PH-10


Dua bulan sudah Dira melewati hari-harinya di Makassar. Ia sangat menikmati pekerjaanya. Terlebih semua pegawai rumah sakit tempatnya bekerja sangat ramah. Mereka bisa berbaur satu sama lain sekalipun mereka berbeda suku. Kecuali satu orang siapa lagi jika bukan dokter Farhan.

Farhan selalu memasang wajah datar dan dingin padanya. Namun, tidak dengan pasien yang ia rawat. Ia selalu tersenyum ramah. Satu lagi yang membuat Dira semakin heran adalah sikap para pegawai rumah sakit dan para suster wanita di sini sangat mengaguminya. "Apa hebatnya menyukai pria dingin seperti Farhan?"

Seperti saat ini, jam makan siang biasanya dihabiskan bersama para suster di kantin rumah sakit. Dan lagi-lagi pembahasannya adalah tak lain mengenai dokter Farhan. Tampaknya sang dokter memiliki begitu banyak fans.

"Apa hebatnya sih sampai dari pasien, keluarga pasien, perawat, reseiden, koas sampai dokter wanita mengagumi dia. Aku bahkan tidak melihat satupun yang menarik darinya." Celutuk Dira spontan tidak suka dengan apa yang ia dengar. "Aku bahkan sampai bosan mendengar kalian menyebutnya."

Hilda sekertaris Farhan tersenyum pada Dira. Sejak Dira mulai bekerja disini hubungan mereka pun semakin dekat. Bahkan sekarang mereka seperti sahabat. Ditambah satu orang lagi, seorang perawat yang merangkap sebagai asisten Dira bernama Dina.

"Kau gila ya Dir, coba buka matamu baik-baik. Kurang apa coba dokter Farhan. Dia ganteng, mapan, dan yang paling utama kaya. Terlebih dokter Farhan adalah anak pemilik rumah sakit ini. Anak tunggal lagi. Jadi, kurang apa coba. Dia benar-benar sosok suami idaman," ucap Dina penuh semangat. Membuat Dira memutar bola matanya jengah akan sikap Dina yang berapi-api menggambarkan Farhan. Bahkan terlihat seperti SPG mempromosikan barangnya.

"Buat apa ganteng, kalau sikapnya dingin dan tak bersahabat seperti itu," tukas Dira acuh, tak menghiraukan protes dari Dina

Dina memandang Dira tidak percaya akan penuturannya. "Please deh dokter Dira yang cantik dan fansnya banyak sekalipun anak kecil. Mau dingin kayak es, lempeng atau arrogant kek, aku mah nggak peduli. Kan nanti, aku yang bakal beri dokter Farhan kehangatan. Dengan cinta dan sayangku, aku jamin dokter Farhan pasti akan jadi pria yang penuh kelembutan. Tidak arrogant atau dingin lagi seperti katamu."

Dira hanya melongo melihat sikap Dina, sementara Hilda tertawa melihatnya.

"Btw... pulang kerja jalan yuk?" ajak Hilda, mengalihkan pembahasan mereka.

"Kemana?" tanya Dira.

"Ke Mall saja, kita nonton. Siapa tahu ada film bagus. Kalau nggak ada kita bisa cuci mata atau belanja mungkin."

"Setuju," teriak Dina penuh semangat membuat Dira dan Hilda menggeleng bersamaan.

Usai makan siang Dira kembali ke ruangannya bersama Dina. Sepanjang jalan mereka saling bercanda satu sama lainnya. Saat Dira membuka pintu ia terhenti membuat Dina menatapnya bingung. "Kenapa dok?"

Alih-alih menjawab Dira malah kembali menutup pintu. Dan tindakannya ini tidak luput dari penglihatan suster Dina. Tak ingin penasaran, Dina lalu berjalan ke arah pintu, membukanya langsung. Sama seperti Dira ia pun terkejut. Dina lalu berjalan ke sisi Dira berdiri, menyiku lengan sang dokter seraya berbisik, "Ada dokter Farhan." Yang tak ditanggapi Dira. Matanya hanya tertuju pada satu sosok didepannya yang tengah duduk di kursi depan meja kerjaya. "Ngapain pria dingin itu disini?". Lain Dira lain pula Dina. Kehadiran Dokter Farhan bagaikan sebuah rezki yang tidak bisa ditolaknya.

"Sampai kapan kalian berdiri di depan pintu?"ucapnya datar pada kedua gadis itu. Tidak ada senyuman atau sapaan basa basi.

Dira menatap jengah Farhan, alisnya sedikit terangkat seakan menyampaikan jika ia tidak akan takut dan terintimidasi olehnya. Sekalipun sebenarnya dia jugamerasa gugup. Dira berjalan masuk ke ruangannya, diikuti oleh Dina.

"Anda disini? Ada apa?" tanya Dira heran, begitu ia duduk di kursi kerjanya. Tatapannya lurus pada Farhan, memandangnya. Tidak biasanya pria itu di sini.

Farhan melihat jam tangannya, "Kau lewat sepuluh menit dari jadwal makan siang seharusnya. Bagaimana jika ada pasien yang tiba-tiba membutuhkanmu di sini? Mereka bisa mati karena tidak menemukan dokter dan asistennya diruangannya."

Dira menatap heran dan kesal pada Farhan. Napasnya naik turun menahan kesal. Memutar jengah kedua bola matanya. "Hellow... ini hanya lewat sepuluh menit dan ia juga tidak ke mana-mana. Hanya makan siang di kantin. Dasar pria arrogant." Gumamnya pelan namun siapa sangka Farhan mendengarnya.

"Saya mendengar ucapanmu!" ucapnya datar.

"Hah...." pekik Dira sedikit cemas karena tetangkap basah. Ia bahkan terlihat melongo seperti orang bodoh. Sesekali diliriknya Dina yang malah tertawa geli melihat sikap dokter Farhan padanya. Melotot kesal ke arahnya.

"Anda belum menjawab pertanyaanku. Ada apa sampai anda kemari?"

Farhan tidak menjawab ucapan Dira. Ia malah tersenyum miring pada Dira. "Ikut denganku!"

"Ikut? Ke mana? Saya bukan wanita bodoh yang mau ikut dengan pria aneh sepertimu," ujar Dira ketus. Ia sendiri tidak mengerti, tiap kali berhadapan dengan Farhan bawaannya selalu ingin marah.

"Ini perintah." Seakan tidak ingin dibantah, Farhan bak raja yang mengeluarkan perintah pada bawahannya. Ia lalu menatap Dira lekat, memberi seringai miring dari bibirnya. "Jika kau tidak mau, kau boleh berhenti dan pulang ke Jakarta."

Dira menggertakkan giginya, melampiaskan kekesalan yang ia rasakan. "Satu hal lagi tidak akan ada rumah sakit yang akan mau menerimamu."

Mulut Dira nyaris ternganga usai mendengar apa yang Farhan ucapan. Sukses membuatnya mati kutu. Bahkan ia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Dengan terpaksa ia pun mengangguk. Mengikuti perintah dokter arrogant itu. Ia tidak ingin dipecat terlebih diblacklist dari semua rumah sakit. Membayangkannya saja Dira tidak sanggup.

