PH-04

Pernahkah kalian mendengar jika jarak bahagia dan luka itu sangat tipis, atau pernahkah kalian dengar saat kamu siap jatuh cinta kamu pun harus siap terluka. Cinta dan luka akan selalu bergandengan karena tidak selamanya cinta dipenuhi kebahagiaan ada kalanya luka dan sedih ikut serta didalamnya.

Dan Dira tahu itu. Sayangnya ia tidak pernah tahu kalau rasa sakitnya itu dua kali lebih sakit dari teriris pisau. Dalam kebingungannya ia masih merasa sulit mengobati hatinya yang patah. Selain menghindari mereka. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengobati luka di dalam hatinya. Sudah dua minggu ini, ia menjauh dari Bayu dan Ela. Hatinya masih belum siap berhadapan langsung dengan mereka.

Berbeda dengan Dira, Bayu sendiri semakin hari semakin bingung. Bahkan terkadang ia terlihat uring-uringan memikirkan Dira. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya. Apa salahnya sampai gadis itu menjauhinya.

Sementara Bayu yang bimbang dengan hatinya, Ela sendiri tidak ambil pusing mungkin karena ia tidak terlalu memperhatikan perubahan sikap Dira. Dikarenakan saat ini ia sedang fokus pada skripsinya.

@@

Suasana makan malam di kediaman keluarga Narendra terlihat hening. Hanya suara sendok saat bersentuhan dengan piring yang terdengar. Dari tempat Diana duduk, ia menatap wajah sembab putrinya. Sudah berhari-hari ia menyaksikan perubahan sikap Dira. Ditambah lagi, gadis itu tidak pernah beranjak dari kamarnya. Kecuali untuk makan seperti ini. Itupun terkadang ia memaksa putrinya. Belum lagi beberapa hari ini wajah putrinya terlihat selalu sembab. Ada sesak menyeruak didadanya. Sebagai seorang ibu ia khawatir. Malam ini usai makan malam, ia akan berbicara dengan putrinya.

Dalam keheningan malam, santapan malam kali ini terlihat kaku. Narendra dan Diana saat ini hanya bisa diam melihat putrinya yang beberapa hari ini jauh lebih pendiam. Bahkan Dimas kakak Nadira pun, mengerutkan dahinya melihat keadaan adiknya yang tidak seperti biasanya. Kesibukannya di kantor membuatnya jarang menghabiskan waktu di rumah.

Usai makan malam, Dira seperti biasanya kembali ke kamarnya. Dan itu tidak lepas dari pandangan Narendra dan Diana. Melihat sikap adiknya itu, Dimas memutuskan untuk bertanya pada adiknya. Dia tidak mau tinggal diam saja. Diana yang melihat Dimas hendak mengikuti Dira pun bertanya padanya. "Mau kemana Mas?"

Dimas menoleh pada mamanya. "Mau ke kamar Dira ma. Dimas mau ngomong sama Dira."

Diana mengangguk pada Dimas. "Jangan dipaksa ya Mas! Kalau Diranya belum mau cerita."

Dimas hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu meninggalkan ayah dan mamanya menuju kamar adiknya.

Tok... Tok...

"Dira... ini kakak! Boleh kakak masuk?" Karena tidak ada sahutan dari dalam, Dimas memutuskan masuk ke dalam. Untung saja pintunya tidak dikunci.

Clekkk....

Dimas membuka pintu kamar Nadira. Gelap itu pertama yang didapatnya saat memasuki kamar itu. Diambilnya ponsel di saku celananya yang akan ia gunakan sebagai penerangan. Dimas berjalan masuk ke dalam kamar Dira, dibalik cahaya yang remang-remang, Dimas melihat adiknya berdiri menghadap ke arah luar jendela.

"Dek," panggil Dimas pelan namun sepertinya tidak Dira sadari. Gadis itu bahkan tidak menyadari kehadiran kakaknya.

Dimas menghela napas panjang. Lalu berjalan menghampiri Dira. "Dek," panggilnya lagi sambil mengusap kepala Dira. Usapan lembut Dimas di kepalanya membuat Dira menoleh ke arah Dimas.

