PH-03

Sejak kejadian malam itu, Dira dan Bayu tidak pernah lagi bartemu. Kalaupun secara tidak sengaja mereka berpapasan, Dira dan Bayu lebih memilih diam. Keduanya sama-sama bungkam. Tidak ada yang hendak mau memulai pertama untuk menyapa. Sekalipun Bayu bingung akan sikap Dira, namun urung ia tanyakan. Baginya diam mungkin lebih tepat saat ini. Bayu hanya berfikir mungkin saja Dira membutuhkan waktu sendiri saat ini. Sekalipun sudut hatinya menyangkal itu. Entah mengapa, ia merasa sikap Dira yang seperti ini ada hubungannya dengannya. Namun ia bingung, bahkan kepalanya nyaris sakit memikirkan apa gerangan yang membuat Dira menjauhinya.

Dira yang hangat, dan ceria. Selalu menyambutnya dengan senyuman dan tawa tidak pernah lagi Bayu temukan. Satu pertanyaan menggelitik batin Bayu, "Ada apa dengan diriku? Melihat Dira menangis, mengapa aku merasa, seakan aku yang membuatnya menangis?"

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Biasanya pada jam seperti ini, Bayu dan Dira tengah duduk santai di taman halaman kampus. Tempatnya yang dipenuhi pepohonan hijau sehingga sangat sejuk. Dan menjadi tempat favorit para mahasiswa dan mahasiswi untuk melepaskan penat mereka dari rutinitas aktivitas kampus. Biasanya Bayu dan Dira menghabiskan waktu di taman tersebut. Saling berbagi cerita atau terkadang hanya sekedar diam menikmati hembusan angin dan pepohonan hijau yang sengaja dibuat oleh pihak kampus.

Bayu menghirup udara dalam-dalam. Rindu datang begitu saja menggerogoti hatinya. Rindu akan kehadiran Dira seperti dulu disisinya. Bayu memejamkan kedua matanya. Perlahan ingatan akan kekonyolan mereka dahulu berputar kembali bak film di kepalanya. Tanpa sadar bibirnya membentuk senyuman tipis. Hatinya perlahan berbisik. "Aku merindukanmu."

"Aku juga merindukanmu." Sekonyong-konyong Ela muncul di hadapan Bayu. Membuat pria yang tadi memejamkan mata tersebut terbuka lebar. Sedikit terkejut menemukan Ela duduk di hadapannya.

Ela tersenyum. Senyuman yang sangat manis, bahkan lebih manis dari gula. Setidaknya begitu Bayu selalu mengatakannya.

"Kamu lagi ngapain di sini?"

Bayu masih diam mematung. Antara sadar dan tidak sadar. Fikirannya masih bercabang.

"Bayu," panggil Ela lagi sedikit keras namun sukses membuat Bayu menyadari kehadirannya.

"Y... ya," terbata-bata Bayu berbicara.

Ela mengerucutkan bibirnya. Keningnya mengerut, bingung akan sikap Bayu.

"Kamu kenapa?" Ada nada khawatir tersirat dari suara Ela saat bertanya. "Kamu sakit?" Lanjutnya lagi. Sambil menyentuh kening Bayu. Lalu membandingkan dengan keningnya. "Tapi, kamu nggak demam kok."

Bayu tersadar saat tangan lembut Ela menyentuh keningnya. Fikirannya akan Dira sebisa mungkin sementara waktu ia singkirkan. Senyum tipis terukir dibibirnya, saat ia berhasil menemukan kesadarannya.

"Sudah lama?" tanyanya pada Ela.

Alih-alih menjawab, Ela menjawabnya dengan dengusan. Merasa kesal karena ternyata sejak tadi Bayu tidak menyadari kehadirannya.

"Menurut kamu?"

Bayu tahu, sepertinya ia baru membuat kesalahan. "Maaf mengabaikanmu tadi."

"Kamu lagi mikirin apa sih." Ketus Ela mengatakannya.

"Nggak mikirin apa-apa." Bohong Bayu mengatakannya. Tidak mungkin ia berkata jika yang ia fikirkan adalah Dira.

"Bohong. Aku bahkan dengar kamu bilang tadi, aku merindukanmu."

"Owh ya? Kurasa kau salah dengar." Bayu mencoba menampik perkataan Ela.