Seakan mengerti, Farhan berdiri dari posisinya, "Aku tunggu dilobby sepuluh menit. Jika lewat dari itu kau akan kupecat," ujarnya sebelum ia ke luar dari ruangan Dira.

Sudut bibir Dira mencibir, mengumpat kesal pada Farhan saat ia ke luar dari ruangannya. "Dasar bos gila."

Dina tidak kuasa menahan tawanya saat melihat sikap Farhan dan Dira seperti tom dan Jerry. "Kau tahu Dir, kalian terlihat serasi. Kurasa kalian cocok."

"Ih... amit - amit deh. Aku mah ogah sama orang seperti dia. Nggak bakal aku masukin dalam list calon suamiku."

"Hati-hati loh dengan ucapanmu. Nggak ada yang tahu hari esok kan?"

"Ah, malas aku ngomong sama kamu. Kamu kan pro dia."

Dina semakin tertawa melihat tingkah kesal Dira. "Sebaiknya kau segera keluar Dir, ini sudah hampir 10 menit."

"Arghhhhh...." teriaknya melampiaskan kekesalannya pada Dina yang malah dijawab tawa cekikian dari suster tersbut. "Semua gara-gara ulahmu. Awas ya kalau aku dipecat gara-gara telat, kau harus tanggung jawab," ucap Dira seraya berlari keluar menuju lobby di mana dokter farhan menunggunya. Sementara Dina tertawa lebar saat Dira ke luar.

Huft... huftt... Dira ngos ngossan begitu tiba di lobby rumah sakit. Farhan hendak melihat jam tangannya, namun Dira langsung menyelanya, "Masa bodoh dengan waktu yang kau tentukan, bisakah kau tidak melihat jam tanganmu itu. Aku lelah berlari,"protesnya cepat. Tidak ia hiraukan lagi apa yang Farhan fikirkan tentangnya. Dira bahkan lupa berbicara formal padanya.

Farhan tidak berkomentar apa pun. Namun bibirnya tersenyum nyaris sangat tipis pada Dira tanpa gadis itu sadari.

"Ayo..." ajaknya kepada Dira, seraya berjalan ke luar dari rumah sakit.

Dira yang melihat itu hanya mampu menarik napas. "Apa salahku sampai terperangkap di rumah sakit ini dengan dokter sombong seperti dia." Lalu menyusul sang dokter yang telah lebih dahulu ke luar.

@@

Lelah berlari ditambah cuaca cukup panas membuatnya merasa mengantuk. Bangunkan aku saat kita sudah tiba?" ucapnya acuh pada Farhan tanpa melirik pria tersebut. Dira bahkan tidak mempedulikan apa Farhan akan menjawab ya atau tidak.

Farhan yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menoleh. Dilihatnya Dira yang tengah tertidur dengan lelapnya. "Cantik," gumamnya pelan. Sesekali ia mencuri pandang, meliriknya diam-diam dari sudut matanya. Ia bahkan membiarkan gadis itu tetap tertidur.  Sebuah senyum diam-diam terbentuk dibibirnya.

Sekitar satu jam lebih mereka tiba disebuah daerah terpencil. Letaknya cukup jauh dari pemukiman warga kota.

Farhan lalu menyentil kening Dira membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Aww," ringis Dira seraya mengusap Dahinya. "Sakit tahu, ngapain main jitak keningku."

"Kita sudah sampai turunlah." Lagi-lagi ia diabaikan. Malah sebaliknya memerintahkannya turun dari mobil.

"Dasar dokter gila," umpatnya sekali lagi. Dira lalu turun dari mobil. Diamatinya daerah sekitarnya. "Ini di mana?" tampak heran dan takut.

"Sampai kapan kau akan diam disana?" teriak Farhan.

"Iya... iya aku tahu, aku akan ke sana." Dira beranjak dari tempatnya menuju sisi Farhan.

"Assalamualaikum pak?" ucap Farhan pada pemilik rumah.

"Waalaikumsalam Pak dokter, mari silahkan masuk."

Dira dan farhan masuk ke dalam rumah tersebut. Dira sekali lagi mengamati sekelilingya, termasuk rumah yang dimasukinya, sederhana bahkan sangat sederhana.

"Pak dokter dan bu dokter mari silahkan duduk, sebentar lagi mereka semua akan kemari."

"Terima kasih pak," jawab farhan ramah.
Dira mematung, melihat Farhan yang tersenyum. Bunyi dug dug dari jantungnya muncul seketika tanpa ia tahu sebabnya. "Kurasa aku sudah gila terjebak pesonanya."

Tidak lama kemudian satu persatu penduduk mulai berdatangan.

"Dira kau periksa anak-anak dan untuk orang dewasa aku yang akan menanganinya. Catat tiap keluhan mereka."

Dira mengangguk pada Farhan. Ia mulai meminta kepada ibu-ibu yang membawa anak-anak mereka untuk satu persatu bergantian diperiksa. Keduanya larut dalam pekerjaannya, terlihat sibuk memeriksa pasien. Sesekali Farhan melirik Dira yang tampak serius memeriksa pasiennya atau sekedar bercanda dengan pasien-pasien kecilnya. Dan hal itu unyuk kesekian kalinya sukses membuat Farham tersenyum.

Sayangnya kali ini hal tersebut dilihat oleh Dira. Seketika Farhan terlihat salah tingkah dan gugup. "Dia jauh lebih tampan saat tersenyum,"ucap batinnya.

Waktu hampir maghrib saat mereka telah selesai memeriksa pasien. Dira dan Farhan memutuskan kembali ke kota. Ini adalah pengalaman pertama Dira terjun langsung ke lapangan selain di rumah sakit. Ada pengalaman tersendiri yang dirasakannya. Dalam hati ia mengucapkan terima kasih pada dokter Farhan.

Saat tiba di kota waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Farhan berhenti disebuah rumah makan ulu juku.

"Bangunlah," ucapnya lembut pada Dira yang tertidur selama perjalanan pulang.

"Apa kita sudah tiba?" tanya Dira, yang masih mengantuk, bahkan tanpa ia sadari, dirinya menguap.

"Kita makan dulu. Setelah itu, aku akan mengantarmu pulang. Kau pasti lapar."

Dira tidak membantah, karena sama seperti Farhan ia pun merasa sangat lapar. Farhan lalu mengajak Dira turun dari mobil masuk ke dalam rumah makan ulu juku.

"Selamat malam pak. Anda ingin memesan apa?" tanya seorang pelayan.

"Kamu ingin makan apa?" tanya Farhan.

"Apa saja asal bukan udang."

"Ikan kakap putih dan sununya dibakar, minumnya orange jus saja plus air mineral."

"Terima kasih," ucap Farhan ketika pelayan tersebut pergi.
Sementara Dira melongo, ia cukup terkejut akan ucapan Farhan. Tidak biasanya Farhan berkata demikian.

"Terima kasih? Untuk apa?"

"Karena kau sudah menemaniku hari ini."

Dira tersenyum pada Farhan. "Tak perlu berterima kasih. Aku menyukainya. Kuharap kamu masih mau mengajakku nanti."

"Tentu saja jika kamu tidak keberatan."