"Mas." Lirih Dira mengatakannya. Melihat respon Dira padanya, ia tersenyum lembut pada adiknya. Ditatapnya lekat wajah Dira saat ia berdiri tepat di hadapan sang adik. Mata yang sembab karena menangis dan menghitam karena tidak dapat tidur, itu yang Dimas lihat. "Kamu kenapa dek?"

"Kamu lagi lihat ap? Jendelanya kok nggak dibuka lebar? Kan gelap?"

Dira hanya diam tidak menanggapi ucapan kakaknya.

Dimas lagi-lagi menghela napas kesekian kalinya. Ia semakin yakin terjadi sesuatu pada Dira dan itu membuatnya benar-benar diliputi rasa cemas. Dimas pun menatap adiknya dalam, "Kamu kenapa? Kakak tanya kamu malah diam?"

Dira yang hendak menoleh ke arah Dimas mengurungkan niatnya. Suara mobil dari balik jendela mengalihkan pandangannya. Ia pun menoleh. Melihat itu, Dimas pun turut mengikuti arah pandangan Dira. Dari balik Jendela kamar adiknya, Dimas bisa melihat jelas siapa yang adiknya lihat. "Bayu." Batin Dimas mengatakannya. Sekarang ia mengerti apa permasalahannya. Adiknya patah hati, itu yang Dimas tangkap.
Sementara untuk kesekian kalinya lagi, Dira merutuki dirinya lagi. Untuk kesekian kalinya ia melihat kemesraan Bayu dan Ela dari balik jendela kamarnya.

Dimas yang melihat tubuh adiknya menegang. Dan setetes air mata perlahan mengalir diwajahnya. Tidak tega melihat adiknya yang menangis dalam diamnya. Ia pun memeluknya adiknya. Memberi kekuatan padanya. "Jangan ditahan, menangislah. Kakak di sini akan selalu mendampingimu."

Dimas membuka lebar jendela kamar Dira. Tindakan Dimas ini membuat Dira terkejut.

"Kak, apa yang kamu lakukan? Jangan dibuka, Dira nggak suka."

Dimas diam tidak menghiraukan ucapan adiknya. Dimas terus membuka lebar jendela itu. Kemudian menghampiri adiknya. Diusapnya kepalanya lembut dan memeluknya erat. "Kamu harus kuat. Jangan menghindarinya lagi. Kamu harus hadapi. Jangan menangis sendiri, ada kakak yang akan menemanimu?"

Dira semakin terisak. Tangisnya semakin lama semakin deras. Seakan melampiaskan semua kesedihan didadanya selama ini. Bahkan kemeja Dimas yang ia gunakan telah basah.

Mungkin karena air mata itu sudah cukup banyak keluar. Atau ia yang sudah terlalu lelah menangis, pelan-pelan Dira pun mulai menghentikan tangisnya. Sekalipun ia masih sesenggukan.

Dimas yang tidak lagi mendengar suara tangis Dira, memutuskan melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah sembab sang adik dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Kamu istirahat ya, kamu pasti capek?"

Dira menggelengkan kepalanya. "Kak, temani Dira ya! Dira mau ngomong sama kakak."

Dimas tersenyum pada adiknya dan menganggukkan kepalanya. Kemudian membantu Dira naik ke atas tempat tidur. Ia rebahkan tubuhnya disandaran tempat tidur tersebut. Dimas pun ikut berbaring disisi adiknya, memeluk Dira hangat dan penuh kasih sayang.

Dira diam dan sesekali menarik nafas panjang. Gugup itulah yang dirasanya. Dimas merasakan kegugupan Dira. Diusapnya bahu adiknya lembut. Sesekali diciumnya puncak kepalanya. "Kalau kamu belum mau cerita jangan dipaksa."

"Bayu." Lirih Dira mengatakannya.

Dimas diam, menunggu Dira melanjutkan perkataannya.

"Dira suka sama Bayu kak!" Ada nada getir saat Dira mengatakannya. "Tapi, Bayu memilih Ela." Matanya mulai berkaca-kaca saat ia mengatakannya. "Dira patah hati." Lirih Dira mengatakannya. Dimas bisa menangkap kesedihan adiknya dibalik suara Dira.