"Salah dengar gimana. Aku kan dengar jelas tadi." Entah mengapa Ela merasa Bayu menyembunyikan sesuatu. Dan sudut hatinya sedikit terganggu akan hal itu.

Tidak ingin berdebat, Bayu malah tersenyum. Membawa Ela ke dalam pelukannya. Untungnya Ela tidak protes saat Bayu mencoba mengalihkan pembicaraan mereka dengan pelukan. Ela tidak menampik, hatinya masih kesal. Ia ingin bertanya lebih. Namun, pelukan Bayu saat ini sudah cukup menenangkannya. Fikiran positif pun sebisa mungkin ia tanamkan di kepalanya. "Mungkin Bayu benar, ia sedang bermimpi tadi."

"Kelasnya sudah selesai?" tanya Bayu, usai melepaskan dekapannya.

"Belum, masih ada satu kelas lagi. Namun masih ada lima belas menit dari jadwal. Tadi rencananya mau ke kelas Dira sembari menunggu jam kelas di mulai. Tapi, saat aku menghampiri fakultas Dira, mencarinya di sana aku nggak menemukannya. Katanya sih, Diranya nggak masuk. Pas mau balik ke tempatku, eh liat kamu lagi duduk disini."

Bayu cukup terkejut begitu tahu, Dira tidak masuk kuliah. Hatinya bertanya apa gadis itu sakit? Karena setahunya selama ini, Dira anak yang sangat jarang sakit. Bahkan sekalipun sakit Dira tetap memaksakan dirinya ke kampus.

Bayu lagi-lagi diam, fikirannya tertuju pada Dira. Antara cemas dan bingung bercampur jadi satu. Ia kembali mengabaikan kehadiran Ela.

"Bay kok diam sih, berasa ngomong sama tembok nih." Gerutu Ela, wajahnya terlihat masam, kesal karena lagi-lagi Bayu mengacuhkannya.

Bayu tersadar, tersenyum tipis ke arah Ela. Merasa bersalah karena telah mengabaikan sang kekasih. "Maaf!"

Ela mengerucutkan bibirnya, menatap Bayu tak suka. "Fikiran kamu nggak di sini ya. Kamu mengabaikanku."

Bayu menarik napas panjang lalu meraih jemari Ela. Menautkan jemari mereka. "Kamu lihat ini," sela Bayu, seraya memperlihatkan jemari mereka yang saling bertautan.

Ela mengangguk, dan tidak menjawab. Kelopak matanya mengerjab-ngerjab tidak mengerti maksud ke kasihnya itu.

"Kita itu satu. Seperti Jemari ini yang saling terikat jika dikaitkan satu sama lainnya, seperti itu pula aku kekamu. Kaitan ini akan terlepas jika salah satu dari kita hendak melepaskannya. Tapi, sayangnya, aku tidak berencana melepasnya. Sekali aku sudah mengaitkannya, seumur hidup kamu akan terus terikat denganku."

Ela tersenyum tipis. Matanya terlihat berkaca-kaca. Rona merah  tercetak jelas dikedua pipinya. Kata-kata Bayu sukses membuatnya terbang ke langit. Ia bingung, tidak sanggup lagi mengukir perasaan apa yang ia rasakan saat ini. Haru dan Bahagia bercampur jadi satu.

Bayu mengusap lembut pipi kekasihnya. Menatap Ela penuh cinta. "Maaf, karena aku sempat memikirkan hal lainnya."

"Jangan marah lagi ya!" pinta Bayu yang dijawab anggukan oleh Ela.

"Bay, boleh nanya nggak?"

"Apa?"

"Kamu lagi mikir apa? Sejak tadi kuperhatikan kamunya banyak diam? Kalau kamu ada masalah, kamu cerita sama aku." Ela menatap lembut kekasihnya itu.

Bayu tersenyum simpul, kembali diraihnya jemari Ela. "Aku baik-baik saja. Kamu nggak perlu khawatir."

"Kamu yakin?" Terdengar ragu saat mengatakannya. Ela mengamati sang kekasih, namun yang ia lihat pria itu tampak tenang seakan tidak ada masalah. Tidak ingin memaksa Ela memilih diam.