Dira menggeleng. "Bahkan jika kamu keberatan mengajakku, aku akan tetap mengikutimu."

Tawa Farhan pecah saat mendengar perkataan Dira. Lain halnya dengan Dira, lagi-lagi ia hanya mampu membuka mulutnya, nyaris tak bisa bernapas saat melihat Farhan tertawa.

Drrttt

Suara ponselnya yang berbunyi mengalihkan pandangannya. Dilihatnya disana nama Hilda tertera dilayar ponsel.

"Assalamualaikum Dira, kamu dimana?"

"Waalaikumsalam Hilda, aku baru tiba di kota makassar setelah kunjungan ke daerah. Tampaknya hari ini aku tidak bisa ikut kalian."

"Ya sudah nggak papa kok. Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Sudah dulu ya, filmnya sudah mau mulai, aku dan Dina mau nonton. Sampai jumpa besok."

"Selamat bersenang-senang ya."

"Pastinya. Assalamualaikum," ucap Hilda.

"Waalaikumsalam," jawab Dira lagi.

"Siapa?" tanya Farhan langsung begitu Dira selesai berbicara.

"Hilda," jawab Dira singkat.

Suara ponselnya kembali berbunyi, Dira langsung mengangangkatnya tanpa melihat siapa yang menghubunginya.

"Ada apa lagi Hilda?"

"Dira...." panggil seseorang dari balik ponselnya.

Dira terdiam, tubuhnya nyaris bergetar. Dadanya bergemuruh. Pria yang begitu dirindukannya. Namun hanya bisa disimpannya dalam hati.

"Bayu," ucapnya lirih. Namun bisa didengar jelas oleh Farhan.

"Aku merindukanmu Nadi." Hanya itu yang  Dira dengar sebelum ia mematikan ponselnya begitu saja.

Saat makanan tiba, tak ada lagi yang berbicara. Terasa hening dan kaku. Farhan bahkan tidak sekalipun bertanya. Sekalipun sudut hatinya penasaran.

@@

Azka tiba di bandara Sultan Hasanuddin tepat pukul sepuluh pagi. Sebuah senyum terukir di wajahnya. Azka ke luar dari bandara disambut oleh pak Syamsuddin yang ditugaskan oleh Wijaya untuk menjemput dan mengantarnya selama di Makassar.

Azka berjalan menghampiri pria yang ditugaskan oleh omnya itu. "Selamat pagi pak," sapa Azka ramah padanya,

"Selamat pagi juga pak, kenalkan saya pak Syamsuddin yang ditugaskan pak Wijaya untuk mengantar bapak selama di Makassar. Bapak boleh memanggil saya udin saja."

Azka tersenyum ke arah Udin, "Iya, om Wijaya sudah sampaikan ke saya kalau pak udin akan menjemput saya."

"Jadi bapak mau langsung ke hotel atau langsung ke lokasi proyek dulu?"

"Tidak, antarkan saya ke hotel dahulu, setelah itu kita ke lokasi."

"Baik pak."

Azka masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke hotel yang telah dipesan oleh omnya. Di sepanjang jalan Azka mengamati suasana Makassar yang terlihat cukup panas.

"Bapak baru pertama kali ini ke Makassar?" tanya udin pada Azka yang sejak tadi, sibuk mengamati sekitar jalan yang dilewatinya.

"Iya, ini pertama kali saya kemari."

"Pantasan sejak tadi saya lihat bapak terus melihat keluar."

"Makassar panas juga ya pak, dan kendaraannya juga padat. Tidak jauh beda dengan Jakarta."

"Iya pak. Di sini sama Jakarta hampir mirip, sama-sama suka macet. Tapi kita beruntung pak, siang ini kendaraannya lancar. Kalau boleh saya tahu Bapak di sini rencananya berapa hari?"

"Mungkin tiga sampai empat hari."

"Kalau bapak ada waktu, bapak harus coba makanan khas di sini. Semuanya nggak kalah sama makanan khas di Jakarta atau di Jawa."

"Tentu pak itu sudah jadi daftar nomor satu yang akan kulakukan. Tapi di Makassar ada apa saja?"

"Ada banyak pak. Memangnya bapak mau yang mana?"

"Apa saja yang pasti menyenangkan dan mengeyangkan pak," ucap azka seraya tertawa pada pak Syamsuddin.

"Kalau itu gampang pak, nanti saya antar bapak."

"Owh iya pak Udin, rumah sakit Kenanga letaknya di mana? Apa jauh dari hotel yang saya pesan?"

"Bapak sakit?" tanya pak syamsuddin heran.

"Tidak, saya hanya ingin menemui seseorang di sana."

"Oh, saya kira bapak sakit. Saya tahu pak tempatnya. Nanti saya antar bapak ke sana. Tempatnya tidak jauh kok."

Azka tersenyum pada pak Udin seraya berkata, "Terima kasih pak, sebelumnya."

"Sama-sama pak. Itu sudah tugas saya."

Azka tiba di Victoria hotel. Lokasinya tidak jauh dari pantai. Ia kemudian turun dari mobil. Beberapa tamu yang berdiri di loby hotel dan ditambah pegawai hotel menatap Azka dengan tatapan kagum.

"Selamat pagi menjelang siang?" ucapnya ramah pada resepsionist hotel itu.

"Selamat pagi juga pak, ada yang bisa saya bantu?"

Azka kembali tersenyum pada Reseptionist itu. Semburat merah muncul diwajahnya saat ia lihat Azka yang tersenyum padanya.

"Saya sudah reservasi kamar di sini."

"Kalau boleh saya tahu atas nama siapa?"

"Azka Putra Hutama."

"Tunggu sebentar, saya akan memeriksanya terlebih dahulu pak."

Azka tersenyum sekali lagi pada reseptionist itu. Sambil menunggu Azka memainkan ponselnya dengan berselancar didunia maya. Dia membuka akun instagramnya. Diamatinya foto gadis yang ia rindukan. Sebuah senyum terukir dibibirnya saat menatap wajah Dira.

"Ini pak kunci kamarnya," ucap reseptionist tersebut. Azka menoleh, mengangguk tipis sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

Azka lalu mengambil kunci kamarnya. "Terima kasih," ucapnya sekali lagi dengan senyuman ramahnya.

"Sama-sama pak."

@@

Ela masuk ke ruangan Bayu. Hal pertama kali yang ia lihat adalah, di sana di kursi sang CEO, Bayu tengah duduk dengan mata yang terlihat sangat fokus pada dokumen ditangannya. Bahkan tidak menyadari kedatangannya. Ela memilih masuk dalam diam dan duduk disofa mengamati Bayu.

"Sampai kapan kau akan diam di sana?" ucap Bayu tiba-tiba.

Ela terkejut saat ia mendengar Bayu berbicara padanya. "Jadi kamu tahu aku datang?"

"Tentu saja, mana mungkin aku tidak tahu jika istriku sejak tadi di sini. Bahkan aku bisa tahu bunyi langkah kakimu." Bayu mengatakannya tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di atas mejanya.

