanggapan Dira saat mengetahui hubungan kamu dan Elena?" tanya Mila pada putranya. Wajahnya terlihat penasaran menanti jawaban dari sang putra.

Bayu yang ditanya, merasa bingung. Tidak tahu harus menjawab apa. Bayu diam, terlihat berfikir jika selama ini sepertinya Dira tidak pernah mengucapkan kata selamat atau aku mendukung kalian. Gadis itu lebih banyak diam. Bahkan sekarang terkesan menjauhinya.

"Baik bu. Dira mendukung hubungan kami." Ragu-ragu Bayu mengatakannya. Seakan apa yang ia katakan tidak sesuai dengan kenyataannya. Terbersit pertanyaan dalam hatinya, "Apa Dira tidak suka aku bersama Ela?"

"Syukurlah jika Dira mendukungmu. Tadinya ibu khawtir Dira menyukaimu." Rasa lega akhirnya terlihat diwajahnya.

Degg.....

Jantung Bayu berdetak lebih kencang. "Dira menyukaiku? Itu tidak mungkin? Sejak dulu kami hanya bersahabat dan tidak lebih, paling jauh aku hanya menganggapnya sebagai adik bu?"

"Hati wanita siapa yang tahu nak," sela ibunya lagi. Sesekali ia menatap putranya.

Tak ada jawaban yang ke luar dari bibirnya lagi. Bayu hanya diam. Memilih menghabiskan makan malamnya, enggan melanjutkan pembicaraan mereka.

Usai makan malam, Bayu memutuskan masuk ke dalam kamarnya. Berbaring di atas tempat tidur. Sambil menekan pelipisnya yang terasa sakit. Perkataan sang mama membuatnya tidak bisa tidur dan tidak tenang. Hati dan otaknya mulai bertanya apa Dira menyukainya? Jika iya, itu artinya ia telah menyakiti Dira?

"Argghhhhh," teriak Bayu kesal pada dirinya.

Lagi-lagi ia memijit pelipisnya. Kepalanya terasa berat. Tak urung Bayu mengacak - ngacak rambutnya berharap pusing yang ia derita bisa segera hilang.

Kesal tak bisa tidur, Bayu memilih bangun. Turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar menuju balkon kamarnya.

Udar malam ini terasa dingin. Bahkan Bayu merasa sekujur tubuhnya seakan ditusuk. Pandangannya jatuh menuju arah seberang tepat di mana kamar Dira berada. Dan, pada akhirnya rasa rindu kembali menderanya. Ia rindu pada senyuman sahabatnya itu.

Bayu menatap sendu pada kamar yang sejak tadi hanya gelap yang terlihat. Ia berharap, dari balik kamar sana, gadis yang ia rindukan muncul. "Kuharap itu tidak benar Dir. Karena jika benar aku bahkan tak tahu harus berbuat apa?"

@@@

Elena gelisah di dalam kamarnya. Sejak tadi matanya tak mau tertutup. "Menyebalkan," kesal ia mengatakannya. Ia memutuskan bangun dan berjalan menuju balkon kamarnya.

Saat berdiri di Balkon, seketika Ela memeluk dirinya. Dingin langsung menyapa tubuhnya. "Malam yang sunyi dan juga dingin."

"Ela kamu belum tidur nak?" Dari balik pintu kamarnya, sang mama berteriak memanggilnya.

"Sebentar lagi ma. Ela masih belum ngantuk."

"Jangan terlalu lama di luar sayang. Cuaca sangat dingin malam ini. Nggak baik buat kesehatanmu."

"Iya Ma." Hanya itu yang Ela katakan hingga tak terdengar lagi balasan dari mamanya.