Sementara Bayu sebisa mungkin tidak menunjukkan, jika ia memikirkan Dira akhir-akhir ini. Ia hanya tidak ingin Ela ikut khawatir atau bahkan berfikir yang tidak-tidak. Bagaimanapun ia harus bisa menjaga perasaan kekasihnya. Tidak ada maksud ingin menyembunyikannya.

Perubahan pada Dira cukup hanya ia yang rasa. Ela tidak perlu tahu. Karena faktanya Dira hanya menghindari dirinya dan Ela sedangkan dengan yang lain tidak. Bayu bersyukur karena kesibukan Ela, dan waktu kekasihnya itu lebih banyak mereka habiskan bersama sehingga Ela tidak perlu merasakan perubahan Dira. Cukup ia yang merasakan dan tahu itu.

Selain itu, Bayu hanya berusaha menjaga perasaan Ela. Ia tahu bagi wanita pasti akan tidak menyenangkan jika pacarnya terlalu memikirkan sahabatnya terlebih sahabatnya itu wanita. Bayu mungkin berfikir picik dan negatif jika Ela akan memiliki fikiran itu. Namun, sebisa mungkin ia hanya menghindari hal-hal yang bisa saja menimbulkan masalah pada hubungannya dengan Ela sekalipun Dira juga sahabat Ela. Tidak ada yang tahu bukan, apa yang akan terjadi ke depannya.

"Ya udah, kalau kamunya nggak mau cerita. Tapi kapan pun kalau kamu merasa nggak bisa lagi menampung semuanya sendiri, kamu boleh cerita sama aku. Aku akan selalu ada buat kamu."

Bayu mengangguk. Mulutnya melengkung membentuk senyuman. Sambil mengusap pipi Ela dengan lembut dan penuh cinta.

"Makasih. Aku beruntung punya pacar kayak kamu." Ela tersipu mendengarnya membuat pipinya membentuk warna merah muda.

"Gombal. Tapi aku suka." Ela menatap Bayu penuh cinta. "Aku juga beruntung punya pacar kayak kamu Bay."

Tak ada balasan yang Bayu keluarkan. Namun, tatapannya tidak pernah beralih dari wajah sang kekasih. Sungguh keduanya terlihat benar-benar saling mencintai. Bahkan beberapa mahasiswa lain yang melihatnya terlihat berbisik iri melihat kemesraan Bayu dan Ela. Tidak ada ciuman atau pelukan- pelukan seperti pasangan di luar yang sering mengumbarkan kemesraan di depan umum. Namun aura cinta dari keduanya, terpancar jelas dari tubuh mereka.

"Kamu nggak masuk kelas?"

"Upsss, gawat. Aku telat Bay."

Ela bergegas berdiri, berlari menjauh dari Bayu. Namun, gadis itu kembali memutar tubuhnya mendekati kekasihnya.

Cup

Ela mengecup pipi Bayu, lalu kali ini benar-benar berlari menjauh dari Bayu. Sementara itu Bayu yang terkejut akan ciuman tiba-tiba Ela dipipinya hanya melongo. Tangannya terus mengusap pipinya sembari menatap punggung Ela yang perlahan menjauh.

@@

Dira lagi-lagi termenung di kamarnya. Hari ini ia kembali memutuskan untuk tidak ke kampus. Semalam ia tidak dapat tidur. Kejadian tempo hari masih berputar di kepalanya.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Dira menghela nafas panjang. Tubuhnya seakan malas beranjak dari tempat tidur. Namun, bagaimana pun malasnya ia tetap harus bangun. Cacing di perutnya sudah meronta-ronta meminta makanan. Maklum saja sejak beberapa hari ini Dira jarang makan.

Tanpa perduli kondisi dan keadaannya yang sangat kusut sekarang Dira turun ke dapur mencari makanan yang bisa dimakan. Untung saja Mama dan papanya masih diluar kota, sementara kakaknya mungkin saat ini tengah bekerja.

Dira menatap meja makan di mana di atasnya tersaji makanan kesukaannya. Ada sayur bening, ikan bakar dan sambal terasi.
"Bibi tahu aja aku lagi mau makan ini."

Dira pun makan dengan lahapnya. Bahkan ia tidak sadar jika sang mama dan papanya sudah berdiri di depannya menatapnya heran.