Ela tersenyum pada Bayu. Ia tak menyangka jika selama ini suaminya sangat memperhatikannya. Ela lalu berdiri, berjalan mendekati Bayu. Kemudian ditariknya kursi Bayu sehingga posisi mereka tepat berhadapan dengannya. Mata Bayu mengamati istrinya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.

Ela duduk dipangkuan Bayu. Mengecup Bibirnya singkat. "Apa kau sedang menggodaku?" sela Bayu, saat Ela melepaskan ciumannya.

Ela mengaitkan kedua tangannya di leher Bayu. Mengedipkan sebelah matanya. Lalu menautkan kening mereka. "Apa aku terlihat sedang menggodamu?" jawabnya dengan nada yang dibuat mendayu-dayu.

Tidak ada jawaban yang Bayu lontarkan. Yang Ela tahu, Bayu telah mengecup bibirnya saat ini. Awalnya hanya kecupan singkat namun berubah menjadi liar begitu Ela membalasnya.

Bayu kemudian mengangkat tubuh Ela. Membawanya kesuatu ruangan, tempat di mana ia sering menghabiskan waktu saat dia lelah atau lembur. "Jangan salahkan aku jika tidak membiarkanmu keluar dari sini," ucap Bayu serak.

Ela yakin, jika Bayu telah di landa gairah saat ini. Bukannya menolak, Ela malah semakin menggoda Bayu. Dengan jari manisnya ia memainkan dada Bayu dibalik kemeja yang ia gunakan. Membuat pria itu tanpa sadar mendesah. "Tidak masalah," jawab Ela manja. "Bahkan jika suami tampanku ini menyuruhku pergi, aku tidak akan pergi."

Ela berhasil membuat Bayu berada di puncak gairah. Tidak menunggu lama, keduanya larut dalam indahnya surga duniawi.
Siang itu menjadi siang yang indah buat pasangan suami istri tersebut.

"Jadi, katakan padaku, apa yang membuatmu tiba-tiba datang dan menggodaku?" ucap Bayu usai percintaan panas mereka.

"Tidak ada. Aku hanya merindukan suamiku ini," jawab ela manja. Sesekali tangannya bertindak nakal dengan menggoda suaminya membuat Bayu lagi-lagi mendesah.

Bayu kemudian memeluk Ela dalam. Mencium punggung istrinya yang telanjang. Ada rasa bersalah ia rasakan, mengingat beberapa hari ini, ia sering memikirkan wanita lain.  Bayu merutuki dirinya yang mengabaikan istrinya beberapa hari ini. Tidak seharusnya ia melakukan itu. Ela adalah wanita yang ia pilih. Jadi tidaklah pantas ia masih menyimpan wanita lain di hatinya.

"Maaf jika beberapa hari ini sikapku membuatmu tidak nyaman." Bayu berkata sambil tetap memeluk erat Ela. Menghirup aroma sang istri dalam.

"Aku mencintaimu Bayu." Hanya itu yang mampu Ela ucapkan.
Bayu mengecup kening Ela penuh cinta, seraya berkata, "Aku juga mencintaimu Ela."

@@@

Dina mengamati Wajah Dira yang sejak tadi pagi hingga siang ini terlihat kusut. Untung saja hari ini tidak ada pasien yang gawat, dan anak-anak yang saat ini dalam masa perawatan dibawah pengawasan Dira semuanya stabil.

"Kamu kenapa sih Dir, sejak tadi pagi wajahmu terlihat kusut?"

Dira hanya diam dan tidak menanggapi perkataan Dina. Dina memutar matanya terlihat jengah akan sikap Dira yang ia anggap aneh. Ia lalu menghampiri Dira, menggoyankan tubuh Dira membuat gadis tersebut terkejut. "Kamu dengar nggak sih, aku itu lagi ngomong sama kamu."

"Hmmmmm...." Hanya gumaman yang Dira keluarkan.

Dina menggeleng, menghela napas sesaat sebelum ia duduk tepat di hadapan Dira. Sekilas Dina memicingkan matanya, kemudian menatap sang gadis dalam. "Kamu kenapa?"  suara Dina terdengar khawatir.

Masih tidak menemukan jawaban Dina kembali bertanya. "Kamu sariawan ya?"

Dira menggelengkan kepalanya.

"Lantas?" Sumpah demi ayam gorengnya ibu kantin yang menurut Dina enak banget sampai buat air liurnya menetes, Ia jauh lebih penasaran akan sikap Dira yang diam.

"Lagi malas saja suster Dina," jawab Dira kesal.

Dina memutar matanya, cukup kesal akan sikap Dira. Bosan melihat Dira yang seperti ini, ia pun segera menarik sang gadis untuk ikut dengannya. "Ke kantin yuk! sekarangkan sudah waktunya makan siang."

Dira menggeleng lemah. "Kamu saja Din, aku nggak lapar?"
Lelah membujuk, Dina pun memilih meninggalkan Dira. Mungkin ia butuh waktu sendiri saat ini.

"Ya, sudah, aku mau ke kantin dulu, jangan diam terlalu lama. Nanti kesambet penjaga rumah sakit." Godanya, yang hanya dijawab cengiran oleh Dira.

"Dira kenapa Din?" tanya Hilda yang datang ke ruangan Dira.

"Nggak tahu," jawabnya acuh. "Sejak tadi pagi ia sudah seperti itu. Wajah kusam dan kusut. Ditanya malah diam."

"Kok mirip sama Dokter Farhan, nggak kalah kusutnya seperti Dira." Gumam Hilda tanpa sadar.

Mendengar hal tersebut spontan Dina menoleh. Menatap Hilda penasaran. "Apa hubungannya kusutnya dokter Farhan dan Dira?"

"Tahu, kali aja ada." Terang Hilda, sambil mengangkat bahunya. "Aku hanya menduganya. Setahuku, kemarin mereka pergi dan pulangnya bareng. Siapa tahu di jalan lagi berantem gitu."

"Memang mereka ada hubungan apa?" tanya Dina lagi.

"Nggak tahu nona Dina," ujar Hilda sambil mencubit pipi sang gadis membuatnya meringis kesakitan. "Dari pada mikirin Dira mending kita makan yuk. Mungkin saat ini Dira butuh sendiri."

Dina mengangguk, mengerti akan apa yang Hilda katakan. Keduanya pun ke luar dari ruangan Dira. Meninggalkan Dira yang masih diam di kursinya.

Deru napas Dira terdengar, seiring beberapa kali ia menarik napas lelah. Beberapa kali ia mencoba memejamkan matanya, hendak melupakan perkataan Bayu semalam, tapi sayangnya ia masih memikirkannya. Hanya satu kalimat singkat, namun sanggup mengacaukan harinya. Memporak-porandakan hatinya. Belum juga hatinya sembuh, Bayu kembali mengacaukannya.

"Bayu aku merindukanmu, apa kau tahu itu? Apa kau masih mengingatku atau sudah melupakanku? Apa benar kau merindukanku seperti ucapanmu semalam? Harusnya aku tidak mematikan ponselku langsung saat aku mendengar suaramu. Aku merindukanmu."

Air mata menetes di wajahnya. Ada rasa sesal saat diabaikannya Bayu yang menghubunginya semalam.

"Tampaknya meja itu lebih bagus, di bandingkan aku?"