"Bayu tahu, kamu suka sama dia?" Dira menggeleng lemah.

"Bayu nggak tahu." Samar Dira mengatakannya namun masih bisa terdengar ditelinga Bayu.

"Kenapa kamu tidak mengatakannya? Siapa tahu Bayu memiliki perasaan yang sama denganmu."

"Dira takut kak. Dira nggak siap kehilangan sahabat."

Dimas menarik napas panjang. Ia paham betul bagaimana perasaan adiknya. Dimas menatap adiknya dalam. "Kamu tahu, lebih baik ditolak daripada diam."

"Ta... ta... tapi, bagaimana kalau setelah itu Bayu nggak mau lagi jadi sahabat Dira?"

Bayu menggeleng, begitu dangkalnya fikiran sang adik. "Dengar!Kakak tahu Bayu, percaya sama kakak, Bayu nggak akan meninggalkanmu hanya karena ia lebih memilih Elena. Tidak ada salahnya mencoba daripada diam dan hanya menangis seperti kelakuanmu sekarang. Ingat Tuhan nggak suka sama orang yang mudah putus asa dan menyerah. Soal diterima atau tidak itu urusan belakang. Setidaknya kamu bisa jauh lebih tenang jika kau sudah mengatakanya."

Dira diam, meresapi tiap apa yang Dimas katakan. Dira tahu, apa yang Dimas katakan benar adanya. Hanya saja nyalinya tidak sebesar itu untuk mengatakan isi hatinya pada Bayu. "Tapi, bagaimana dengan Ela? Aku takut dia tersinggung dan berfikir yang bukan-bukan?"

Dimas tersenyum, mengusap rambut adiknya yang panjang. "Dengar! Elena tidak akan tersinggung. Mungkin ia akan sedih karena diam-diam hubungannya dengan Bayu melukai sahabatnya. Namun, disatu sisi mungkin juga ia akan takut. Bagaimana jika Bayu berubah fikiran dan berpaling darinya? Terlebih Bayu lebih dahulu mengenalmu dibandingkan dirinya. Tapi, inilah ujian Bayu akan perasaannya pada Elena."

"Lalu bagaimana jika hubungan mereka kacau gara-gara Dira. Dira nggak mau itu terjadi?"

"Kakak nggak bisa jamin kalau hubungan mereka akan baik-baik saja setelah mengetahui isi hatimu. Tapi, kakak yakin semua akan baik-baik saja. Toh kamu nggak merebutnya. Kamu hanya mengatakannya. Jika Bayu berubah haluan, itu artinya dia laki-laki plin plan dan tidak punya pendirian. Laki-laki seperti itu tidak pantas untukmu. Kakak cuma berharap, bagaimanapun hubungan mereka, kakak nggak mau kamu membiarkan dirimu masuk dan terluka lebih dalam. Jika kamu tidak siap mengatakannya, kamu cukup menyimpangnya dalam hatimu. Jangan memaksakan melupakannya, biarkan semuanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang tahu jodoh. Hari ini mungkin Bayu bersama Elena. Namun, besok belum tentu. Bisa saja Bayu datang padamu atau orang lain. Kamu pun begitu, hari ini kamu menyukainya, namun besok bisa saja ada Bayu yang lain yang lebih kamu sukai. Melarikan diri bukan cara yang tepat untuk menyembuhkan luka. Malah akan semakin menggerogotimu. Jadi, kakak minta jangan melarikan diri lagi. Ingat! Kamu tidak sendiri ada kakak, papa dan mama yang selalu mendukungmu. Kapan pun kamu lelah, kamu tahu pada siapa kamu akan mengadu. Kami akan selalu ada untukmu selamanya."

Dira meneteskan air matanya. Hatinya menghangat. Sungguh ia sangat beruntung mempunyai kakak yang pengertian dan penyanyang. Dimas benar, hidupnya harus berlanjut. Ia harus bisa menghadapinya. Bukan melarikan diri seperti yang selama ini ia lakukan.

Dira memeluk kakaknya erat. "Makasih banyak kak. Dira sayang sama kakak."