"Gimana makanannya de', enak?"

"Iya bik, enak. Bibi tahu saja Dira lagi mau makan ini."

Dira yang masih tidak sadar jika orang yang berdiri di hadapannya adalah mamanya.

"Sudah berapa hari kamu nggak makan? Dan coba lihat wajahmu sekarang, seperti pengemis begitu." Diana menyindir putrinya. Terlihat heran dengan tampilan Dira yang berantakan. Belum lagi, cara makan anak gadisnya itu, seakan-akan berhari-hari ia nggak makan.

Dahi Dira mengerut seakan mengenali sang empunya suara. "Seperti suara mama?"

"Iya ini mama, bukan seperti lagi!" Tekan Diana saat mengatakannya. Membuat Dira menghemburkan makanan dari dalam mulutnya ke luar saking terkejutnya.

Dira menoleh ke arah mamanya. Terkejut tentu saja. Setahunya mamanya masih di luar kota bersama papanya. Tapi, coba lihat sekarang, kedua orang tuanya bahkan berdiri di hadapannya. Dan parahnya Dira tidak menyadari itu. Ia terlalu asyik menyantap makanan yang dibuat pelayan rumah tangga mereka.
Dira menghela napas panjang, setelah ini mamanya pasti akan bertanya macam-macam.

"Mama sudah pulang. Papa mana?"

"Papa disini Dira, jawab Narendra papanya.

"Kalian kapan datang? Kok bibi nggak bilang mama dan papa sudah pulang?"

"Gimana mau bilang sama kamu, kata bibi kamunya nggak mau diganggu dan beberapa hari ini kamu jarang ke luar kamar. Bahkan nggak kekampus. Lihat penampilanmu, mama berasa lihat hantu."

Rendra memilih diam dan tidak berkomentar akan penampilan anaknya. Baginya hal seperti ini adalah urusan wanita. Namun, jika menyangkut keselamatan dan kehormatan anak dan istrinya ia adalah orang pertama yang akan membelanya.

Dira hanya diam tidak menanggapi ucapan mamanya. Ia memilih tidak banyak bicara. Karena ia pun bingung, akan menjawab apa, jika saja mamanya semakin bertanya padanya.

"Sekarang kamu ke kamarmu dan lihat dirimu dicermin bagaimana penampilanmu bagus apa tidak." Perintah Diana penuh penekanan pada suaranya. Tidak ingin Dira membantahnya. Dira mengangguk dan seakan mengerti titah ratu di rumahnya ia pun berdiri meninggalkan santap siangnya. Kemudian berlalu meninggalkan mamanya menuju kamar tidurnya.

Sejujurnya Diana cukup khawatir akan keadaan Dira akhir-akhir ini. Terlebih apa yang ia lihat siang ini. Matanya sembab, bibirnya pucat dan kering. Rambutnya terlihat tidak disisir, bajunya acak-acakan ditambah lagi bawahan mata yang hitam. Namun diurungkan niatnya untuk bertanya saat ini.

Dira masuk ke dalam kamarnya. Menatap wajahnya di balik cermin. Di sana benar-benar terlihat gadis yang mengenaskan. Persis seperti penjabaran mamanya. Dia mirip hantu. Tepatnya hantu yang patah hati.

Dira memutuskan untuk mandi. Namun saat hendak melangkah, suara mobil dari depan rumahnya membuat ia mengalihkan pandangan ke arah jendel dan mengintip diam-diam keluar.

Dan sungguh Dira merutuki dirinya. Menyesali rasa penasarannya. Dira merutuki dan memaki dirinya. Harusnya ia tidak perlu mengintip Bayu dari balik jendela kamarnya. Karena lagi-lagi hanya kekecewaan yang ia dapati.

Di sana, dari balik jendela, Dira bisa melihat bagaimana Bayu dan Ela terlihat begitu mesra. Mereka berdua tertawa dengan bahagia. Sedangkan di sini dirinya sangat mengenaskan terlebih dengan penampilannya.

Dari bawah, seakan Bayu tahu jika seseorang tengah melihatnya. Bayu menoleh, sudut matanya menangkap seorang tengah menatapnya dari balik jendela. Ia tahu siapa itu. "Dira," lirih batinnya memanggilnya.