Malam semakin larut, dingin semakin mencekam. Ela mulai menggigil. Tak tahan lagi, ia putuskan untuk kembali ke kamar. Namun, saat hendak berbalik masuk ke dalam kamarnya, ia melihat Bayu berdiri di balkon kamarnya. Seketika senyum terbit di bibirnya. Setidaknya malam yang dingin ini akan terasa hangat. Ia pun mengurungkan niatnya. Memilih kembali berdiri di balkon kamarnya. "Apa Bayu juga tidak bisa tidur? Mengapa ia tidak menghubungiku saja?"

Ela ingin berteriak, memanggil sang kekasih. Namun urung ia lakukan. Berteriak tengah malam bukanlah tindakan yang bagus. Bisa saja tetangga sekitar rumahnya mungkin akan merasa terganggu. Walaupun ia meragukan itu. Ela berlari masuk ke dalam kamarnya hendak mengambil ponselnya. Tapi, belum juga ia masuk, ia terhenti. Ia menyadari sesuatu. Sejak tadi di sana, Bayu hanya diam. Tapi, tatapan pemuda itu lurus kesatu tempat. "Nadira." Ela menyebut nama sang gadis. Satu-satunya wanita yang diam-diam ia cemburui.

"Mengapa kamu menatap kamar Dira seperti itu? Bahkan dari sini aku bisa melihatnya Bay. Caramu menatap seakan-akan kau ingin berteriak dan berkata kamu merindukannya?"

Ela tidak beralih dari posisinya. Ia berdiri tanpa suara bak patung. Ada gurat kesedihan terlihat dari wajahnya. Matanya tidak pernah lepas dari Bayu. Bahkan, hingga Bayu masuk ke dalam kamarnya tidak sekalipun ia menoleh ke arahnya.
Cairan bening mulai mengalir dibalik matanya. "Mengapa aku merasa sesak begini," ujarnya lirih sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Aku cemburu?"

Malam semakin larut, seiring rasa ngantuk, ditambah kepalanya terasa sakit akibat menangis. Ela memutuskan masuk ke dalam kamar. Membenamkan diri di atas tempat tidurnya. Berharap, pagi segera tiba. Berharap jika ini hanyalah mimpi.

@@

Suara burung terdengar berkicau dari balik kamar. Perlahan Ela mulai membuka matanya.

"Aww...." Ringisnya menahan sakit di kepalanya. "Sepertinya aku menangis terlalu banyak semalam. Dan itu bukan mimpi."

Dengan malas Ela turun dari tempat tidurnya. Berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi, hendak membersihkan tubuhnya.

"Kurasa, mama akan curiga melihat mataku ini." Keluh pada dirinya sendiri, begitu melihat wajah dibalik cermin terlihat sangat kacau. "Harusnya semalam, aku tidak perlu menangis. Bayu tidak mungkin menyukai Dira. Aku yakin ia mencintaiku." Berusaha menyakinkan dirinya sendiri, jika apa yang ia lihat semalam hanyalah kekeliruan semata.

Ela berjalan ke luar kamar, usai berbenah diri. Jika bukan karena janjinya bertemu dosen pagi ini, ia pasti tak ingin ke luar dari kamar. Sayangnya, ia tidak bisa menghindar. Karena dosen yang satu ini adalah salah satu pembimbing skripsinya yang sangat sulit ia temui. Mau tak mau, ia terpaksa harus ke luar sekalipun dengan wajah seperti ini.

"Pagi Ma!Pagi pa." Sapanya begitu tiba di meja makan. Di sana sudah ada mama dan papanya menunggu.

"Pagi juga sayang." Jawab keduanya serempak.
Ela berjalan menghampiri mama, lalu papanya, mengecup pipi mereka bergantian.

"Mata kamu kenapa?" Terdengar cemas saat Alena mamanya mengatakannya.

"Hanya lelah ma. Semalam begadang." Ela meringis dalam hati karena terpaksa ia harus berbohong.

Ela mengambil Roti yang telah diolesi selai strawberry. Terburu-buru ia memakannya. "Makan yang pelan sayang, anak gadis kok makannya begitu."