Dimas membalas pelukan sang adik. "Kakak juga sayang sama Dira."

Malam itu untuk pertama kali, akhirnya Dira pun bisa tertidur dengan lelap lagi.

@@

Dira memasuki sebuah Cafe bersama Ela. Siang itu ia dan Ela memutuskan akan makan siang bersama. Kesibukan mereka di kampus membuatnya jarang bertemu. Mereka berdua saat ini berada disemester akhir. Itu artinya mereka disibukkan dengan skripsi dan koas. Ela mahasiswi fakultas Ekonomi UI sedangkan Dira mahasiswi fakultas kedokteran UI.

"Capek Dir." Ela mengeluh dan sesekali diusapnya keningnya yang tampak basah oleh keringat.

"Ditolak lagi?"

Ela mengangguk. Ini untuk kesekian kalinya lagi-lagi skripsinya ditolak dan memerlukan revisi yang sangat banyak.

"Dir, koasmu kan tinggal sebulan. Setelah itu, kamu akan bergelar dokter. Lalu, apa kamu mau langsung lanjut ambil spesialis? Kamu jadi mau ambil spesialis anak?"

Dira mengangguk antusias. Wajah terlihat bahagia, kedua bola matanya terlihat berbinar. "Kamu tahukan aku suka anak-anak. Bagaimana dengan kamu?"

"Papa mau aku mengurus perusahaannya. Kamu tahukan aku ini anak tunggal. Dan juga papa mau aku segera menikah."

Dira terlihat terkejut mendengar ucapan Ela. Hatinya tidak suka mendengarnya. "Ni... ni... kah?" tanyanya gugup.

Ela mengangguk. Ia tampaknya belum menyadari perubahan wajah Dira.

"Dengan siapa?" Kumohon jangan bilang dengan Bayu.

"Mau dengan siapa lagi Dir, pacarku kan hanya Bayu. Lagi pula aku nggak suka dijodohin. Mana papa dan mama sudah suka banget sama Bayu. Kayaknya aku bakal nikah duluan deh." Dira bisa menangkap nada ceria dari balik suara Ela.

Dira tidak menyukai itu. Bahkan saat ini, sungguh ia sangat benci dengan ucapan Elena. Ia bahkan ingin memaki dan memarahi gadis itu. Yang telah merebut Bayu dari sisinya. Lagi dan lagi rasa sakit itu menusuk hatinya terlalu dalam. Seketika wajah Dira berubah menjadi pucat pasi. Ela yang melihat raut wajah Dira terkejut. "Ka... kamu kenapa Dir?" Terdengar khawatir saat ia mengatakannya.

"Dir... Dira. Ka... kamu kenapa?" Elena menggoyangkan tubuh Dira. Dira yang terkejut karena sentakan Ela, akhirnya tersadar. Ela menghela nafas panjang, bersyukur saat melihat wajah Dira tidak sepucat tadi lagi.

"Minum dulu Dir." Ela menyodorkan segelas air putih pada Dira. Dira meminumnya dalam satu kali teguk. Seperti orang yang kehausan karena telah berlari sangat jauh.

Dira diam dengan fikirannya. Pada akhirnya ia akan benar-benar melepas Bayu. Mungkin memang, Bayu tidak pernah ditakdirkan untuknya.

Dihirupnya udara dalam-dalam. Mencoba mengatur perasaannya. Ia sudah berjanji pada kakaknya untuk kuat dan tidak menangis lagi. Pada akhirnya Dira memilih diam dan tidak akan mengatakan apa pun pada Bayu. Mungkin ini lebih baik. Cukup ia yang tahu apa yang hatinya rasakan pada Bayu. Dira tidak ingin mengambil resiko lagi mempertaruhkan persahabatannya hanya karena cinta.

"Maaf lama?" Sekonyong-konyong seorang pria menghampiri mereka. Ela dan Dira menoleh pada pria itu. Senyum manis terbentuk diwajah Ela sedangkan Dira berusaha tersenyum pada Bayu.

Ela menoleh ke arah Dira, "Maaf aku mengajaknya kemari."