@@

Bayu terlihat gelisah di dalam kamarnya. Fikirannya tertuju pada Dira. Hatinya terus bertanya. Apa yang terjadi pada gadis itu?

Bayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesekali menekan pelipisnya yang terasa sakit. Kepalanya dipenuhi tanda tanya, ada apa dengan Dira?,

Tak tahan lagi, Bayu memutuskan untuk ke rumah Dira. Setidaknya ia harus mencari tahu keadaan gadis itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Dira ada bik?"

"Eh mas Bayu, Non Diranya gak ada, dia baru saja pergi sama ibu."

"Kemana Bi?"

"Gak tahu mas."

Bayu tampak lesu karena sosok yang ingin ditemuinya tak ada dirumahnya. Bayu hendak melangkah keluar dari pekarangan Dira, namun terhenti saat mama Bayu menuju kearahnya.

Mila yang melihat kehadiran Bayu diluar rumah Dira, membuatnya bertanya pada anaknya.

"Loh Bayu... ngapain kamu disini?"

"Mau ketemu Dira ma, tapi orangnya gak ada, katanya keluar sama tante Diana."

Mila merasa heran dengan ucapan Bayu, karena baru saja Diana menghubunginya jika dia ada di rumah sekarang. Jadi gak mungkin kan Diana tiba-tiba gak ada dirumah.

"Diana ada kok di rumah, Dira juga. Yang bilang mereka keluar siapa Bay?"

Bayu mengerutkan dahinya. Heran tentu saja, Tadi setahunya bibi mengatakan Dira keluar tapi mamanya bilang Dira ada, apa pembantunya berbohong? Tapi untuk apa? Apa Dira yang memintanya? Tapi mengapa? Berbagai pertanyaan muncul dikepalanya.

"Mama mau ke dalam ketemu Mamanya Dira, kamu mau ikut?"

Bayu menganggukkan kepalanya jika dia ingin ikut. Saat hendak melangkah kembali ke dalam rumah Dira, Ela pun muncul ditempat tersebut.

"Yank... panggilnya pada Bayu. Bayu menoleh ke arah Ela. Bayu sedikit terkejut dengan Ela yang tiba-tiba muncul disini.

"Ela... kamu mau kemana?"

"Mau ketemu Dira. Tadi aku hubungi dia dan dia bilang kerumah saja."

"Jadi Dira ada di dalam dan Dira sengaja berbohong," ucap Bayu dalam hati.

"Kamu sendiri ngapain disini yank?"

"Mau ketemu Dira juga... penasaran kok dia gak kekampus." Bayu mencoba menutupi keingin tahuannya akan sikap Dira pada Ela.

"Oh... ya sudah kita masuk sama-sama saja." Bayu mengangguk, Ela mengaitkan tangannya pada Bayu. Keduanya bersama-sama masuk ke dalam rumah Dira.

"Assalamualaikum tante," ucap Ela dan Bayu bersamaan. Diana menoleh kearah Bayu dan Ela, dia pun tersenyum pada keduanya.

"Waalaikumsalam Ela dan nak Bayu. Kalian kok bisa barangen, janjian ya?"

"Gak kok tan, tadi ketemu didepan. Oh Iya... mama mana tan, tadi bukannya dia duluan masuk?"

"Mama disini Bay," ucap Mila dari arah Dapur. Bayu menoleh kearah mamanya, wanita itu tersenyum manis pada putranya.

Tatapan Mila beralih pada gadis disamping Bayu. Senyumnya mengembang melihat kehadiran gadis tersebut.

"Eh ada Ela juga, janjian sama Bayu ya? mau lihat Dira juga?"

"Gak kok tan, kebetulan ketemu di depan jadi sekalian saja sama-sama masuk ke dalam, kebetulan Bayu juga mau lihat Dira."

"Kalian kekamarnya saja, Dira ada diatas," ucap Diana pada Ela dan Bayu.

Bayu dan Ela melangkah menaiki satu demi satu tangga menuju kamar Dira. Tiba di depan kamar, Ela langsung membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ela cukup terkejut melihat Dira yang duduk diam ditepi jendela menoleh padanya dalam keadaan seperti habis menangis. Bayu yang ada disana pun cukup terkejut melihat Dira saat ini.