"Ela buru-buru ma. Hari ini ada janji mau ketemu dosen jam 08.00 nanti. Sekarang sudah jam 07.15 Ela takut terjebak macet."

"Memang kamu tidur jam berapa tadi malam sampai bangun kesiangan begini? Dan, Bayu mana? Tumben nggak jemput kamu?"

Ela sedikit terkejut saat nama Bayu disebut oleh mamanya. Namun, sebisa mungkin ia menormalkan wajahnya. "Aku nggak liat jam Ma. Kalau soal Bayu, hari ini memang nggak jemput Ela. Kemarin sih katanya mau diajakin sama om Erlangga ke kantornya."

Alena mengangguk singkat. "Sepertinya mas Erlangga sudah mempersiapkan Bayu untuk terjun langsung ke perusahaannya."

"Gimana dengan kamu?" Wijaya ayah Elena akhirnya buka suara. "Apa kamu sudah siap bergabung ke perusahaan papa?"

"Insya Allah pa. Ela siap." Yakin Ela mengatakannya. Sejak dulu, ia sudah mempersiapkan dirinya untuk membantu sang ayah. Bagaimanapun, ia memiliki tanggung jawab sebagai anak tunggal.

"Permisi Bu! Ada tamu di depan," ujar Bi Tati, pembantu rumah tangga mereka.

Lena dan Ela menoleh ke arahnya. Mengernyit bingung siapa yang bertamu sepagi ini. "Siapa bi?" tanya Lena, sambil mengoles roti dengan selai coklat untuk suaminya.

"Itu bu, Mas Bayu yang datang."

Uhukkkkk

Seketika Ela tersedak. "Bukankah Bayu bilang nggak bisa jemput?" Cukup terkejut, tapi ia tak bisa pungkiri sudut hatinya yang dalam merasa sangat senang.

"Kamu kok diam La, di suruh masuk dong mas Bayunya." Tukas Lena membuat sang putri tersenyum kecut. Sejujurnya ia merasa masih sedikit ragu dan bingung. Kejadian semalam masih menganggunya.

"Bi, suruh mas Bayu kemari ya," pinta Ela akhirnya.

"Baik non." Bi Tati lalu berjalan ke arah ruang tamu, di mana Bayu berada. Meminta si tamu untuk masuk ke ruang makan sesuai perintah sang majikan.

"Assalamualaikum om, tante. Selamat pagi."

"Pagi juga Bayu...." ucap Wijaya dan Alena bersamaan.

"Kamu sudah sarapan? Kalau belum, sini sarapan dulu sekalian sama kami!"

"Makasih tante. Bayu sudah sarapan di rumah tadi. Mama nggak bakal ngasih izin keluar rumah kalau belum sarapan."

Ela masih diam dan tidak berkomentar apa pun melihat percakapan orang tuanya dan Bayu. "Yuk berangkat!" ajaknya pada Bayu.

Mobil itu melaju dengan pelan. Suasana hening menyelimuti mereka. Ela memilih diam sekalipun ia begitu ingin bertanya pada Bayu. 

Bayu menoleh ke arah Ela, menghela napas sesaat sebelum akhirnya ia mulai bicara. "Aku lihat kamu dari tadi diam, kenapa?"

"Nggak kok, kamu kali yang diam?" Ketus Ela menjawabnya. Seketika kening Bayu mengerut. Bingung akan sikap kekasihnya itu.

"Kamu marah?"  Tak percaya akan apa yang Ela katakan.

"Siapa yang marah? Aku nggak marah kok?" Lagi-lagi jawaban ketus yang Ela keluarkan dari bibirnya.

Bola mata Bayu berputar, jengah akan jawaban Ela. "Nggak marah tapi mukanya ditekuk begitu."

"Aku nggak marah Bayu!" Napas Ela naik turun menahan rasa kesal di dadanya. "Nggak ada alasan aku buat marah sama kamu." Nadanya terdengar tinggi ditelinga Bayu.