"Bay, duduk di sini." Yang dijawab anggukan oleh Bayu, namun tatapannya tidak beralih dari Dira. Ia tidak menyangka siang ini, ia akan bertemu dengan Dira di sini.

"Kamu mau pesan apa?" ujar Ela kembali, sambil menyodorkan daftar menu ke hadapan Bayu. 

"Sama seperti kamu saja." Yang dijawab anggukan oleh Ela.

Dira hanya diam melihat interaksi keduanya. Tidak ada perkataan apa pun yang keluar dari bibirnya.

Bayu menoleh kearah Dira. Ditatapnya wajah Dira dalam. Ingin rasanya ia berjalan dan memeluk gadis di hadapannya ini. Namun, kakinya terasa kaku untuk bergerak. Sementara Dira gugup saat Bayu menatapnya seperti itu.

"Apa kabar Dira?" Pelan Bayu menyapanya.

Dira menoleh ke arah Bayu. Sedikit terkejut, bahkan Bayu tidak memanggilnya dengan panggilan khusus yang biasa Bayu lakukan padanya. Bayu tidak lagi memanggilnya dengan nama Nadi." Padahal selama ini, hanya Bayu yang memanggilnya seperti itu. Dira meringis, tersenyum kecut. Merutuki hatinya yang masih berharap lebih pada Bayu. "Bahkan sekarang kamu sudah melupakan aku Bay," ucapnya dalam hati.

Bayu tahu, jika Dira merasa terkejut dan sedih saat dia memanggilnya Dira bukan Nadi. Terlihat dari sorot mata Dira yang meredup bahkan kedua mata itu tampak berkaca-kaca. Bayu yakin gadis itu akan menangis. Namun, sebisa mungkin menahannya. Bayu memang sengaja melakukan itu. Entah untuk apa?

"Seperti yang kamu lihat, aku baik." Tenang Dira mengatakannya. Sebisa mungkin ia menyembunyikan perasaannya.

"Baguslah, aku senang kamu sudah baikan Nadi?"

"Tadi kamu memanggilku Dira sekarang Nadi. Plin plan kamu?" ketus Dira mengatakannya. Yang hanya dibalas senyuman oleh Bayu. Sudah lama ia tidak menggoda sahabatnya ini. Dan sungguh ia begitu merindukan sahabatnya.

Bayu tersenyum lembut ke arah Dira. Ia lalu berdiri ke arahnya. Seketika Dira gugup saat Bayu mendekat padanya. Bayu mengusap lembut kepala Dira. Menatapnya dalam. Sementara itu dalam diam Ela menyaksikan sahabatnya dan kekasihnya ini terlihat aneh dimatanya. Ada yang beda, itu yang Ela tangkap. Namun, ia tidak tahu apa itu. Ela terlihat sulit mengartikan tindakan Bayu saat ini. Hatinya gelisah melihat tatapan intenz Bayu pada Dira.

"Karena Nadi adalah sahabat ku yang kusayangi sedangkan Dira aku tidak mengenalnya. Aku senang akhirnya Nadiku kembali dan tidak marah lagi padaku. Sekalipun aku tidak tahu apa salahku padanya. Tapi mungkin aku yang kurang peka. Maafkan aku ya Nad, jangan marah lagi. Kamu tahu aku tersiksa jika kau marah padaku."

Dira diam mendengar ucapan Bayu. Hatinya tersentuh. Ucapan Bayu cukup menghiburnya. "Aku tidak marah padamu."

Lagi-lagi Bayu tersenyum lembut ke arah Dira. "Aku tahu. Kau sahabatku yang terbaik." Lembut Bayu mengatakannya, sambil mengusap kepala Dira. Sementara Dira tersenyum kecut pada Bayu. Dan hal itu tanpa ia sadari Ela melihatnya.

Bayu duduk kembali kekursinya, lalu menoleh ke arah Ela. "Dan kamu wanita yang paling kucintai."

Dira terkejut melihat tindakan Bayu pada Elena. Lagi dan lagi ia harus menahan luka itu. Rasanya ia ingin menangis saat itu juga.