Suara seorang pria membuat Dira menoleh ke arahnya. Dira mengerjab-ngerjabkan kedua matanya. Tidak percaya siapa yang ia lihat saat ini, tengah berdiri di hadapanya. Cukup terkejut dengan kehadiran pria itu di sini. Namun, tak urung sebuah senyuman ia sungginkan pada sang pria. Ia lalu berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri pria tersebut.

"Azka," panggilnya pelan.

"Akhirnya kamu mengenalku," ujar Azka, sambil berpura-pura merajut yang hanya dibalas cengiran oleh Dira,

"Kapan kamu tiba? Kamu kok, nggak bilang mau datang? Kamu ngapain di Makassar? Tinggal dimana?"

Azka tertawa mendengar pertanyaan bertubi-tubi Dira. "Kamu itu, bertanya seperti rel kereta api, panjang banget. Apa kamu nggak mau memeluk aku dulu baru bertanya?"

Dira tersenyum padanya, lalu memeluk Azka. Azka pun membalas pelukan Dira, sambil berucap, "I Miss You Nadira."

"Miss you too Azka. Aku kangen banget sama kamu." Azka tersenyum saat mendengar apa yang Dira katakan. Spontan ia lalu mengecup kening sang gadis.

Sementara itu di luar, tanpa sepengetahuan mereka Farhan melihat bagaimana Azka dan Dira berpelukan. Ditambah kata-kata rindu dari Dira. Farhan mengepalkan tangannya. Dan berlalu meninggalkan mereka.

Dira lalu melepaskan pelukannya. Senyumnya yang sempat hilang tadi, perlahan terbit kembali. "Kamu sudah makan siang?" tanya pada Azka.
Azka menggeleng. "Kalau begitu kita makan di kantin saja bagaimana?"

"Terserah tuan putri," ujar Azka membuat Dira tersenyum. Dalam hati ia bersyukur, kehadiran Azka di sini cukup membantunya melupakan Bayu.

Azka memegang tangan Dira erat, kedua jari-jari mereka saling bertautan satu sama lainnya. Siapa pun yang melihat, pastinya akan menganggap jika mereka sepasang kekasih. Bahkan beberapa suster dan pasien yang ada disepanjang jalan yang mereka lalui terlihat penasaran dan kagum. Ada yang memuji mereka sebagai pasangan serasi, bahkan ada yang hanya menatap Azka. Terlihat kagum akan ketampanan pria tersebut.

Dina memuntahkan makanannya saat dilihatnya Dira masuk dengan Azka ke kantin. Ditambah wajah Dira begitu bahagia sangat berbeda seperti wajah yang tadi pagi ia lihat.

"Kamu kok jorok amat sih, pakai acara muntahkan makanan segala. Jijik tahu," keluh Hilda, terlihat kesal dengan ulah Dina. Namun Dina yang tidak fokus, tak menghiraukan ucapan Hilda.

Merasa diabaikan, Hilda pun mengikuti arah pandang Dina. Dan mengerti, rupaya suster Dina sedang terpukau oleh seorang pria. Mau tak mau ia tertawa, "Kamu itu nggak berubah kalau lihat cowok."

"Ketemu cowok cakep itu anugerah Hil, nggak boleh disia-siakan. Siapa tahu ada yang nyangkut."

Hilda hanya menggeleng mendengar apa yang Dina katakan.

"Itu siapa ya Hil, ganteng banget. Coba dech pegang dadaku, aku kok ngerasa deg-degan gini," ujarnya sambil mengarahkan tangan Hilda kedadanya.

Hilda tertawa lebar dan geli pada sikap Dina. "Kamu ini, ada-ada saja."

Dira melihat Dina dan Hilda yang tersenyum padanya. "Kita makan di sana saja ya, sekalian aku kenalin sama sahabatku di sini." Tunjuknya pada dua orang gadis yang terlihat melambaikan tangan ke arahnya.

"Dimana saja, asal makannya sama kamu, aku mau kok."

"Idihh, mulai belajar ngegombal kamu," jawab Dira sambil berjalan meninggalkan Azka yang tertawa. Melihat pipi Dira yang merona Azka tak sanggup untuk menahan tawanya.

"Siapa Dir?" tanya Hilda saat Dira berdiri tepat di sampingnya bersama Azka.

Sementara Dina sejak tadi diam dan pandangannya tidak teralihkan pada Azka.

Dira tersenyum pada Hilda dan Dina. "Ka... kenalin ini Hilda dan itu suster Dina."

Azka mengulurkan tangannya pada Hilda. "Azka,"ujarnya seraya mengulurkan tangannya, hendak memperkenalkan diri.

"Hilda," jawabnya pelan. Tersenyum ramah pada Azka sembari menerima uluran tangan Azka.

Azka lalu beralih pada Dina. Mengulurkan tangannya pada gadis tersebut. Alih-alih menerima tangan Azka, Dia hanya diam dan tidak menanggapi Azka. Membuat pria itu menatap Dina heran. Bukan hanya Azka, bahkan Hilda dan Dira pun sama herannya dengan Azka.

Seakan mengerti Hilda lalu mencubit pipi Dina membuat gadis tersebut meringis kesakitan.

"Aku kok dicubit sih, sakit tahu," protesnya, sambil mengusap pipinya yang terasa sakit.

"Kamu kenapa sih?"  tanya Hilda heran. Yang hanya dijawab cengiran olehnya. Lalu kembali menoleh ke arah Azka. Dina nyaris berteriak saat melihat Azka tersenyum padanya. Tanpa sadar, tangannya terangkat. Menyentuh dadanya yang terasa bersuara cukup keras. "Kurasa jantungku berdetak sangat keras. Aku bahkan bisa mendengarnya. Gawat, bisa kedengaran kalau begini. Bisa bahaya kalau ketahuan, aku harus pergi dari sini."
Dina lalu berdiri dari posisinya, berlari menjauh dari Hilda dan Dira juga Azka, pria yang menyebabkan jantungnya berdetak dengan kencang.

"DINA!" panggil Dira, namun diabaikan oleh Dina. Ia terus berlari menjauh hingga menghilang dari jarak pandang mereka.

"Dina kenapa Hil?" tanya Dira bingung.

"Nggak tahu. Sejak Kamu masuk sama Azka ke kantin, ia langsung bengong? Mungkin nggak kuat lihat cowok cakep."

Dira hanya tertawa mendengar ucapan sahabatnya. Sementara Azka tersenyum pada kedua gadis di hadapannya ini.

Dina masuk keruangannya dengan napas ngos-ngosan. Sesekali tangannya meraba dadanya. Bunyi dug...dug... dug... terdengar jelas. Sepertinya jantungnya memang berdetak kencang.

"Arghhhh, bego... bego... bego," umpatnya kesal pada dirinya. "Ngapain coba pakai acara kabur segala." Dina terus merutuki dirinya yang salah tingkah. Hingga membuatnya lari meninggalkan Dira dan Hilda ditambah pria yang menjadi penyebab jantungnya berbunyi. Dina menunduk lemas, "Aku bahkan belum berkenalan dengannya.