Ela melangkah memeluk Dira. "Kamu kenapa Ra? bilang sama aku kalau kamu ada masalah?"

Dira hanya diam dan menangis dalam pelukan Ela. Sungguh dia ingin berkata jika aku menangis karena kau telah mengambil Bayu dariku. Maukah kau melepasnya untukku? Namun, Dira tidak sanggup mengatakan hal itu. Ia bahkan tidak sadar akan keberadaan Bayu kamarnya, disisi lain Bayu terus mengamati dalam diam keadaan Dira saat ini.

"Kamu kenapa Nadi?" akhirnya Bayu mulai bicara.

Suara maskulin yang sangat dirindukannya selama ini terdengar jelas ditelinganya.

Dira menoleh kearah Bayu, sungguh dia terkejut bukan main, di depannya saat ini ada Bayu. Bayu yang dicintainya. Bayu yang dirindukannya.

Dira merutuki dirinya yang tampak kacau saat ini. Mengapa Bayu harus melihatnya dalam keadaan kusam dan kusut seperti ini. Dira merasa gugup dan jantungnya berdetak tidak karuan. Bayu menatap Dira secara intenz. Dira menunduk dan tidak tahu harus berkata apa. Hening terjadi diantara mereka. Dira membisu, begitupun Bayu.

Ela yang tidak mengerti pun akhirnya mencoba mengalihkan keheningan ini. "Dia mau melihat kamu juga Ra. Kami kesini bersama."

Hati Dira meremang dan perih mendengar ucapan Ela. Sungguh dia tidak menyukai situasi saat ini. Kedua orang yang tidak ingin kamu lihat malah muncul dihadapanmu bersama-sama.

Tepatnya orang yang tidak ingin dilihat Dira saat ini adalah Bayu, karena Ela dia sendiri setuju jika gadis itu datang kerumahnya. Namun bukan berarti dia menyukai keadaan dimana dia harus berada ditengah antara Bayu dan Ela. Dira membenci situasi ini.

"Kamu kenapa Nadi?" Sekali lagi Bayu menanyakan hal yang sama pada Nadira.

"Aku baik. Kalian pulanglah. Aku ingin istirahat." Nada bicara Dira yang terkesan dingin dan tidak bersahabat juga ditangkap oleh Ela. Ela semakin heran akan sikap Dira pada Bayu. "Sepertinya mereka memiliki masalah."

Bayu hanya bisa diam mendengar perkataan Dira yang dingin dan seperti menahan amarah padanya. Tapi salahnya apa? Bahkan setahunya Bayu bahkan sering mengalah pada Dira.

Kepalanya terasa sakit dan sesekali Bayu menekan pelipisnya. Tidak jarang dia menghela nafas panjang. Bayu bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Mungkin benar kata Dira sebaiknya dia pulang, berada disini rasanya juga tidak nyaman baginya. Bayu bahkan ingin berteriak pada Dira dan bertanya akan sikapnya padanya. Namun hal itu diurungkannya melihat Ela ada disini.

"Aku pulang," ucap Bayu dingin pada Dira. Bayu keluar dari kamar Dira tanpa menghiraukan panggilan dari Ela.

Ela yang sejak tadi diam akhirnya memutuskan menyusul Bayu keluar meninggalkan Dira dikamarnya.

Sementara itu Dira tidak kuasa menahan tangisnya. Sesekali menekan dadanya yang sesak. Arghhhhhh... dia hanya mampu berteriak dalam diamnya.

Dari luar Diana yang tidak sengaja melihat anaknya menangis sekalipun wajahnya tertutup dari balik bantal menghela nafas. Matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya selama Dira tumbuh menjadi seorang gadis dia melihat anaknya menangis seperti ini. Dan Diana tahu Dira menangis hanya karena satu alasan, anaknya mencintai Bayu kekasih Ela. Tepatnya anaknya saat ini sedang patah hati.

Diana meninggalkan Dira, tidak mendekatinya sedikit pun. Membiarkan Dira menangis hingga puas. Biarlah seperti ini dulu karena dia tahu saat anaknya tidak mampu mengatasi lukanya, Dira pasti akan datang padanya. Karena Diana tahu yang dibutuhkan anaknya saat ini adalah ketenangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10