Bayu cukup terkejut dengan reaksi Ela. Seketika itu juga ia menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Kemudian menoleh ke arah Ela. Ia bergeming, saat menemukan wajah kekasihnya telah basah karena air mata. "Hey, kamu kenapa?" ada cemas yang tersirat dibalik pertanyaannya.

Bukannya berhenti menangis, yang ada Ela semakin terisak. Mau tak mau Bayu kalang kabut, semakin bingung dengan apa yang terjadi.

Bayu membuang napasnya sesaat. Lalu diusapnya air mata yang menetes itu. Diciumnya lembut kedua mata Ela. "Jangan menangis. Aku nggak suka liat kamu menangis. Maaf jika aku sudah menyakitimu sekalipun aku nggak tahu apa alasannya."

Ela menangis sesenggukan, menundukkan wajahnya."Maaf," Lirih ia mengatakannya. "Aku salah sudah membentakmu." Ela menunduk malu, sesal itu yang ia rasakan. Rasa cemburunya yang berlebihan membuatnya bersikap bodoh dihadapan pria yang ia cintai.

Bayu tersenyum ke arah Ela. "Hei, lihat aku!" Sambil mengangkat dagu Ela ke arahnya. "Jangan menangis," katanya sekali lagi. Bayu mendekatkan kening mereka, "Dengar! Aku benci lihat kamu menangis seperti ini." Kemudian mengecup kening Ela dalam.

Dada Ela bergemuruh, seketika kupu-kupu diperutnya terasa berterbangan. Ela mengangkat wajahnya saat Bayu melepas kecupan dikeningnya. Kedua mata mereka bertemu satu sama lain. Detakan jantungnya semakin terdengar kencang. "Aku cinta kamu La," ujar Bayu lalu mengecup bibir Ela.

Ciuman Bayu berhasil meluluh lantahkan dirinya. Hatinya yang resah mulai terasa nyaman. Perlahan Ela menutup kedua matanya, membalas ciuman Bayu.

"Aku mencintaimu Elena. Hanya kamu." Tak ada ragu saat Bayu mengatakannya kembali usai melepaskan bibirnya dari bibir Elena.

"Aku juga mencintaimu Bayu." Malu-malu Ela mengatakannya. Wajahnya memerah seperti tomat.
Bayu tersenyum tipis melihat reaksi kekasihnya. "Aku suka pipimu yang memerah seperti itu."

Ela semakin menunduk, tak kuasa mengangkat wajahnya yang semakin memerah. Bayu berhasil membuatnya mati kutu. Amarah dan cemburu yang ia rasakan perlahan menguar, hilang ditelan angin. Sekalipun sudut hati Ela masih penasaran, namun urung ia tanyakan. Karena ia percaya pada Bayu. Ia percaya jika Bayu hanya mencintainya.

Bayu kembali menjalankan kendaraannya. Melanjutkan perjalanan yang terhenti tadi. Tidak butuh waktu lama untuk tiba di kampus. Suasana hati yang bahagia membuat perjalanan terasa singkat.

"Kalau tahu kamu bisa sangat bahagia dengan ciuman, aku pasti akan selalu menciummu," goda Bayu pada kekasihnya begitu mereka tiba dipelataran parkiran kampus mereka.

"Mesum," spontan Ela mengatakannya. Lalu tergesa-gesa turun dari mobil. Ia tidak sanggup lagi mengangkat wajahnya yang sudah terlihat seperti kepiting rebus.

Dari dalam mobil Bayu tertawa lebar melihat sikap malu-malu kucing kekasihnya. Ia lalu turun dari mobilnya kemudian berteriak, "Aku begitu mencintaimu Ela, hanya kamu."

Untung saja hari masih cukup pagi. Jadi, masih belum banyak orang yang berdatangan di kampus. Jika tidak keduanya pasti akan menjadi pusat perhatian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10