Sementara itu tanpa mereka sadari, di sudut kantin, Farhan tengah menatap Dira yang sedang tersenyum. Namun senyum itu bukan karena dirinya. Tapi, karena seorang pria yang kini duduk di hadapannya. Terlebih sesekali Azka mengusap lembut rambut Dira.

"Sial."

@@

Usai pertemuan singkatnya dengan Azka, Dira kembali ke ruangannya. Sementara Azka harus ke lokasi proyeknya. Namun sebelumnya Azka telah berjanji akan menjemput Dira nanti.

Dira masuk ke ruangannya, di sana dilihatnya Dina yang tampak melamun. ia pun mendekati Dina. "Din... kamu kenapa? Kamu sakit?"

Dina hanya diam tidak ada jawaban. Membuat Dira terlihat kebingungan. "Sepertinya keaadan berbalik. Bukannya tadi aku yang seperti ini. Sepertinya aku terkena karma." Dalam hati Dira mengatakannya saat teringat sikapnya sejak pagi tadi sebelum Azka datang.

"Dina!" Panggilnya sedikit lebih keras.  Dan cukup berhasil, karena gadis yang tengah melamun tersebut menoleh padanya.
Dira duduk di hadapan sahabatnya. Mengenggam tangannya yang tampak dingin. Membuatnya khawatir, "Kamu kenapa? Tanganmu sangat dingin?"

Dina tersenyum lemah pada sahabatnya. "Dokter Dira aku sepertinya sakit dech."

Dira terkejut usai mendengar perkataan Dina, diamatinya wajah Dina yang memang terlihat pucat. "Dimana yang sakit Din?"

Dina memegang dadanya, "Ini yang sakit Dira. Aku kayaknya terkena sakit jantung." Dira yang mendengar itu, semakin tidak tenang.

"Kamu kok nggak bilang? Sejak kapan kamu merasakan sakit dijantungmu?"

"Sejak tadi siang," jawabnya lesu.

Dira yang panik segera menghubungi Hilda. Ia takut terjadi sesuatu pada Dina.

Tidak lama kemudian Hilda akhirnya muncul diruangan Dira. Buru-buru ia ke ruangan Dira, saat mendengar suara Dira yang terdengar cemas.

"Ada apa Dir? Dina kenapa?" Hilda terlihat bingung saat melihat wajah pucat Dira dan Dina.

"Dina... Hil, katanya jantungnya sakit sejak tadi siang." Dira nyaris menangis saat mengatakannya. Merasa bersalah telah mengabaikan Dina pagi tadi.

Hilda menatap Dina bingung, "Perasaan tadi siang saat makan Dina baik-baik saja. Kamu yakin? Sejak kapan ia punya sakit jantung? Kamu jangan becanda Dir?"

Dira menggeleng. "Siapa yang becanda Hilda, orang Dinanya yang ngomong jantungnya sakit."

Hilda mendekati Dina yang tatapannya masih kosong. Apa yang Dira katakan memang benar. Wajah Dina terlihat pucat pasi.
"Dina, kamu kenapa? Jantungmu beneran sakit?"
Dina mengangguk, "Aku gak bisa napas Hilda."

Dira dan Hilda memucat mendengar ucapan Dira. "Aku akan hubungi dokter Farhan." Hilda hanya mengangguk pada Dira.

Dira hendak berlari ke ruangan Farhan, namun Hilda segera menarik tangannya. "Kamu mau kemana?"

"Mau keruangan dokter Farhan?"

"Ngapain?" tanya Hilda heran.

"Mau panggil dokter Farhan buat periksa Dina."

"Dira bego, ngapain kamu ke sana, nih pake ponsel kamu hubungi dokter Farhan sekarang, nggak perlu keruangannya."

"Upss... sorry. Soalnya aku panik lihat wajah Dina yang pucat begitu."

Diraihnya ponsel dari tangan Hilda. Kemudian menekan nomor Dokter Farhan. Namun sama sekali tidak ada jawaban. "Arghh... dokter farhan kemana sih kok nggak diangkat?" teriak Dira, sangat kesal karena sudah lima kali ia menghubunginya, namun tidak ada jawaban. "Hilda! Dokter Farhan ada nggak di ruangannya? Ponselnya nggak diangkat?"

"Setahuku ada. Ia tidak pernah ke luar ruangan sejak kembali dari makan siang. Coba kamu hubungi sekali lagi."

Dira sekali lagi menekan nomor dokter Farhan.

"Halo," suara dokter Farhan terdengar ditelinga Dira, membuatnya bernapas lega.

"Syukurlah diangkat juga," gumamnya pelan pada Hilda.

"Halo."

"Iya halo."

"Halo... dokter Farhan ini Nadira."

"Iya saya tahu kamu Nadira. Ada apa menghubungiku?" seperti biasanya terdengar acuh dan dingin. Andai saja Dira tidak lagi dalam keadaan panik, ia pasti akan memaki sang dokter.

"Dokter tolong ke ruanganku sekarang. Suster Dina membutuhkan bantuan dokter."

"Ada apa dengan suster Dina?" tenang Farhan saat mengatakannya membuat Dira berteriak padanya,

"Dokter Farhan tolong segera ke ruangan saya sekarang. Atau dokter mau saya ke sana dan menyeret dokter kesini." Tidak ia hiraukan lagi sopan santun. Dira benar-benar kesal padanya.

"Baiklah, saya akan ke sana." Sekali lagi dijawab Farhan dengan tenang.

"Dasar dokter nggak peka. Dokter dingin." Dira menggerutu akan sikap Dokter Farhan yang terlihat tenang padahal situasinya sangat buruk.

"Kamu kenapa sih?" tanya Hilda heran saat dilihatnya wajah kusut Dira. Dira tidak menjawab pertanyaan Hilda. Ia masih kesal dengan sikap dokter Farhan yang sangat tenang padahal dirinya sudah panik setengah mati.

Tidak lama kemudian Dokter Farhan pun masuk ke ruangan Dira. "Ada apa?" tanyanya pada Dira. Membuat Dira memutar bola matanya jengah.

Dira menunjuk Dina yang sejak tadi hanya diam dengan tatapan mata yang kosong.

"Suster Dina kenapa?" Kembali Farhan bertanya pada Dira.

"Nggak tahu. Tadi, ia bilang jantungnya sakit dok." Farhan pun mendekati Dina, "Kalian bantu saya bawa Dina ketempat tidur."
Yang dijawab anggukan oleh keduanya.

Farhan mendekat ke arah Dina, dikeluarkannya stetoskopnya. Lalu memeriksa dada Dina.

Dahi Farhan mengerut saat didengarnya bunyi jantung Dina. Terdengar sangat kencang. "Dina coba lihat saya."

Dina menoleh ke arah Farhan. Terlihat bingung melihat sang dokter di sini.

"Dok... dok... ter ngapain di sini?" ucap Dina gugup.

"Kamu mengenali saya?" tanya Farhan yang dijawab anggukan kepala oleh Dina.

Farhan lalu menoleh ke arah Dira. "Dia baik-baik saja. Sepertinya hanya sedikit terkejut."

Dira melongo mendengar penuturan Farhan. "Tapi kok jantungnya kencang banget dok?"