"Ya... aku sahabat terbaikmu. Sahabat terbaikmu sampai kapan pun," ucap Dira penuh penekanan.

Bayu tersenyum dan menatap Dira dalam. Tatapan Bayu saat ini begitu sulit diartikan. Dira tahu, Bayu lagi-lagi menatapnya. Gugup tentu saja. Dira bersyukur, ia tertolong oleh suara ponselnya. Dilihatnya siapa yang menghubunginya. Hanya sebuah pesan dari operator telkomsel. Biasanya Dira merutuki telkomsel yang sering mengirim sms tidak penting seperti ini.
Namun saat ini, Dira berterima kasih setidaknya ia punya alasan pergi dari sini. Dira tidak mau Bayu dan Ela melihatnya menangis.

"Maaf... aku harus pergi, kak Dimas menungguku." Dira pun berbohong pada sahabatnya. Terburu-buru Dira berdiri dari kursinya.

"Kami antar ?" pinta Bayu mencoba menghalangi Dira

"Tidak perlu, aku naik taksi saja."

Dira berlari ke luar cafe. Tidak perduli panggilan Ela dan Bayu lagi. Ia hanya terus berlari, tanpa menoleh kembali ke dalam cafe tersebut. Untung saja sebuah taksi tepat berhenti di hadapannya. Dira masuk ke dalam taksi tersebut. Tangisnya pecah dan tidak bisa ia bendung lagi begitu berada didalam taksi.

"Mau ke diantar ke mana neng?" Ragu-ragu supir taksi tersebut mengatakannya. Melihat kondisi penumpangnya yang sedang menangis.

"Ke Sudirman pak." Terbata-bata Dira mengatakannya.

Sang sopir pun mengangguk. Tidak lagi bertanya lebih. Membiarkan penumpangnya menangis.

"Neng kita sudah tiba," ujar sang sopir.

Dira menoleh, lalu mengeluarkan dua lembar uang seratusan ribu. Dira turun dari taksi dan berlari begitu saja masuk ke dalam kantor kakaknya. Tidak menghiraukan panggilan sang sopir.

"Neng kembaliannya," teriak sopir taksi itu kembali namun tidak Dira hiraukan.

Ia terus berlari masuk ke dalam kantor kakaknya, tepatnya perusahaan keluarga mereka. Beberapa karyawan melihat Dira dan menatapnya penuh minat. Bahkan beberapa yang berbisik penuh tanya, melihat putri sang pemilik perusahaan muncul dengan air mata bercucuran.

Dira masuk ke dalam lift. Tidak ia hiraukan lagi lift yang dipenuhi karyawan. Ia hanya menangis dan terus menangis. Tidak ada yang berani menegurnya.

Saat lift terbuka, Dira segera keluar dari sana. Berlari masuk ke arah ruangan sang kakak mengabaikan salam dari Risa sekertaris Dimas. Dibukanya pintu ruangan kerja kakaknya, namun, ia tidak menemukan Dimas disana. Dira keluar dari ruangan itu dan menuju meja Risa.

"Kak Dimas di mana?"

Risa diam sejenak, mengamati wajah gadis di hadapannya ini. Mata yang basah, wajah yang pucat.

"Kakak di mana?" ketus Dira tidak sabaran.

"Pak Dimas ada diruangan meeting mbak. Tapi ti...." belum usai Risa mengatakannya, Dira sudah menghilang dari hadapannya. Bahkan panggilannya pun tidak Dira hiraukan. Semoga aku tidak kena marah.

Dira langsung berlari ketempat Dimas, tidak diharaukannya panggilan dari Risa.

Saat tiba di depan ruangan, yang Dira yakin adalah tempat ruangan meeting kakaknya, ia segera membuka pintu ruangan itu dengan keras. Seketika Dimas dan orang di dalamnya menoleh dan terkejut.

Dimas melihat sang adik berlari ke arahnya. Langsung menubruk tubuh sang kakak dengan pelukan dan tangisnya yang pilu.
"Kak, Dira menyerah. Aku kalah," ujar Dira sebelum akhirnya terjatuh pingsan dalam pelukan Dimas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PH-09

Cinta tanpa Batas

PH-10