"Itu biasa terjadi ketika kamu terkejut atau melihat sesuatu yang mungkin terlihat luar biasa. Tapi, saya bisa jamin jantung Dina baik-baik saja."

"Maksud dokter?" Dira dan Hilda tidak mengerti akan perkataan dokter Farhan.

"Tanyakan padanya apa yang ia lihat. Mungkin saja ia menang undian atau melihat seorang pria yang membuatnya jatuh cinta."

"Whattt...." teriak histeris Dira dan Hilda bersamaan.

Dira dan hilda lalu menoleh ke arah Dina. Keduanya tak bisa menahan tawanya yang semakin lama semakin lebar. Sementara Dina menatap balik mereka heran.

"Apa ada yang lucu?" tanyanya polos pada Dira dan Hilda.

Namun, mereka tidak menghiraukan tatapan Dina. Dira dan Hilda terus tertawa.

"Kalian kenapa sih, sejak tadi menertawakanku?"  ucap Dina kesal.

Hilda mendekat ke arah Dina, "Aku mau tanya sama kamu, jantugmu sakit, susah nafas, gugup dan gemetaran apa gara-gara cowok yang bernama Azka tadi?"

Dina menunduk dan merona. Tanpa perlu dijawab Dira dan Hilda tahu kalau sahabatnya itu dilanda sakit kasmaran. Sakit karena jatuh cinta pada pandangan pertama. Mengingat hal itu mau tak mau sontak membuat Hilda dan Dira kembali tertawa.

Farhan tersenyum saat dilihatnya Dira yang tertawa. Ia pun diam-diam keluar dari ruangan Dira. Namun langkahnya terhenti saat didengarnya suara Dira yang memanggilnya. Farhan lalu menoleh ke arah Dira. "Ada apa?"

Dira tersenyum pada Farhan. "Terima kasih."

"Untuk?"

"Karena sudah membantu Dina?"

"Itu sudah kewajibanku." Sambil berbalik hendak meninggalkan Dira. Akan tetapi Dira menarik tangan Farhan. Perlakuan Dira ini membuat Farhan terkejut.

"Maaf," ucap Dira pelan namun masih dapat didengar Farhan.

"Untuk?" tanya farhan lagi.

"Karena telah membentakmu tadi."

Farhan diam dan menarik tangannya yang dipegang oleh Dira hingga terlepas. Ia berbalik tanpa menjawab permintaan maaf Dira. Meninggalkan Dira yang termenung di belakangnya.

Dira menggerutu dan menatap kesal punggung dokter Farhan, yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya. "Dasar dokter aneh."

Farhan masuk ke ruangannya. Senyum merekah di bibirnya. Ia memegang tangan yang tadi disentuh oleh Dira. Sambil memejamkan matanya, ia mengecup tangan bekas sentuhan Dira.

Saat ia membuka kedua matanya, sekali lagi hanya senyuman yang tampak di wajahnya. Farhan tersenyum saat ia mengingat wajah Dira yang terlihat sangat cantik saat tertawa tadi.

Farhan membuka laci meja kerjanya. Dari sana dikeluarkannya sebuah foto, seorang gadis berseragam SMP. "Andai kamu tahu aku merindukanmu tiap hari. Andai kamu tahu aku menyukaimu sejak dulu. Namun, kamu tidak pernah melihatku. Tapi kali ini aku tidak akan melepaskanmu."

@@@

Sesuai janjinya Azka pun menjemput Dira di rumah sakit. "Kamu terlihat bahagia sore ini?" Dira menoleh kearah Azka. Dan mengangguk.

"Apa ada kejadian lucu atau apa kamu memenangkan undian?"

Dira mengangguk sekali lagi. "Kamu tahu nggak suster Dina yang aku mau kenalin sama kamu di kantin tadi, terus tiba-tiba kabur."

Azka mengangguk pada Dira. "Iya aku ingat, ada apa dengannya?"

"Ia kabur gara-gara, nggak bisa tenangin jantungnya pas ketemu sama kamu. Sepertinya Dina itu suka sama kamu ka?"

Azka hanya tersenyum pada Dira. Tidak menanggapi ucapannya. "Jadi kita kemana?" tanya Azka mengalihkan pembicaraan mereka.

"Kamu antar aku pulang, setelah itu kita keliling makassar."

@@

Azka dan Dira menikmati malam ditepi pantai Losari. Sambil menikmati makanan khas Makassar pisang epe. Sesekali mereka tertawa dan saling bercerita akan yang terjadi sejak mereka tidak bertemu.

"Apa kabar Ela, Ka?"

"Ela baik, begitu juga dengan Bayu."

Mendengar nama Bayu, tubuh Dira menegang. Bahkan hanya sebuah nama mampu memberikan efek luar biasa. Melihat sikap Dira, Azka tahu jika Dira masih menyimpan nama Bayu di hatinya. Namun, ia sudah bertekat akan membuat Dira melupakan Bayu.

"Apa kamu bahagia tinggal disini?"

Dira mengangguk. "Iya Ka. Setidaknya di sini aku merasa jauh lebih baik."

"Lalu sampai kapan kamu disini?"

Dira hanya menggeleng. Ia pun tak tahu sampai kapan akan di sini. "Aku suka di sini. Mereka semua sangat baik padaku."

Azka tersenyum pada Dira, sesekali merapikan helai rambutnya yang ditiup angin. Lalu menatap Dira dalam. Dira yang sadar ditatap seperti itu oleh Azka, merasa aneh. "Jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku salah tingkah."

Azka tidak menggubris ucapan Dira. Ia hanya diam menatapnya dalam. Merasa tidak mendapat tanggapan akan ucapannya, membuat Dira menjadi salah tingkah.

Azka mendekatkan dirinya ke arah Dira. Diusapnya rambut Dira lembut. Diciumnya keningnya seraya berkata, "Aku sayang kamu Dira."

Dira terdiam, jantunngya berdetak kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Azka membelai pipi Dira lembut, diusapnya pelan. "Kamu tahu, sejak dulu aku menyukaimu."

Dira salah tingkah, sungguh ia masih tidak tahu harus berkata apa. "Ikutlah denganku, kita pulang dan memulai hidup yang baru. Menikahlah denganku Dira?"

Deg....

Jantung Dira berdetak kencang saat ia mendengar apa yang  Azka katakan. Azka menyukainya? Azka melamarnya? Ia tak tahu harus menjawab apa. Bingung menderanya. Berbagai pertanyaan muncul dibenakanya. "Haruskah aku menerimanya sementara hatiku masih memikirkan Bayu. Tapi, menolak pun aku tak bisa."

"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku akan menunggumu. Aku tahu kamu belum bisa melupakannya. Tapi, bagiku itu bukan masalah. Karena aku percaya, kelak aku pasti bisa membuatmu menghilangkan nama Bayu di hatimu. Aku hanya ingin kamu tahu, jika aku menyukai dan menyanyangimu." Penuh keyakinan dan kelembutan Azka memgatakannya. Tanpa sekalipun ia mengalihakan tatapannya dari Dira.

"Kamu mau kan mempertimbangkannya?" sekali lagi ucap Azka.

Dira mengangguk. Setidaknya ia harus memberikan kesempatan pada Azka. Pria yang selalu melewati hari bersamanya sejak Bayu memilih pergi darinya.

Azka tersenyum, lalu kembali mengecup kening Dira.

@@

Tiga hari Azka di Makassar, selama waktu itu pula Dira dan Azka menghabiskan waktu bersama. Malam ini Azka akan kembali ke Jakarta, karena pekerjaan yang diperintahkan omnya telah beres.

Ia sebenarnya masih ingin berada di sini. Hanya saja, perusahaannya di Jakarta pun menunggunya. Sejak hari pernyataan Azka pada Dira tidak sekalipun ia menyinggungnya. Sekalipun ia benar-benar ingin tahu jawaban dari Dira.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam WITA saat mereka tiba di Bandara Sultan Hasanuddin. "Jadi kau benar akan pulang hari ini?"

"Ya, seperti yang kau lihat. Walaupun aku ingin di sini denganmu."

Dira menatap Azka lembut. Bahkan sampai hari ini ia tidak tahu harus menjawab apa. Dira masih bimbang pada dirinya. Rasa bersalah muncul seketika. Azka terlalu sayang untuk ditolak. Tapi, menerimanya saat ini bukan pilihan yang tepat. Mengingat sekarang hatinya masih berpusat pada satu sosok yaitu Bayu.

"Ada apa? Mengapa menatapku seperti itu?" tanya Azka.

Dira hanya tersenyum, dan memeluk Azka. Azka cukup terkejut dengan pelukan yang diberikan Dira. Namun segera dibalasnya pelukan itu dengan eratnya.

"Ka... kamu mau kan menungguku sampai aku siap menjawabnya?"

Azka melepaskan pelukan mereka. Mengenggam tangan Dira erat. "Dengar! Sampai kapan pun, aku akan menunggumu sampai kau siap. Dan apa pun jawabanmu nanti, aku pasti akan menerimanya. Dan itu tidak akan merubah hubungan kita. Aku akan tetap disisimu menyanyangimu."

Dira meneteskan air mata. Sungguh, ia tidak ingin menggantung Azka seperti ini. Hanya saja, ia benar-benar belum siap untuk menjawabnya. Ia bahkan tidak tahu, apa yang dirasakannya pada Azka.

Azka sendiri sebenarnya sangat ingin mendengar Dira berkata ya. Namun ia tidak ingin memaksakan kehendaknya. Setidaknya ia sudah merasa tenang telah mengutarakan isi hatinya.

"Aku harus masuk, sebentar lagi pesawat akan segera berangkat. Kamu hati-hati di sini dan jaga kesehatan.Aku akan selalu menghubungimu."

"Kamu juga Ka, hati-hati."

Azka pun masuk ke dalam Bandara meninggalkan Dira dengan kebimbangannya.

@@@

Pagi-pagi sekali Farhan sudah tiba di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini ia tidak bisa tidur dengan baik. Fikirannya tertuju pada Nadira dan Azka. Terlebih selama tiga hari ini Dira tidak masuk bekerja. Dira memilih cuti, hanya untuk menemani Azka.

Farhan tidak hentinya mengumpat. Sungguh ia sangat kesal pada dirinya yang hanya bisa diam dan tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan mendekati Dira saja sudah mampu membuatnya gugup. Sikap gugupnya inilah yang membuatnya menjadi kadang bersikap datar, dingin dan ketus di hadapan Dira.

"Arggghhhhh... apa yang harus kulakukan."

Drrttttt....

Bunyi suara ponsel berhasil mengalihkan fikirannya. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya ia langsung mengangkatnya.

"Halo, assalamualaikum." Suara lembut terdengar dibalik ponselnya. Dahi Farhan mengerut. Ia lalu melirik ponselnya. Dan senyumnya seketika mengembang melihat siapa yang menghubunginya.

"Nadira," panggilnya, suaranya bahkan terdengar nyaring.

"Halo, dokter Farhan."

"Iya. Halo. Ada apa Dira?" Farhan tampak berusaha mengatur detak jantungnya yang semakin kencang. Untung saja gadis itu tidak ada di hadapannya saat ini.

"Bukankah hari ini kita akan berkunjung ke desa terpencil lagi dok, apakah dokter lupa? Sudah sejak tadi saya menunggu panggilan dokter."

Farhan merutuki dirinya, bagaimana bisa ia melupakan jadwal rutin yang sudah ia atur sedemikian rupa. Tampaknya cinta membuatnya tidak bisa fokus.

"Maaf, saya ada sedikit urusan. Tapi, sepuluh menit lagi saya akan segera turun."

"Baik dok, saya akan menunggu dokter di Lobby."

Farhan terduduk lemas dikursinya usai mematikan ponselnya. Sungguh ia merasa tidak sanggup bernafas. Dilonggarkannya dasi pada kemejanya. "Aku harus memilikinya segera. Lama-lama aku bisa gila karena memikirkannya."

Saat dirasakan perasaannya telah stabil, Farhan pun turun ke lobby. Disana dilihatnya Dira sedang tersenyum pada beberapa suster. Melihat hal itu, sudut bibirnya pun terangkat membentuk senyuman. "Cantik," gumamnya.

Dira menghentikan tawanya saat ia melihat Farhan berdiri di sampingnya. Dira menatap Farhan dari bawah sampai atas, "Seperti biasa tampan."

"Kau akan jatuh cinta padaku, jika terus menatapku seperti itu," ucap Farhan yang berhasil membuat Dira terkejut. Karena tertangkap basah.

"Sial," rutuknya pada dirinya. "Bagaimana bisa aku tertangkap basah melihat dokter Farhan?" Dira hanya tertawa tipis, untuk menyembunyikan kegugupannya. Sedangkan Farhan tertawa dalam hati melihat wajah salah tingkah gadis di hadapannya ini.

Farhan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Dira. Membuat Dira sangat gugup.

Dari jarak dekat Dira bisa melihat wajah dokter Farhan. Aroma green tea tercium dari tubuh Farhan. Tanpa sadar Dira memejamkan kedua matanya. Menghirop aroma itu dalam-dalam. Sungguh menenangkan dan membuatnya nyaman.

Farhan menatap wajah gadis di hadapannya ini.  Awalnya dia hanya ingin membisikkan sesuatu. Namun saat dilihatnya wajah Dira dari dekat, dengan kedua mata yang tertutup sontak membuat Farhan terkejut.

Farhan menatap bibir Dira yang merah. Tanpa sadar, Farhan mengecup pipi Dira. Dira terkejut dengan perlakuan Farhan.

"Kau semakin cantik jika pipimu merona seperti itu," ucap Farhan seraya berlalu meninggalkan Dira yang masih terkejut akan ciuman dipipinya.

Sementara itu Dina dan Hilda yang tidak sengaja lewat pun tertawa dan berteriak. "So sweet, yang dapat ciuman dipipi pagi ini." Semakin membuat Dira menunduk dan merona.

Dira mengabaikan teriakan dan ledekan Dina dan Hilda. Terburu-buru Dira ke luar dari rumah sakit, sambil memegang jantungya yang lagi-lagi berdetak kencang. "Tiga orang pria membuat jantungku berdetak."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas